MOJOK.CO – Ada pamali yang berasal dari masa sehabis Perang Bubat bahwa pernikahan orang Sunda dan Orang Jawa akan bernasib buruk. Larangan ini cukup dianggap mitos saja.
Peristiwa itu konon terjadi 664 tahun silam. Tepatnya ketika kalender Saka menunjukkan tahun 1279, sedangkan tarikh Masehi mencapai hitungan tahun 1357. Peristiwa yang dimaksud adalah “Pasunda Bubat” atau populer disebut Perang Bubat atau Tragedi Bubat.
Inilah cerita, ketika keseluruhan rombongan dari Negeri Sunda yang dipimpin sendiri Sang Maharaja menemui ajal di Lapangan Bubat, sebelah utara Ibu Kota Majapahit. Mereka gugur setelah bertempur habis-habisan menghadapi kepungan dan serbuan balayudha Majapahit, yang jauh lebih unggul secara jumlah.
Padahal rombongan dari Sunda sejatinya adalah para tamu agung, pengantar Putri Pitaloka atau Citrarasmi, calon mempelai perempuan yang hendak dinikahi Prabhu Rajasanagara alias Hayam Wuruk, maharaja Majapahit kala itu.
Demikianlah kurang lebih nukilan kisah Perang Bubat yang diketahui terutama dari kitab Pararaton hasil penerjemahan filolog Belanda J.L.A. Brandes pada 1896. Rencana pernikahan agung yang batal dan menjelma jadi banjir darah ini juga menjadi tema dua kitab sastra lainnya, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Kedua kitab ini diterjemahkan filolog Belanda lainnya, C.C. Berg, masing-masing pada 1927 dan 1928.
Sependek yang saya tahu, banyak orang berpendapat bahwa Pasunda Bubat, Pararaton, Kidung Sunda, serta Kidung Sundayana ialah sekumpulan rekayasa Belanda untuk mengadu domba orang Jawa dan Sunda (khususnya), juga mencegah bersatunya orang-orang Indonesia (secara keseluruhan).
Namun, di sini, saya memilih untuk tidak membedah benar-salahnya pendapat beraroma teori konspiratif tadi. Cuma ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari haluan pendapat yang demikian. Itu di satu sisi memang peringatan supaya tidak kehilangan sikap kritis kepada hasil kerja peneliti Barat.
Meski begitu, sadar atau tidak, ada pula implikasi lain dari pendapat seperti itu, yakni sama saja meragukan kemampuan orang-orang Bali dalam melestarikan sastra warisan Jawa Kuna. Padahal merawat, menyalin, dan menyadur kitab-kitab yang dilahirkan oleh pihak Kadiri hingga Majapahit merupakan tradisi di Bali, dalam setidaknya setengah milenia terakhir. Sampai kini puri-puri di seantero Bali menjalankan tradisi tersebut.
Oh ya, ketimbang menghabiskan banyak kata dan baris untuk mencoba membedah desas-desus teori konspirasi tadi, saya lebih tertarik membahas bagaimana pengaruh peristiwa Perang Bubat sampai berimbas kepada rumitnya kisah percintaan orang Jawa dan Sunda di masa kontemporer. Lebih lagi jika percintaan itu disertai niat serius untuk dibawa ke pernikahan.
Pernah dengar kan pamali yang isinya melarang pernikahan antara orang Jawa dan Sunda? Konon pamali tersebut dititahkan oleh Prabhu Niskala Wastukencana, maharaja yang memerintah Sunda usai Perang Bubat. Ia adalah putra dari maharaja yang gugur di Bubat sekaligus kakak Pitaloka.
Sampai sekarang banyak orang Jawa dan Sunda masih percaya dan berpegang pada pamali larangan menikah ini. Pamali perkawinan Jawa-Sunda ini konon disertai semacam nubuat nasib buruk untuk mereka yang berani menerabasnya.
Nubuat buruknya antara lain bisa disimpulkan menjadi tiga yang terutama;
(1) perkawinannya tidak bahagia;
(2) perkawinannya seret dalam rezeki; dan
(3) perkawinannya tidak awet.
Tiga nasib buruk semacam ini jelas tidak diinginkan siapa pun yang ingin membangun rumah tangga. Bukan hal yang aneh bahwa banyak pasangan Jawa-Sunda yang berpacaran lantas terhalang restu keluarga ketika menjajaki tahapan pernikahan.
