Mungkin Ahok takut kehabisan duit jika harus mentraktir warga Kampung Pulo. Ahok tidak seperti bosnya dulu, si bapaknya Gibran Rakabuming Raka, yang rela mengeluarkan uang traktiran makan siang ketika harus merelokasi para pedagang kecil di Solo.
Ahok beda gaya dengan mantan bosnya itu. Mister Jokowi, si mantas bos, hobi sekali tertawa meski yang ditertawakannya itu bagi kebanyakan orang tidak lucu. Sementara Ahok, lebih suka main sikat. Jedar-jeder, jedar-jeder. Hasilnya, ia kembali membangunkan dan memperbanyak orang-orang yang berlawanan dengannya secara politik.
Ahok telah menciptakan banyak musuh di ibu kota. Berulang-ulang kali Ahok berulah: mulai dari membongkar dana siluman yang diselipkan DPRD Jakarta beberapa bulan silam, hingga terakhir pembongkaran pemukiman di Kampung Pulo—yang sudah ditinggali warga secara turun-temurun.
Bentrokan di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, antara warga dengan ribuan petugas pada Kamis (20/8/2015), menjadi satu pertanda bahwa musuh-musuh baru Ahok semakin bertambah. Tentunya, hal itu tak dipedulikannya lagi. Ahok sendiri pernah berikrar: jangankan dipanggil manusia, dipanggil Tuhan saja saya siap!
Ahok sepertinya sulit menerima satu pelajaran penting dari mantan bosnya, bahwa segala sesuatu bisa dirundingkan secara baik-baik dan bijaksana. Memindahkan warga bisa dilakukan dengan cara-cara yang baik, tidak perlu pakai ribut-ribut—apalagi sampai lempar-melempar batu hingga berdarah-darah.
Tentu, kita juga tak bisa menyalahkan Ahok sepenuhnya. Sebab tanah yang ada bangunan di atasnya itu adalah tanah negara. Hanya saja, jalan yang ditempuh Ahok menuai kesan buruk dan bahkan caci-maki dari yang menyaksikannya baik secara langsung maupun lewat berita. Dan kiita juga tidak bisa menyalahkan warga yang tak mau pindah sebelum ada ganti rugi. Saya yakin, Agus Mulyadi juga akan sepakat dengan ini.
Rumah susun yang disediakan Ahok, mungkin bisa menjamin tidur nyenyak. Namun sepertinya Ahok lupa, para penghuninya tak bisa dengan mudah memejamkan mata ketika dompet kosong kantong bolong. Di Kampung Pulo, mungkin mereka masih bisa membuka usaha sembako untuk para ibu-ibu: rokok untuk para pecandunya; promag untuk yang langganan kena maag, atau bahkan salep 88. Tetapi semua itu, tentunya tidak mudah dilakukan di rumah susun.
Ketegasan Ahok memang perlu diberi jempol empat. Jika saya memiliki kembaran, maka kembaran saya itu pasti ikut angkat jempol. Tapi apalah guna ketegasan jika tidak menganggap manusia itu sebagai manusia—meski rumah susun dianggap lebih manusiawi. Apalah guna, jika tidak belajar dari Mr. Jokowi—yang menomorsatukan dialog—meski mengorek rupe dari kantong celananya yang kadang-kadang kedodoran?
Selain perlu belajar dari mantan bosnya dulu itu, Ahok juga mestinya belajar dari Bang Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut dan petinggi Parte Idaman.
Hormati hak asasi manusia …
… Karena itu fitrah manusia …
Wejangan ini, berasal dari salah satu lagu Bang Haji berjudul “Hak Asasi Manusia”. Bukan berarti Bang Irama pernah gabung di lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ya. Bukan! Tidak samasekali!
Dengan dua bait lagu itu, Bang Haji seolah berpesan kepada Ahok bahwa Hak asasi warga Kampung Pulo mestinya dihormati, sehormat-hormatnya manusia. Sebab, itu adalah fitrah mereka sebagai manusia terhormat.
… Kita semua bebas memilih … Jalan hidup yang disukai … kata Bang Irama dalam bait selanjutnya. Artinya, Ahok harus legawa atas pilihan warga Kampung Pulo, untuk bebas memilih tinggal di mana. Atau setidaknya, memilih untuk meminta ganti rugi dulu—meski tanah negara—baru akan pindah.  Pada akhirnya, warga Kampung Pulo sendiri yang berhak menentukan pilihannya masing-masing dengan segala konsekuensinya di kemudian hari. Bukan ditentukan Mr. Presiden, bukan Ahok, bukan pula Obama.
… Tuhan pun tidak memaksakan … kata Bang Irama selanjutnya. Lantas, kenapa Ahok harus memaksakan, membenturkan warga dan Satpol pe-pe dan juga police?
Nah, langkah yang diambil Ahok di Kampung Pulo telah mendapatkan perlawanan dari banyak kalangan. Ormas-ormas, sejarawan, budayawan, dan para pemerhati perkotaan pun ramai-ramai mengecamnya. Umumnya mereka bilang, merombak kota sebesar Jakarta bukan dengan melanggar HAM.
Di sisi lain, Ahok yang memakai cara-cara demikian itu juga mendapat simpati bagi sebagian orang—termasuk mertua saya. Mereka percaya yang dilakukan Ahok itu sudah betul, dan untuk mengubah Jakarte memang diperlukan langkah yang berani agar tertib
Semoga ke depannya, Jakarte lebih manusiawi, beradab, dan berlandaskan lagu Bang Haji Rhoma Irama: Hak Asasi Manusia.