MOJOK.CO – Buat kamu yang pergi dari Jogja dengan niat mengubah nasib, tapi nasib belum juga membaik, semoga kesibukan segera menghampiri.
Bagi sebagian orang, Jogja adalah tempat paling nyaman untuk melarikan diri dari kenyataan. Nyaman berlindung dari kata-kata ingin berkarya ini dan itu. Padahal tidak melakukan apa-apa yang produktif dan signifikan terhadap peningkatan nilai diri.
Beralasan sebanyak mungkin untuk tetap tinggal di Jogja, hanya karena tidak ingin pulang ke kota asal bertemu orang yang itu-itu lagi. Tidak ingin bertemu teman lama yang prioritas hidupnya bergeser karena sudah sibuk dengan keluarga dan kerjaannya. Tidak ingin bertemu tetangga menyebalkan yang sering membanggakan anaknya secara berlebihan. Atau, sekadar tidak ingin pindah ke kota lain karena tidak percaya kota lain tidak lebih nyaman dari Jogja.
Jayapura, kota yang saya tinggali sekarang, bukan kota yang asing. Saya lahir dan besar di kota ini. Meski keadaan di Jayapura hari ini berkembang pesat dibanding belasan tahun lalu, tapi saya merasa ada yang kurang di diri saya setelah pergi dari Jogja dalam jangka waktu yang lama. Seperti yang sedang saya rasakan hari ini. Padahal saya di Jogja cuma ngekos. Tidak punya rumah. Tidak punya keluarga. Tidak punya banyak teman. Kerjaan minim.
Sebelumnya saya merasa sumpek mendapati kemacetan di Jalan Kaliurang bawah, jengkel pada penerobos lampu lalu lintas di perempatan FE UII, atau misuh karena harga nasi sarden di warmindo mulai naik. Sudahlah ikannya sepotong kecil, patah lagi. Saking seringnya dipanasi. Sungguh e….
Dulu, banyak teman yang saya temui mengatakan kalau Jogja itu punya magnet. Orang yang tidak pernah tinggal di sana, selalu ingin ke sana. Lagi dan lagi. Teman-teman sekolah saya kalau ada kesempatan bepergian dari Jayapura ke daerah di Pulau Jawa, hampir pasti singgah barang beberapa hari ke Jogja untuk sekadar plesiran. Saya tidak percaya sampai merasakannya sendiri. Setelah 15 tahun, ini adalah kali pertama saya pergi dari Jogja dalam waktu yang lama.
Saya harap ini cuma akal-akalan saya saja meromantisasi Jogja seperti kata orang-orang yang sering saya baca di Twitter. Sementara, yang tinggal di sana banyak yang mengeluh soal Jogja yang (katanya) tidak lagi istimewa. Tidak lagi murah makanannya. Upah minimum kecil. Tidak lagi aman dan nyaman kalau keluar malam karena takut klitih. Anehnya, orang yang mengeluh itu, tidak juga beranjak pergi. Tetap bertahan, ketimbang harus pulang ke kota asal atau pindah ke kota lain, beradaptasi dari awal lagi.
Setidaknya sekarang saya mengerti perasaan teman-teman SMA saya dulu yang mengatakan bahwa “Jogja itu beda, tidak sama dengan di Jayapura.” Tentu, bukan berarti menganggap bahwa di Jayapura itu tidak menyenangkan.
Jayapura sangat menyenangkan. Keindahan alamnya, makanannya, dinamika sosialnya, budayanya, dan lain-lainnya itu tidak ada tandingan. Sebentar, kita bandingin hal-hal yang kecil saja, saya tidak pandai untuk bandingkan hal yang besar-besar.
Di Jogja, kalau makan di warung, air es bayar, toh? Di Jayapura, air es gratis. Bisa nambah sampai puas.
Di Jayapura, harga parkir motor tidak (atau belum) seperti di Jogja. Rerata masih seribu perak. Di Jogja, ATM saja ada tukang parkirnya. Sepele sih itu, tapi kalau terakumulasi, ya jengkel juga.
Beda kalau yang dimaksud di sini adalah kemudahan akses dan pilihan fasilitas. Contoh gampangnya adalah ongkos kirim (ongkir) kalau belanja dari e-commerce. Teman saya pernah pengin beli speaker bluetooth di salah satu e-commerce tapi mengurungkan niat karena ongkir dari Jogja ke Jayapura lebih mahal daripada harga barangnya.
“Bahkan ongkir dari Cina ke Jogja lebih murah daripada ongkir dari Jogja ke Jayapura. Ajaib sekali,” katanya. Buat kamu yang tinggal jauh dari Pulau jawa, persoalan begini pasti relate.
Contoh lainnya adalah provider internet. Kalau di Jogja, ada banyak pilihan. Mahal atau murah biaya paketnya itu relatif, tapi setidaknya ada pilihan lain. Di Jayapura, hanya ada satu provider. Iya, itu yang warna merah. Kalau ada gangguan, seperti tahun lalu, yang jaringan internet putus total selama sebulan. Kami bisa apa? Gigit jari.
Saya sebagai pekerja serabutan di usia 30an, yang pendapatannya tidak menentu, merasa kalau ATM pecahan 20 ribuan yang ada di Bank Mandiri Jalan Sudirman dekat Tugu dan di Mandiri Jalan Persatuan UGM, sangat membantu ketika pendapatan tiada. Sekarang, di Jayapura, lupakan saja fasilitas itu. Saya ikhlaskan saldo Rp45 ribu yang masih ada di dalam rekening. Diambil tidak bisa, didiamkan bakal kepotong terus. Sementara kondisi lagi butuh-butuhnya.
Walaupun konon membutuhkan biaya operasional yang tinggi, saya harap mesin ATM 20 ribuan tersedia, tidak hanya di Jogja (dan beberapa kota lain), tapi juga tersebar merata di banyak kota lain di Indonesia. Sebab, tidak semua yang di luar Jogja itu orang mampu, dan tidak semua mahasiswa yang ada di Jogja itu orang kekurangan.
Ketika sedang berada di kondisi kesulitan duit, berat rasanya melihat konten-konten media sosial yang memicu saya untuk membatin, “Bagaimana caranya usia baru segitu tapi saldo rekeningnya sudah sebanyak itu?” atau “Kok bisa masih muda tapi sudah bisa bilang dia pensiun dini karena tabungannya sudah cukup sampai dia wafat?”
Untuk yang hidupnya biasa saja, melihat konten semacam itu bisa dianggap sebagai motivasi dan bahan khayalan. Tapi untuk yang hidupnya benar-benar sedang kesulitan, malah membebani pikiran.
Ngomongin hal-hal ini semacam katarsis bagi diri saya sendiri dan (mungkin) bagi kamu yang masih kesulitan secara ekonomi padahal usia tidak lagi masuk kualifikasi lowongan kerja pada umumnya; yang sudah mencoba banyak cara tapi masih juga tersandung; yang mesti tanggung jawab pada pilihan hidupnya; yang secara diam-diam bersedih kalau tidak bisa sisihkan buat keluarga; dan yang selalu berdoa tapi belum juga terbuka pintu rezeki.
Buat kamu yang pergi dari Jogja dengan niat mengubah nasib, tapi nasib belum juga membaik, semoga kesibukan segera menghampiri. Saldo rekening terisi lagi dan lagi.
BACA JUGA 5 Pertanyaan yang Paling Sering Ditanyakan Ketika Mereka Tahu Saya Bekerja di Jayapura dan cerita menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Fahmy Yusuf
Editor: Yamadipati Seno