Terus Berjuang Melawan Keruwetan Jogja
Perjuangan PSIM Jogja kembali ke kasta teratas liga Indonesia tidaklah mulus. Bukan hanya karena lawan yang kuat, tapi juga karena kurang disayang pemerintah.
Tidak perlu melihat jauh ke belakang. Parang Biru sempat harus menunggak gaji pemain pada 2019. PSIM juga pernah menunggak uang sewa Wisma Soeratin kepada Pemkot. Utang sebesar Rp350 juta ini menyebabkan mes dan pusat kegiatan pemain sempat disegel pemerintah.
Belum lagi perkara Stadion Mandala Krida. Dari proses renovasi yang berlarut-larut sampai korupsi. Bahkan saat ini, Stadion Mandala Krida masih belum punya penerangan yang layak. Wahai pemerintah, banyak pertandingan Liga 1 bertanding di malam hari, lho!
Yang miris, ada tumpukan sampah di depan Stadion Mandala Krida. Lapangan kebanggaan warga kota ini tidak harum oleh kejayaan, namun bau karena kelalaian pemerintah!.
Namun PSIM berhasil membuktikan. Dengan situasi serba rumit, mereka kembali ke rumah pertama. Kembali ke kasta puncak bersama sebagian teman lama pendiri PSSI. Tentu dengan dukungan pemain ke-12: kami semua yang sayang simbah!
Kini kami semringah karena PSIM Jogja
Sedikit samar memori saya saat momen pertama dan terakhir menonton PSIM Jogja dari tribun Mandala Krida. Waktu itu teman kuliah saya sukses menculik si paling malas nonton bola ini. “Jare sayang PSIM, yo ayo budal!” Ujar teman saya saat berhasil memboyong saya dari tongkrongan di Baciro.
Tentu saya tidak sebegitu minat. Namun seperti mengalir lewat udara, ada setrum yang menyengat otot ini untuk berdiri. Lalu melompat, melambaikan tangan, dan bernyanyi. Ah, tapi pengalaman pertama ini untuk melihat PSIM kalah.
Tapi melihat kekalahan ini, bukan berarti saya lalu menyudahi cinta. Justru pengalaman di tribun membuat saya makin tertarik mengamati PSIM. Bukan hanya pertandingan dan merindukan kemenangan. Namun secara kultur dan isu sosial.
PSIM mengenalkan saya pada DOM 65, band yang terus menemani saya tiap bekerja. Klub ini mengenalkan saya pada isu sosial.
Jangan salah, artikel “Turis Membunuh Jogja” yang saya lahirkan itu dibidani oleh para fans PSIM yang kecewa dengan Pemerintah Jogja. PSIM bersama fans-nya juga memperkenalkan pada konsistensi. Terutama pasca Tragedi Kanjuruhan dan Mataram Islah. Sampai hari ini, perdamaian fans PSIM, PSS, dan Persis terus terjaga.
Ngomong-ngomong, kapan DOM 65 merevisi lagu “Fortuna” yang keramat itu?
PSIM Jogja mengenalkan saya pada kesetiaan
Khususnya dari kawan-kawan suporter setia PSIM. Terlepas dari laskarnya, mereka tetap setia mendukung tim warisane simbah. Ingat, cari pasangan seorang Fans PSIM. Selama 18 tahun saja sabar menunggu, apalagi menanti kamu siap rabi dek!
Kini PSIM mengajarkan hal baru: kebahagiaan yang sederhana sekaligus luar biasa. Bahagia karena melihat klub kesayangan naik kasta dan melihat ada yang berhasil berjuang.
PR besar bagi pemerintah
Sekarang PSIM Jogja sedang bersiap berlaga di final Pegadaian Liga 2. Lalu, pemerintah bersiap untuk apa?
Saya geleng-geleng melihat situasi ini. Ketika masyarakat Jogja terus mendukung PSIM untuk naik kasta, pemerintah santai saja. Bahkan perkara lampu saja, masih banyak alasan.
Sultan HB X saja masih banyak alasan untuk menyempurnakan Stadion Mandala Krida. Dari menuntut lolos Liga 1, sampai berdalih perkara penghematan anggaran.
Gini lho, Ngarso Dalem. Banyak pertandingan Liga 1 itu main di malam hari. Kalau lampu saja tidak mampu beli, apa kami bawa senter sendiri? Atau kami checkout-kan di Shopee?
Ah, bukan waktunya saya mengkritik pemerintah. Sehari saja, saya ingin bersuka cita. Masih ada waktu sampai musim depan untuk maki-maki ketidakbecusan mereka. Tapi hari ini, PSIM menang! Aku Yakin dengan Kamu! Assalamualaikum liga 1! Mataram is Love, and Mataram is Blue!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA PSIM, Kembalinya Erwan Hendarwanto, dan Jalan Memutar Menuju Perbaikan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.