Ada saja anggota keluarga yang memakai kartu pamali ala Niskala Wastukencana, keukeuh supaya pasangan yang mencoba menikah lebih baik pisah saja. Melupakan pernikahan dianggap jalan terbaik daripada mesti mengalami nasib-nasib buruk seperti yang dinubuatkan.
Pada zaman ketika internet dan gawai telah menjadi bagian keseharian seperti 20-10 tahun terakhir, tentang masih kuatnya kepercayaan terhadap pamali penghalang percintaan dan perkawinan Jawa-Sunda bisa ditemui jejak serta kelebatannya di mana-mana. Bisa ditemukan dalam unggahan artikel berita web maupun blog, konten media sosial dan vlog, juga dalam balas-membalas percakapan pada grup WhatsApp dan Telegram.
Saya sendiri beberapa kali mendengar soal pamali tadi dalam obrolan antarkawan, baik yang berkategori guyonan, curhat, hingga menggunjing. Saya pernah pula mendengarnya di antara cerita dari seorang kenalan di suatu pelatihan pengelolaan museum—yang kebetulan beliau berusia jauh di atas saya dan telah memiliki anak berusia dewasa—tentang putrinya yang hendak dilamar oleh sang pacar.
Namun, kuatnya kepercayaan terhadap pamali perkawinan Jawa-Sunda berikut nubuat buruknya terasa mengganggu bagi saya. Dugaan saya, pamali tersebut lebih merupakan sesuatu yang overrated.
Dugaan itu muncul mengingat bahwa Jawa dan Sunda itu dua etnis terbesar dalam bangsa Indonesia. Jawa mewakili 40,1 persen dari populasi; Sunda mewakili 15,5 persen dari populasi. Benarkah suatu pamali dari sekitar 700 tahun silam benar-benar bisa mencegah orang-orang dari klaster populasi sebesar tadi untuk benar-benar tidak saling menikah?
Lebih lagi saya tahu contoh nyata penerabas pamali perkawinan Jawa-Sunda yang agaknya tidak terkena kutukan tiga nubuat buruk. Itu adalah salah seorang yang terhitung paman dari istri saya. Pakdhe tersebut beristrikan seorang Sunda. Tahu sudah berapa lama ia menikah? Lebih dari 40 tahun dengan tiga anak serta telah pula bercucu.
Karena itu, saya mencoba mencari contoh nyata yang lebih banyak dari orang-orang Jawa dan Sunda yang berani menerabas pamali perkawinan warisan Niskala Wastu Kencana. Via akun Twitter pribadi saya, @sefkelik, saya pernah mengunggah cuitan pertanyaan berikut:
“Yang tahu kisah cinta Jawa+ Sunda yg ternyata awet rukun sampai nikah bertahun-tahun, tolong bagi ceritanya ya …”
“Entah itu di lingkungan keluarga besar kalian, teman-kenalan, atau tetangga.”
“Pengen debunking mitos Hayam Wuruk-Pitaloka aja sih …”
Dari tanggapan atas cuitan tersebut—yang dikomen sebanyak 171 dan beroleh 56 quote tweet, saya mendapat banyak sekali testimoni kisah nyata dari para pasangan Jawa-Sunda penerabas pamali titah Niskala Wastukencana, anak mereka, kakak-adik mereka, atau bahkan sekadar rekan kantor dan kenalan.
Banyak yang sudah menikah belasan tahun. Tak sedikit yang berkisah tentang perkawinan Jawa-Sunda yang sudah berdurasi 20, 30, hingga 40-an tahun, punya banyak cucu, bahkan membuktikan diri awet hingga tutup usia. Lalu, sebagaimana terjadi pada pakde istri saya, para pasutri yang testimoninya mengisi tanggapan atas cuitan saya itu agaknya bisa dibilang terhindar dari nubuat buruk si pamali.
Dari antara tanggapan testimoni atas cuitan saya setahun lalu itu, saya menghubungi beberapa pemilik akun pengunggah testimoni, meminta izin untuk mengutip dan menggunakan komentar mereka dalam tulisan. Silakan dinikmati beberapa komen yang diizinkan untuk saya cuplikkan di sini.
“Pakdheku nikah sama orang Sunda, udah punya cucu 3. Awet sih awet, yang penting awetnya kan? Hehehe.” – Acintyaswasti Widianing, pemilik akun @swastiacintya.
“Gue dan bini gue 10 tahun pacaran, 11 tahun nikah.” – Yogi Natasukma, pemilik akun @SoundOfYogi, pria Sunda yang berprofesi sound engineer.
