ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Pilkada Serentak? Selalu Ada Alasan untuk Ndak Nyoblos

Indah Ciptaning Widi oleh Indah Ciptaning Widi
9 Desember 2015
0
A A
Pilkada Serentak? Selalu Ada Alasan untuk Ndak Nyoblos

Pilkada Serentak? Selalu Ada Alasan untuk Ndak Nyoblos

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

“Perkara ndak ikut nyoblos Pilkada kok sampai dicap ndak nasionalis.

Sini tak coblos hatimu aja, biar kalo ngomong dipikir dulu”

Manusia akhir zaman itu hampir sama gagapnya dengan mahasiswa semester akhir. Kenapa sama gagapnya kayak Si Aziz Gagap? Karena gerak-gerik mahasiswa semester akhir ini terbata-bata, tak mampu jauh dari kekasih hatinya, laptop, beserta carjer. Kekasih keduanya adalah dosen pembimbing, atau bisa-bisa kekasih yang ketiga adalah sang kajur karena sewaktu-waktu butuh tanda tangan beliau untuk ijin cuti karena tak kuat menanggung hajat. Sungguh, baper skripsi tak pernah ada tandingannya.

Hingga si mahasiswa ini makin gagap saat ditanya penjual nasi campur, “Sudah semester berapa, Mbak?”. Demi mengindari pertanyaan begituan, dan untuk mengubur aib, dibela-belainlah masak Indomie saban pagi sampe ketemu pagi lagi.

Hajat skripsi memang membuat si mahasiswa bela-belain ndak pulang kampung saat lebaran, atau sumet kembang api saat tahun baru. Biarlah, biar yang lain makan ketupat, saya tetap Indomie saja. Semoga Anthony Salim Si Bos Indomie itu punya inisiatif bikin varian mie rasa ketupat opor buat mahasiswa-mahasiwa gagap macam kami. Sekalian salam tempel di dalam bungkusnya ya, Pak. Uhui!

Lah, itu kan kalo pas momen lebaran sama tahun baru. Kalo pas kebagian coblosan presiden seperti tahun lalu atau pilkada serentak seperti sekarang ini, gimana. Waduh! Mending nyetok Indomie satu dus daripada harus keluar kos dan ketemu penjual nasi campur tadi.

Paling males kalau nanti dapet pertanyaan, “Mbak, kemarin nyoblos siapa?”. Masak ya harus saya jawab, “Ah, Bapak kepo deh!”. Bisa-bisa wajah saya diprint di baliho super gede dan dijadikan peringatan blacklist agar manusia dengan wajah serupa saya ini ndak boleh lagi makan nasi dan ayam gorengnya. Oh, iya, sekalian balihonya bisa dijadikan terpal warung. Ah, sial!

Jawaban yang paling memungkinkan dan memilukan bagi saya, “Saya ndak nyoblos, Pak. Hehe.” Saya bisa membayangkan wajah Si Bapak dengan brengos tebal itu seperti apa begitu keluar kalimat itu dari mulut mahasiswa kritis (kritis darurat, bukan kritisnya aktifis) macam saya. Matanya menyodok-nyodok kelopak seakan ingin keluar, dan brengosnya bergetar mengisyaratkan keinginan kuat untuk menampar saya. Seakan harkat martabat saya sebagai Warga Negara Indonesia—yang setia mengingatkan Mamah-Papah untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan—hancur begitu saja di mata Si Bapak.

Mungkin Si Bapak mau teriak-teriak kayak selebtwit keren yang punya nasionalisme setinggi langit di angkasa, “Dasar enggak nasionalis! Ndak mensukseskan demokrasi Endonesa!”

Waduh, bisa apa mahasiswa ingusan seperti saya ini melawan Si Bapak yang berusia separuh abad lebih. Apalagi di hadapan brengos tebelnya, aku hanya kuah opor ayam yang nyangkut. Makanya, nyetok mie satu kardus itu lebih masuk akal buat saya . Om Anthony Salim, ingatlah tulisan saya ini bisa menaikkan kurva penjualan mie-nya situ, lhoh. *Kedip-kedip mata*. Cling!

Adegan-adegan itu yang terus menghantui saya beberapa hari ini.

Sebenarnya, bukan karena ndak nasionalis juga saya ndak ikutan nyoblos. Apalagi saya penggemar berat Bu Tri Rismaharini—bahkan pernah saat saya ketemu di kondangan sodara, beliau kebetulan diundang dan saya ngintilin beliau sampe saya hafal makanan apa saja yang dipilih Si Ibu di atas meja prasmanan. Tapi apa daya, Bu, saya ndak bisa menggunakan hak pilih saya karena hajat saya sekarang ini lebih urgen.

HAJAT APA YANG LEBIH PENTING DARIPADA IKUT BERPARTISIPASI MENSUKSESKAN DEMOKRASI ENDONESA?!

