MOJOK.CO – Pulihkan segala luka batinmu, monster dalam pikiranmu, dengan menumpangi bus Trans Jogja yang sepenuhnya disubsidi dana pajak ratusan miliar.
Bus Trans Jogja, jika mau jujur, kerap menjadi saksi bagaimana menjadi pertapa di keramaian kota yang mendaku diri hidup dari dunia pariwisata. Seperti seorang brahmana, ia lebih kerap berjalan dengan isi lengang ketimbang berisik. Kabinnya lebih berasa seperti masjid pukul 10 pagi ketimbang pasar atau terminal.
Tapi, Trans Jogja bisa sekuat itu, bisa seikhlas itu, bisa sepertapa itu menjalani kehidupan jalanan kota wisata yang macet dan membakar, bukan karena dorongan spiritualitas, melainkan karena digendong dana pajak. Jadi, mau lengang, mau ramai, ia bakal meninggalkan pool keberangkatan setiap 15 menit sekali. Mau kalian naik atau melihat saja atau nyaris baku senggol; pendeknya, mau kalian berdalih begini dan begitu, ia tetap menderum.
Trans Jogja adalah wajah Kota Wisata Jogja
Jogja menghadirkan Trans Jogja karena dikalungi beban sebagai kota berperadaban tinggi. Salah satu buktinya mesti punya transportasi publik yang nyaman dan beradab. Tidak ada kota bervaluasi tinggi kehidupannya tanpa transportasi publik yang bermartabat. Maka, moda transportasi itu ingin memanjakan warganya dengan mengucurkan subsidi di atas Rp100 miliar.
Kalian bisa membayangkan, jika Trans Jogja sepi penumpang, subsidi dari pajak itu membiayai apa. Pendapat saya masih konsisten, kesepian itu mahal. Menjadi seorang yogi dan pertapa modern itu ongkos dan tiketnya sangat high.
Hidup menjadi begawan yang anyep adalah kemewahan yang teramat sangat. Ia seperti rohaniawan yang disanguni oleh uang pajak masyarakat demi kota memvaluasi diri di hadapan para penilai kota yang berperadaban. Guna gak guna urusan belakangan. Masyarakat antre dan mengalami kegilaan karena tak ada tempat duduk yang kosong karena berebutan secara riang gembira masuk dalam kabin bus, kemudian semacam pemandangan fatamorgana.
Jika begini situasinya, saya harus bagaimana?
Dengan subsidi miliaran dari pajak itu, saya memilih menikmati Trans Jogja. Bergabung dalam perjalanan spiritual bersama mesin pertapa menghidu aroma sisa-sisa sebuah kota yang menjadi gelanggang mesiu revolusi Indonesia.
Oleh karena itu, saat menerima amplop uang transportasi sebesar Rp57 ribu dari sebuah acara kebudayaan bernama “FGD” yang diselenggarakan di hotel bintang empat bekas pabrik es balok yang tak jauh dari Halte Ngabean dan di ujung barat Jalan Kiai Haji Ahmad Dahlan bersama tokoh-tokoh beken yang antusias dan mencintai Jogja walau dengan jalan memaki dan terus-menerus mengutuknya, saya senangnya tak ketulungan. (Mampus kalian membaca kalimat majemuk berlantai satu ala Romo Mangun).
Bayangkan, jika dengan dana transport Rp57 ribu itu, saya top up ke dalam kartu hitam Trans Jogja yang berada di Halte Taman Pintar, saya bisa memutari Jogja 12 kali bolak-balik.
Untuk menikmati pemandangan Jogja–Bantul, yang pada masa silam ya menjadi jalur sesak sepeda, saya cukup menempel kartu hitam dan secara otomatis nilai Dana Istimewa Rp57 ribu yang diberikan pemerintah untuk digunakan sebagai transportasi, kembali ke rekening pemerintah via Trans Jogja No. 15. Jumlah yang terpotong sekali jalan Rp2.700.
Bayangkan, jalur Malioboro–Kraton–Palbapang (Bantul) cukup dengan Rp2.700 rupiah saja. Dengan Rp2.700 itu, saya melewati begitu banyak realitas sejarah fantastis.
Dengan Rp2.700, saya teringat lagi olok-olokan sejarah untuk manusia Bantul yang separuh sisi wajah kanannya lebih hitam dan lebih legam dari wajah sisi kirinya.
Dengan Rp2.700 saya melihat Bantul lebih enjoi, gerbang kampung gerabah dengan jangkauan internasional, Kasongan, catnya belum terkelupas.
Dengan Rp2.700, saya bisa menyaksikan patung Panglima Besar Sudirman dan Pangeran Diponegoro terlihat sangat terawat menyambut pelancong untuk ber-Welcome to Bantul City.