MOJOK.CO – Yang syok sama sinetron Kisah Nyata Indosiar episode K-pop kemarin pasti penonton baru. Formula begituan mah udah lama dong.
Sinetron Indonesia emang dahsyat banget daya survive-nya. Sudahlah penontonnya banyak, orang yang nggak nonton pun ikut gatel mengomentari. Saya sampai mikir, salah tuh orang yang usul pelajaran sekolah perlu di-TikTok-in biar anak sekolah betah. Kebalik dong, pelajaran sekolah yang mestinya di-sinetron-in!
Ambil contoh sinetron Kisah Nyata Indosiar yang tayang pas tahun baru kemarin. Sembah dan sujud buat yang bikin. Selama ini, menonton sinema dengan embel-embel “kisah nyata”, atau sekadar “terinspirasi dari kisah nyata” jelas memengaruhi penilaian dan kepuasan batin pemirsa.
Apalagi ini, yang dari judulnya saja sudah mengubur imajinasi. Penulis novel berpengalaman saja belum tentu banyak yang sadar dengan strategi literer sejago ini. Dan topik yang diangkat Kisah Nyata Indosiar hari itu adalah “Bagaimana Menyadarkan Istriku yang Terlalu Terobsesi K-pop”.
Dengan judul yang cukup catchy, sinetron ini tidak hanya membuat pemirsa jadi punya materi nyinyir di medsos, tapi mungkin juga membuat tim produksinya hepi karena berhasil “nebeng” demam K-pop sehingga karyanya viral.
Selamat untuk kedua belah pihak. Episode kali ini sukses berat!
Buat saya, sinetron ini sudah sesuai trek-nya. Judul yang click bait terbukti bisa menarik kalian para fans K-pop untuk ikutan nonton kan? Padahal sebenarnya K-pop di sini sebagai “pemanis” konflik doang.
Konflik utamanya tetep, sifat matre seorang istri yang bikin rumah tangga amburadul. Tapi, tim produksi pintar sekali membalut konflik yang terlihat biasa itu menjadi lebay istimewa dan up-to-date, dalam hal ini dengan memasukkan topik K-pop.
Saat menjadi kru produksi TV dulu, saya cukup salut dengan tim produksi film atau sinetron. Bukan cuma karena dunia mereka membutuhkan stamina fisik yang tinggi, mereka pun dituntut berpikir bagaimana mengemas jalan cerita yang sederhana menjadi rumit, belok-belok, serta nggak masuk akal sekaligus bikin orang mikir yang beginian “mungkin saja terjadi”.
Wah, susah lho bikin treatment kayak gitu.
Saya mengulik daftar nama di hape buat memahami episode Kisah Nyata Indosiar yang barusan saya tonton ini. Tiba-tiba saya teringat beberapa tahun lalu saya pernah bekerja sama dengan seorang penulis naskah. Mas Joni Faisal namanya.
Setahu saya, dia pernah menulis untuk berbagai sinetron komedi legendaris, mulai dari Suami-suami Takut Istri sampai Tukang Bubur Naik Haji. Sekarang dia masih aktif menulis untuk Rumah Ruben di MNCTV.
Dari hasil obrolan kami, saya jadi menemukan kenyataan bahwa ada semacam panduan menyelami absurditas sinetron Indonesia.
Menurut Mas Joni, naskah untuk sinetron memang selalu dibuat problematis dan kontroversial supaya jadi pembicaraan. Apalagi bila sang tokoh ternyata tidak cukup kuat melesatkan rating. Sebagai tim penulis, dia kudu cari akal gimana sisi dramatisnya bisa naik. Bila perlu masalah baru dimunculkan karena masalah lama sudah “dingin”.
Caranya, misal, dengan tiba-tiba mendatangkan sosok penagih utang, padahal yang berutang adalah ortu sang tokoh puluhan tahun lalu. Atau memaksa memasukkan karakter alay dengan masalah yang diada-adain hanya karena saat itu sedang musimnya anak alay.
Bisa juga dengan tiba-tiba menyelipkan karakter tetangga nyinyir dan tahu semua masa lalu sang tokoh. Aneh? Nggak dong, kan kita punya sebutan khusus untuk situasi kayak gitu: “Ah, namanya juga sinetron.”
Info dari Mas Joni lagi, ada formula terkenal bernama “hardcore” di kalangan penulis drama. Meminjam istilah dari musik cadas, hardcore ini adalah bentuk penajaman dramatis yang ekstrem manakala tokoh utamanya dibuat sengsara sesengsara-sengsaranya.
Sakit, kecelakaan, dihujat, atau kalau perlu dianiaya orang sekampung. Setelah itu dia bahkan masih harus masuk penjara, terus gila, atau hilang ingatan.