Mahasiswa seperti saya ini, yang sedang melakukan riset mengenai keberlangsungan kota—macam Surabaya—sungguh sedang berjuang untuk Endonesa dengan cara berbeda. Pekerjaan saya menilik-nilik taman kota,  saya rasa akan membuahkan gagasan baru yang mungkin memberi manfaat besar untuk kampung halaman saya atau tempat-tempat lain. Ya, saya sedang meneliti manfaat taman pada kota metropolitan. (Asik, colongan judul).

Saya sangat setuju jika suara-suara rakyat sangatlah penting demi keberlangsungan bangsa yang baik. Saya juga sangat setuju dengan perkepoan orang-orang untuk saling menanyakan kemarin nyoblos apa, karena hal itu merupakan bentuk euforia berdemokrasi. Saya juga ngikutin hestek #Kepoin Pilkada dan #Pilkada2015 kok. Tapi saya ndak setuju dengan cap bahwa saya ini tidak menjunjung tinggi nasionalisme. Hih!

Saya tekankan lagi ya, menjadi manusia akhir zaman sama peliknya dengan mahasiswa semester akhir, karena mereka sama-sama kesulitan dalam situasi yang mengharuskan pilihan, terkadang mereka harus memilih satu hal dan meninggalkan hal-hal lain. Maka tidak pulang ke kampung halaman dan tidak nyoblos itu adalah pilihan yang harus saya ambil, guna (((menuntaskan visi-misi yang lebih besar lagi untuk bangsa dan negara.))) KPU juga sih, kok ya ndak menyediakan mekanisme biar perantau kayak saya bisa nyoblos tanpa harus mudik. Hareee geneee.

Bersuara itu penting, tapi bukan segalanya. Jadi ndak ada alasan untuk ndak nyoblos, dan selalu ada alasan untuk ndak nyoblos. LHOH, GIMANA SIH? Ya, pokoknya seperti itulah.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: NyoblospilkadaSurabayaTri Rismaharini
Iklan
Indah Ciptaning Widi

Indah Ciptaning Widi

Artikel Terkait

Soal Bus Wisata, Jogja Sangat Tidak Kreatif Kalah dari Surabaya MOJOK.CO
Esai

Perkara Transportasi Wisata, Jogja Sangat Tidak Kreatif dan Perlu Belajar dari Cara Surabaya Mengelola Trans Jatim Bus Jaka Tingkir

23 Mei 2025
Alumnus PENS, Surabaya lebih suka merantau ke Bandung. MOJOK.CO
Ragam

Sisi Gelap Bandung yang bikin Resah Perantau Asal Surabaya, padahal Terkenal sebagai Kota Pelajar

14 Mei 2025
Servis motor di bengkel Jogja bikin kaget orang Surabaya karena terlalu sering jadi korban kelicikan MOJOK.CO
Ragam

Bengkel Motor Jogja bikin Kaget Orang Surabaya Gara-gara Servis Motor Berujung “Pemorotan”

9 Mei 2025
Kehidupan mahasiswa Unair di Gang Jojoran, Gubeng, Surabaya: makan dengan suguhan bau comberan hingga mandi air kuning MOJOK.CO
Ragam

Cerita Mahasiswa Unair Tinggal di Gang Sempit di Tengah Kemewahan Surabaya, Makan dengan Bau Comberan hingga Mandi Air Kuning

8 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Betapa Susahnya Menjadi Pembaca Sekaligus Penulis di Mojok

Betapa Susahnya Menjadi Pembaca Sekaligus Penulis di Mojok

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Alumni Pendidikan Kristen di IAKN Palangka Raya. MOJOK.CO

Meninggalkan Mimpi Jadi Pendeta dan Memilih Jadi Guru, Setelah Lulus Kuliah Prosesnya Malah Lebih Rumit

22 Mei 2025
Mahasiswa UNY Sulit Menjelaskan ke Tetangga soal Kampusnya karena Kurang Populer, Mengaku Kuliah di UGM.MOJOK.CO

Mahasiswa UNY Sulit Menjelaskan ke Tetangga soal Kampusnya karena Kurang Populer, Mengaku Kuliah di UGM Biar Mudah Dipahami

19 Mei 2025
Sarung Atlas saksi kasih sayang ibu sepanjang usia MOJOK.CO

Sarung Atlas Saksi Kasih Sayang Ibu, Dari Belajar Sarungan hingga di Pelaminan

19 Mei 2025
Mahasiswa UIN Jogja, UIN Sunan Kalijaga.MOJOK.CO

Mahasiswa Jurusan Matematika UIN Jogja “Terjebak” Stigma, Disuruh Meruqyah sampai Melacak Uang Hilang Gara-gara Dianggap Paham Hal Klenik

21 Mei 2025
23 tahun tinggal di Jagakarsa, daerah terluas dan paling nyaman di Jakarta Selatan (Jaksel) MOJOK.CO

Puluhan Tahun Tinggal di Jagakarsa, Berdamai dengan Hal-hal Menyebalkan di Balik Label “Daerah Ternyaman” Se-Jakarta Selatan

17 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.