“Nenek-kakek gue dari pihak Ibu itu Jawa-Sunda. Kakek asal Salatiga, Nenek Sumedang-Bali-Makassar. Alhamdulillah awet sehidup-semati dari nikah 1950an.” – Ayu Nitya, pemilik akun @wickedbunnies.
“Mamang dan bibi gue. Mamang gue Sunda. Bibi gue Jawa. Sudah 20 tahun lebih. Di keluarga Nyokap yang Sunda banyakan nikah sama Jawa. Dan awet.” – Rahan Galileo, pemilik akun @glrhn.
Cerita lebih panjang soal pernikahan pasangan Jawa-Sunda dibagikan oleh Ronny Hadyanto, pemilik akun Twitter @ronny_hadyanto.
Setahun lalu ia berbagi cerita lewat Twitter, dilanjutkan dengan obrolan via Telegram bulan ini. Dokter ini berbagi cerita tentang pernikahan bapak dan ibunya yang menikah sejak 1983 dan tetap sama-sama sehat hingga sekarang. Ayahnya Jawa, ibunya Sunda.
Ayah Ronny di keluarga besarnya bukan satu-satunya yang menikah Jawa-Sunda. Ada juga sepupu sang Ayah yang, sebagaimana pernikahan orang tua Ronny, pernikahannya awet.
“Sempet ada sebagian eyang yang bilang ora ilok (tidak pantas) dan lain-lain, tapi mereka ini tidak pula ngotot menghalangi. Rata-rata ya malah bilang, ‘Wis, ra popo,’” kata Ronny mengisahkan ulang apa yang didengarnya dari Ayah-Ibu.
“Sebetulnya dari sebelumnya juga resistensi perkawinan Jawa-Sunda juga tidak kentara, Mas. Pangeran Husein Djajadiningrat putra bupati Serang menikah dengan B.R.Ay. Partini, putri K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII; R.A. Tjitjih Wiarsih, putri R.A.A. Prawiradiredja II, Bupati Cianjur, menikah dengan R.M. Mochamad Jakin, putra Bupati Bondowoso.”
Berkaitan dengan anomali kutukan ini, saya tertarik meminjam beberapa hal dari Teori Angsa Hitam yang dipopulerkan Nassim Nicholas Taleb via buku The Black Swan terbitan 2007. Istilah “angsa hitam” menurut Taleb ialah metafora yang merujuk kepada hal atau peristiwa langka, mengejutkan, sulit atau tidak terprediksi, di luar perkiraan biasa, juga berpengaruh besar, lantas memaksa terjadinya perumusan ulang terhadap pemahaman yang sebelumnya telah menyebar luas serta mapan.
Pilihan Taleb kepada istilah “angsa hitam” merujuk kepada peristiwa pada 1697, pada tahun-tahun awal orang Eropa menjejakkan kaki di Benua Australia, lalu melihat keberadaan angsa-angsa berbulu hitam, spesies yang sebelumnya tidak dibayangkan oleh orang Eropa sebagai sesuatu yang eksis di dunia. Berabad-abad lamanya sebelum orang Eropa mendarat dan kemudian menghuni Australia, mereka pikir semua angsa yang ada di dunia ini hanya berbulu putih.
Testimoni-testimoni banyak orang yang saya bagikan—bahwa perkawinan Jawa-Sunda yang sanggup bertahan dalam durasi panjang nyatanya sama sekali tak sedikit—adalah angsa hitam bagi mereka yang selama ini percaya mitos pamali tersebut.
Namun, bagi khalayak secara luas, testimoni-testimoni tentang pernikahan Jawa-Sunda yang bisa berjalan dengan baik sebenarnya berkategori angsa putih saja. Semua itu sebenarnya sesuatu yang lazim. Hanya orang selama ini terlalu memilih terpaku kepada mitos pamali.
Pada akhirnya, tentang pernikahan Jawa-Sunda dan pamali yang membayanginya, kata-kata Julian K. Nugroho, pemilik akun @deemaz85, pantas direnungkan dan perlu mendapat apresiasi lebih. Pria ini sendiri memiliki banyak anggota keluarga maupun kolega yang menikah menerabas pamali buah Perang Bubat.
“Kayaknya yang lebih menentukan adalah ‘strata’ keluarga, atau kondisi ekonomi, dan kualitas pendidikan keluarga….”
BACA JUGA Gimana kalau Cinta Sejati Baru Ditemukan Justru setelah Menikah? dan esai Yosef Kelik lainnya.