ADVERTISEMENT
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Mari Berbahagia dengan Jujur, Generasi Micin Premium!

Esty Dyah Imaniar oleh Esty Dyah Imaniar
9 November 2017
0
A A
micin-premium-mojok

micin-premium-mojok

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

[MOJOK.CO] “Bagi generasi micin premium, tekanan hidup adalah ketika menyaksikan teman lebih berprestasi dan cemerlang.”

Salah satu syarat sah menjadi people jaman now adalah memiliki akun media sosial. Tentunya tidak hanya punya, tapi aktif menggunakannya. Liburan ke pantai, cekrek upload. Nongkrong di kafe, bikin story. Belanja di butik, siaran langsung. Semakin sering update, semakin eksis. Semakin eksis, semakin hits.

Kalau dulu stigma anak hits diasosiasikan hanya kepada generasi micin kebanyakan gaya minim karya, saat ini gerakan eksis digital dilakukan secara merata oleh hampir semua jenis pengguna medsos. Termasuk generasi micin berprestasi.

Untuk kategori ini, metodologi eksis yang dilakukan sedikit bervariasi. Materi postingan pencapaian mereka bukan hanya soal berlibur ke mana atau beli produk branded apa, melainkan menang kompetisi apa atau dapat penghargaan apa. Dengan caption inspiratif, maraton kegiatan prestatif terekam jelas di lini masa. Hari ini seminar di Sabang, besok workshop di Merauke. Pekan ini menang LKTI di Belanda, pekan depan pameran di Jepang. Ribuan pengikut generasi YOLO ini pun akan ramai-ramai berkomentar: Junjunganque! Idolaque! Panutanque!

Karena massa yang besar itulah, sering tekanan generasi micin premium untuk selalu tampak hits berprestasi di medsos lebih besar. Rasanya sangat meresahkan ketika postingan si dia sudah sampai ke Amerika, kita masih di Jogjakarta. Ketika si dia sudah jadi jutawan global, kita masih jadi relawan lokal.

Sedihnya, perasaan gelisah berlebih ini bisa mengarah pada gangguan mental kekinian bernama fear of missing out (FOMO). Istilah yang baru ditambahkan ke dalam kamus Oxford tiga tahun lalu ini merupakan perasaan gelisah karena melewatkan peristiwa hits di tempat lain.

Bagi generasi micin premium, peristiwa hits yang dimaksud tentunya agenda-agenda prestatif nan inspiratif. Sebab melewatkan kompetisi besar berarti melewatkan peluang postingan viral. Karena melewatkan momen prestatif akan berimbas pada FOMO, generasi ini seringkali begitu kreatif mengelola feeds mereka. Ketika lagi sepi prestasi atau kegiatan inspiratif, mereka akan mengisi lini masa dengan throwback momen-momen wow dalam hidup. Begitu terus sampai ada lagi yang bisa dibagikan. Tidak masalah jika nostalgia yang dipamerkan itu benar-benar terjadi sekalipun sudah bertahun-tahun lamanya. Tapi akan jadi masalah ketika stok momen throwback itu habis.

Baca Juga:

ilustrasi Mengcapek sama Orang yang Nonton Film di TikTok. Serunya di Mana?! mojok.co

Mengcapek sama Orang yang Nonton Film di TikTok. Serunya di Mana?!

6 Oktober 2021
personal branding Anak Hilang Selama 5 Tahun Ditemukan lewat Twitter hanya Dalam 2 Hari mojok.co

Walau Dibilang Antisosial, Jarang Online adalah Wujud Kemewahan

15 Mei 2020

Karena selalu hidup dalam konstruksi prestasi, alam bawah sadar mereka pun terlatih membangun gambaran-gambaran kejayaan: riuh tepuk tangan, teriakan selamat, sorotan panggung, dst. Dengan kondisi seperti itu, beberapa orang bahkan jadi sulit membedakan mana yang benar-benar pencapaian di dunia nyata, mana yang hanya terselenggara di dunia imajinasi.

Dwi Hartanto, misalnya. Sekalipun kampus tempat Dwi S1 mungkin tidak terkenal, dia terbukti melanjutkan S2 dan S3 di Belanda alias di luar negeri yang berarti pintar dan berprestasi. Tahu sendiri kan, derajat mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri sampai sekarang masih sangat dikultuskan. Apalagi kalau aktif di medsos, mudah sekali menjaring follower dengan cerita inspiratif apa pun itu yang berlatar luar negeri.

Maka selayaknya mahasiswa hits berprestasi lainnya, Dwi rajin membagikan kabar pencapaiannya melalui laman facebook.com/nikolaus.kopernikus miliknya yang saat ini sudah nonaktif. Cerita-cerita Dwi mendapat like-comment- share oleh banyak orang hingga viral dan melejitkan namanya. Semakin baik tanggapan warganet, Dwi semakin bersemangat dan kreatif memamerkan pencapaian. Jangan sampai follower-nya hilang atau lapaknya sepi karena postingan remeh temeh keseharian yang tidak prestatif dan inspiratif. Seolah-olah orang berprestasi tidak boleh “biasa saja” dan citraannya harus selalu “wow” di medsos. Sayangnya, demi menghidupi citraan wow itu, beberapa pencapaian imajinatifnya turut dicitrakan di dunia nyata.

Warganet yang terjebak dalam pencitraan ekstrem seperti Dwi tentu tidak sedikit. Beberapa orang melakukannya karena tuntutan penilaian dari orang lain atas mereka: sebagai mahasiswa berprestasi, konten medsosmu harus penuh prestasi dong. Tapi, tidak sedikit yang melakukannya karena ingin meraih penilaian orang lain: wah, ternyata kamu berprestasi sekali ya. Keduanya sama-sama demi penilaian dan pengakuan orang lain.

