Berita soal seruan dari Bapak Menteri Riset dan Teknologi bahwa kaum LGBT tidak selayaknya masuk ke kampus adalah nikmat hari Minggu yang luar biasa. Seruan ini sejajar level jantannya dengan ajakan macho George Bush pascatragedi 9/11. Sama pula jantannya dengan bapak-bapak polisi yang pemahaman akan undang-undang begitu hebat sampai lupa beda antara ‘berhenti’ dan ‘parkir’.
Pak Menristek harusnya sadar, gerakan kaum gay untuk menguasai kajian sosio-kultural saat ini sudah begitu massif. Kalau mereka mau, mereka bisa menggerakkan revolusi dengan semangat yang sama seperti semangat Che Guevara di Amerika Latin. Semangat revivalis. Semangat perlawanan terhadap penindasan. Bagaimana tidak merasa tertindas, lha wong masuk kampus saja dilarang hanya karena orientasi seksual. Hak pendidikan bagi seluruh rakyat itu bagaimana ceritanya?
Daripada sibuk memikirkan tugas kampus sebagai penjaga moral dan nilai luhur bangsa, ada baiknya Pak Menteri fokus pada hal-hal yang sesuai dengan bidang Bapak. Misalnya dengan mendorong anak-anak muda menciptakan teknologi-teknologi baru untuk kemajuan bangsa, tak peduli apa pun orientasi seksual mereka. Bapak ini Menteri Riset dan Teknologi lho, bukan Menteri Penjaga Moral dan Nilai Luhur.
Bapak tentu tahu, teknologi komputer yang berkembang dewasa ini berhutang besar kepada seorang gay bernama Alan Turing. Apa, Bapak belum tahu? Nonton film The Imitation Game ‘gih, Pak.
Beberapa malam lalu, ketika memutuskan menginap di kosan teman yang kebetulan seorang gay, saya justru makin terbuka dengan dengan pemikiran bahwa terlepas orientasi seksual mereka yang DIANGGAP menyimpang, mereka juga manusia. Merasakan cinta. Punya mimpi. Punya nafsu. Punya hak hidup. Dan punya banyak hal yang dimiliki manusia ‘normal’ pada umumnya. Bedanya ya hanya itu tadi, mereka menyukai sesama jenis. Mereka hanya bisa jatuh cinta pada sesama jenis.
Mencintai dan dicintai itu normal kan, Pak? Manchester United yang membosankan betul itu saja masih banyak dicintai suporternya kok. Mbok mereka saja yang ditertibkan. Mereka itu sombong dan congkak. Semboyannya saja “Not arrogant, just better”.
Baik, fokus ke cerita teman saya yang gay ya.
Jadi, saya yang sudah mendaku cukup melek teknologi dibuat terheran-heran kala teman saya yang gay ini asyik-masyuk dengan gawai pintarnya sambil senyum-senyum. Saya yang memiliki tingkat rasa ingin tahu yang tinggi layaknya para netizen nan mulia pun jadi curiga. Selidik punya selidik, teman saya ini ternyata sedang asyik chatting dan cuci mata dengan sebuah aplikasi bernama Grindr.
Grindr ini ternyata sudah cukup populer, dan saya justru baru tahu, Pak. Bapak sudah tahu, belum? Aplikasi yang bisa diunduh gratis dari iOS dan Android ini adalah aplikasi yang KHUSUS untuk kaum gay. Ada layanan chatting dan, layaknya media sosial pada umumnya, aplikasi ini juga memudahkan para pria-pria gay untuk stay connected dan merasa dekat satu sama lain.
Di tengah masyarakat kita yang masih keukeuh percaya bahwa menjadi gay adalah sebuah penyakit, aplikasi ini yang justru memberi tempat bagi para gay untuk berinteraksi dan berkenalan dengan banyak pria-pria gay di luar lingkaran hidup mereka. Sementara kita masih belum bisa untuk tidak melihat mereka dengan pandangan miring, selalu dengan tatapan curiga dan pada akhirnya tidak ada tempat yang ramah bagi mereka di negeri ini. Kadang saya merasa malu, kenapa spesies saya sukses berevolusi dari monyet menjadi manusia. Mending saya tetap di Galapagos saja dan menunggu penemu teori evolusi jilid baru selepas era Darwin, Pak.
setelah mengintip cara kerja dan pemakaian Grindr, saya jadi tahu aplikasi ini bisa membantu menemukan siapa saja pria-pria gay di lingkungan sekitar tinggal kita dengan mudah. Misal begini, Anda tinggal di Jakarta dan ingin berinteraksi dengan pria gay di sekitar Jakarta, itu bisa mudah ditemukan dengan search melalui Grindr. Anda bisa dengan mudah menemukan pria-pria gay yang ingin Anda ajak berkenalan, ngobrol atau banyak lagi hal lainnya. Dari orang yang berjarak 10 kilometer, 5 kilometer sampai 100 meter dari rumah Anda, bisa mudah ditemukan dengan Grindr ini. Ya mirip-mirip dengan banyak aplikasi lainnya, seperti WE Chat dan sejenisnya. Aplikasi ini, berdasar testimoni teman saya yang gay, membantunya untuk tidak merasa terasing, dan membuatnya merasa diterima oleh masyarakat dengan cara yang lebih nyaman dan aman.
Grindr ini memang khusus untuk gay, Pak. Tidak perlu ada ketakutan berlebih bahwa aplikasi ini akan mengubah pria straight menjadi gay. Santai saja.
Jadi, Pak Menteri, kapan mau download Grindr?