Sama seperti para Mojokiyah yang nonton Kisah Nyata Indosiar, saya juga sering menyumpahserapahi jalan cerita seperti ini. Tapi dunia sinetron ya begini. Pola absurd begitu nyatanya masih digemari banyak pemirsa. Buktinya, sinetron masih saja wara-wiri di TV nasional.
Well-educated-people mungkin akan bertanya, “Kenapa bisa begitu ya?”
Begini. Hasil obrolan saya dengan Mas Joni, saya jadi memahami kalau penonton sinetron Indonesia yang umumnya diidentifikasi oleh stasiun televisi sebagai berkasta C atau D (sekitar sopir pribadi atau asisten rumah tangga gitu lah) yang mudah sekali dipengaruhi oleh rumus hardcore.
Mereka akan ikut simpati, menangis, gemes, bahkan sampai curhat ke majikan kalau tokoh sinetronnya teraniaya.
Namun, hardcore biasanya tidak berlangsung lama. Para penulis akan tahu dengan sendirinya cerita itu cuma memperpanjang tali kolor buat nambahin dramatisasi yang tidak dramatis.
Jurus pamungkas penulis naskah adalah, jeng jeng jeng, tokoh yang sudah sial, sekarat, dan hina dina itu akan dibuat mati suri!
(((dibuat mati suri)))
…
Yup! Bahkan nggak jarang, walaupun sudah dalam liang kubur sang tokoh masih bisa hidup kembali. Kalau masih nggak nendang juga, sang tokoh dibuat mati beneran tapi tetap muncul lewat flashback.
Para penulis kebanyakan tentu tahu betapa rumitnya teknik (lebih ke pertaruhan harga diri sebagai penulis naskah sih) dari menulis cerita ala sinetron begitu. Jadi, nggak salah kan ya saya mengagumi para penulis naskah ini?
Buat saya sih, sinetron Kisah Nyata Indosiar sebenarnya menunjukkan keberhasilan strategi dari tim produksinya. Ada tokoh istri yang antagonisnya kebangetan, ada tokoh suami yang baiknya nggak ketulungan.
Kalau itu saja cukup untuk mengaduk emosi pemirsa kasta C dan D, lantas buat apa bikin naskah susah-susah?
Oleh sebab itu, pada kasus Kisah Nyata Indosiar episode K-pop, studi kasus K-Pop itu semata-mata hanya suntikan multivitamin, plus omega tiga dan DHA juga kayaknya.
Apalagi, hal ini diikuti dengan keberhasilan sinetron kayak Kisah Nyata Indosiar yang dijulidin di medsos. Wajar, dengan maksain episode K-Popo itu, fans K-Pop tentu banyak yang nggak terima, lalu protes merasa tayangan ini banyak logika cacatnya.
Mulai dari hand property DVD bajakan yang diklaim sebagai album, sampai nggak rela poster-poster idola mereka ditempel di kamar sang pemain. Bahkan penampilan salah seorang talent yang dibuat Koreya dicela-cela jadi “Kok Bisa Ya”.
Hm, khusus bagian detail kayak gini, menurut saya harusnya tidak perlu sih.
Properti seperti DVD bajakan itu bisa dibuat lebih riil kok. Umumnya sampul album kan ada nama penyanyinya. Yah, mungkin maksudnya mau belain tampilan di shot kamera supaya jelas, jadi stiker prin-prinan personil band Korea segede gaban dirasa cukup mewakili. Meski aneh.
Kalau khawatir penyebutan merek bakal menjadi masalah hak cipta atau lainnya, ya sekalian nggak usah disebut dalam skrip sehingga tidak perlu menampilkan shot properti album jadi-jadian itu dong? Gimana sih?
Sayangnya saya sadar, bahwa masalah sebenarnya bukan di situ, masalah sebenarnya adalah bukankah kita sendiri tahu kalau dalam tayangan sinetron, hal-hal yang nggak riil kayak di atas sudah sering terjadi dalam Kisah Nyata Indosiar universe?
Dari selang infus yang kelihatan nggak nancep, masker oksigen kebalik, sampai tokoh yang didorong dikit aja bisa langsung gegar otak parah kayak habis jatuh dari sutet?
Makanya itu, kalau cuma album K-pop bersampul aneh atau skrip talent yang protes karena poster band Koreanya dirobek (padahal di adegan cuma diturunin dan nggak ada yang sobek satu pun) sih ya udah nggak perlu ngegas protesnya. Biasa aja.
Kita kan udah terlatih ngeliat sampah ketidakmasukakalan yang lebih parah di episode-episode sebelumnya? Lalu kenapa yang sekarang baru protes?
Hm, bener-bener tindakan yang tidak masuk akal untuk sebuah tayangan yang tidak masuk akal.
BACA JUGA Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar dan tulisan Dessy Liestiyani.