Ada yang bilang generasi micin premium semacam Dwi ini pembohong yang gila pengakuan, tapi para psikolog menjelaskan mereka dengan istilah mitomania. Bahwa sebenarnya mereka tidak berniat membohongi, bahkan tidak sadar kalau melakukan kebohongan karena menganggap citra diri imajinatif mereka seolah nyata.

Masih menurut psikolog, mitomania disebabkan banyak hal, di antaranya perasaan gagal dalam menghadapi tuntutan hidup. Apalagi di usia 20-an dan 30-an tahun di mana pemuda hits berprestasi pun bisa terkena quarter life crisis. Lebih-lebih ketika kondisi itu diperparah dengan FOMO di era eksistensi digital jaman now.

Merasa tertampar ketika teman memamerkan hak paten ketiganya di Facebook, sementara kita satu saja belum punya. Merasa terpukul ketika menemukan saudara naik jabatan di LinkedIn, sementara posisi kita masih stagnan. Tiba-tiba kita ingin menjadi mereka biar bahagia. Padahal kalau terus mengikuti maunya FOMO, tidak akan ada habisnya. Dia bikin startup apa, kita ikutan biar hits. Dia kuliah di negara mana, kita ikutan biar hits. Kita ngos-ngosan menyesuaikan diri dengan target dan standar bahagia orang lain biar hits tanpa benar-benar tahu apakah itu yang membahagiakan kita.

Padahal kalau mau bahagia lahir batin sebagai people jaman now, tipsnya mudah saja. Kita harus berani melawan “ketakutan menjadi tidak hits” dengan “kebahagiaan menjadi tidak hits” karena pilihan sadar kita. Bukan berarti lantas membenci segala aktivitas berbau prestasi atau apresiasi dan menjadi generasi micin pada umumnya. Tapi, kita perlu berlatih jujur menampilkan citra diri dengan seutuhnya, agar tidak terjebak dalam sindrom harus-selalu-tampak-sempurna.

Sekalipun kamu memilih menjadi generasi micin premium yang dibebani tuntutan image tertentu, bukan berarti kamu tidak boleh berbahagia pada hal-hal remeh non-prestatif apresiatif. Kalau memang kamu bahagia membaca komik Sailormoon di rumah sambil ngemil cantik, ya jangan memaksa diri mengisi liburan dengan diskusi Marxis biar tampak seksi, atau nonton musik indie biar sounds artsy. Sebab untuk bahagia, terkadang kita hanya perlu terbuka dengan standar bahagia kita. Pun ketika standar itu dianggap remeh oleh orang lain.

Terakhir diperbarui pada 9 November 2017 oleh

Tags: Dwi hartantofear of missing outfomogenerasi micinmitomaniamythomaniaprestasi
Esty Dyah Imaniar

Esty Dyah Imaniar

Artikel Terkait

ilustrasi Mengcapek sama Orang yang Nonton Film di TikTok. Serunya di Mana?! mojok.co
Pojokan

Mengcapek sama Orang yang Nonton Film di TikTok. Serunya di Mana?!

6 Oktober 2021
personal branding Anak Hilang Selama 5 Tahun Ditemukan lewat Twitter hanya Dalam 2 Hari mojok.co
Pojokan

Walau Dibilang Antisosial, Jarang Online adalah Wujud Kemewahan

15 Mei 2020
puasa media sosial nggak pakai medsos nadiem makarim farid stevy reza rahadian social media FOMO kecanduan sosmed instagram puasa twitter puasa tv puasa instagram mojok.co
Pojokan

Mencoba Tidak Heran dengan Orang yang Puasa Media Sosial

25 Maret 2020
Itu Masjid Apa Kantor Kelurahan, Dibuka kok Waktu Dinas Salat Lima Fardu Saja?
Moknyus

Jelang Closing Ceremony Asian Games 2018, Jokowi Ingin Terbang Naik Motor Lagi

2 September 2018
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
suzuki-karimun-gx-mojok

Suzuki Karimun GX, Mobil Mulia untuk Orang yang Mulia

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Derita Pedagang Pasar Beringharjo, Omzet Anjlok Gara-gara Tiktok Shop MOJOK.CO

Derita Pedagang Pasar Beringharjo, Omzet Anjlok Gara-gara TikTok Shop

26 September 2023
Tragedi Kanjuruhan Tragedi yang Ingin Dilupakan Pemerintah MOJOK.CO

Tragedi Kanjuruhan 1 Tahun: Ketika Pemerintah dan Aparat Ingin Masyarakat Indonesia Melupakan Tragedi yang Merenggut 135 Nyawa!

1 Oktober 2023
Safari Dharma Raya, Bus "Gajah" dari Temanggung yang Melegenda Sejak 1951 MOJOK.CO

Safari Dharma Raya, Bus “Gajah” Kebanggaan Warga Temanggung yang Melegenda Sejak 1951

25 September 2023
ekosistem sekolah.MOJOK.CO

Mengenal Ekosistem Sekolah untuk Pendidikan yang Lebih Baik

30 September 2023
Universitas di Kediri bagi Kalian yang Tidak Ingin Merantau MOJOK.CO

6 Universitas Terbaik di Kediri, Bisa Jadi Pilihan bagi Warga Kediri yang Tidak Ingin Merantau

29 September 2023
Beratnya Menjalin Hubungan Romansa dengan Cowok Beda Agama MOJOK.CO

Beratnya Menjalin Hubungan Romansa dengan Cowok Beda Agama

28 September 2023
Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan MOJOK.CO

Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan

27 September 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In