MOJOK.CO – Selamanya, Klaten itu koppig. Selamanya, Klaten itu keras kepala. Paling tidak, sebentang sejarah yang diuraikan di bawah ini.
Klaten koppig ini tidak terbangun dalam semalam. Ada satu rantai sejarah yang panjang di mana kabupaten ini adalah laboratorium para aktivis yang disebut Orba sebagai “perintis kemerdekaan”.
Klaten memenangkan pasukan Diponegoro dalam Java Oorlog yang membikin Legiun Mangkunegaran kocar-kacir dan putar haluan pulang ke Solo? Iya.
Klaten menjadi episentrum gerakan pemogokan buruh perkebunan hasil perkawinan kapitalisme kolonialisme dan feodalisme? Iya.
Kabupaten ini menjadi gelanggang penyebaran ayat-ayat radikalisme anti feodalisme dan kapitalisme kebun oleh para mubalig keras kepala seperti Haji Misbach? Iya.
Di Jiwan, 9 Agustus 1826 atau setahun setelah genderang Java Oorlog ditabuh dari Tegalrejo-Selarong (Yogyakarta), menjadi catatan menyeramkan bagi pasukan Jenderal De Kock.
Jangan main-main dengan orang Klaten
Jiwan, yang saat ini masuk dalam kawasan Karangnongko, menjadi Baratayudha bagi Laskar Diponegoro yang berada di Klaten dan sekitarnya. Mereka memperlihatkan perjuangan yang gigih. Bukan hanya memperlihatkan sikap bahwa jangan main-main dengan orang Klaten, tetapi juga mengirim pesan kepada Surakarta soal api Klaten.
Dalam Java Oorlog, sebagaimana disarikan buku Legiun Mangkunegaran (1808-1942), pasukan De Kock disokong oleh Legiun Mangkunegaran yang dianggap sebagai pasukan Jawa yang terlatih di medan pertempuran.
Legiun Mangkunegaran selamanya menjadi bonding tentara kolonial. Siapa saja yang dimusuhi Belanda, itulah musuh orang-orang Mangkunegaran.
Klaten tak gentar
Pertempuran yang terkenal dengan sebutan “Pertempuran Kalasan” itu mengirim ultimatum bahwa orang Klaten bukan penjilat kolonial. Selamanya, kabupaten ini adalah batu sandungan bagi siapa saja yang melekatkan nasibnya kepada Belanda. Jiwan adalah jiwa patriotisme Klaten dalam Java Oorlog.
Pada Perang Jawa itu, jiwa Klaten disiram oleh darah patriotisme melawan rupa-rupa seragam, termasuk “Eropa pesek” seperti pasukan Legiun Mangkunegaran bentukan Daendels 17 tahun sebelum Perang Jawa meletus. Mereka adalah bumiputra yang merasa lebih Eropa dari Eropa karena didandani ala Eropa.
Pangeran Diponegoro yang berada di Jiwan berhasil mengobarkan revolusi bagi pasukan taninya yang membuat pusat pasukan De Kock di Magelang gusar. Jiwan, dalam laporan kekalahan yang ditulis Van Geen, disebut sebagai malapetaka.
Pimpinan tempur Mayor Sollewijn tak bisa berbuat banyak. Jiwan yang mulanya dikuasai dan dijaga 1000-an pasukan elite khusus Mangunegaran berubah menjadi aib. Legiun Mangkunegaran kebingungan dan lari kocar-kacir dengan telanjang tanpa senjata. Lebih kurang 112 orang pasukan infanteri Mangkunegaran tewas di Jiwan.
Begini cuplikan salah satu paragraf laporan Jenderal Van Geen dari Jiwan, sebagaimana dialihbahasakan Iwan Santosa (2011):
“Pada hari yang naas ini telah gugur Letnan Ajudan Rodel dan prajurit relawan Canter Visscher yang beberapa hari sebelumnya dianugerahi penghargaan; kemudian 10 orang Eropa, 12 orang pribumi (dari pasukan kami) dan 112 orang infanteri Mangkunegara, dua orang Jayeng Sekar dan seorang kapten pasukan pionir Madura, Pandji Terdjakoesoema, yang bersama 11 anak buahnya tewas dalam pertempuran. Pihak musuh merebut sebuah meriam besi dua pon, dua mortir tangan, 20 pucuk meriam dan mortir, 1500 butir peluru senapan, sembilan ekor kuda tarik, kuda pengangkut beban dan kuda tunggang beserta kereta-keretanya; sementara senjata prajurit yang tewas oleh musuh, sejumlah prajurit Mangkunegara kembali dengan telanjang dan kehilangan senjata.”
Klaten yang dengan sadar memilih pro-Diponegoro adalah sebuah jiwa koppig
Ini sebuah sikap yang keras kepala. Tidak main-main, Java Oorlog yang membentuk pribadi koppig seperti itu dengan Jiwan sebagai Baratayudha-nya.
Oleh karena itu, bukan sebuah kebetulan bila pada awal dekade kedua awal abad 20, Klaten yang dilambari spirit api Perang Jawa itu kembali menemukan momentum radikalnya.
Bahwa kuburan Douwes Dekker ada di Bandung, iya. Tetapi, setelah peristiwa artikel subversif Soewardi di De Expres pada 1913, tiga serangkai itu–Dekker-Tjipto-Soewardi–membangun kembali organisasi mereka dengan nama baru Nasional Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH).
Dan, kabupaten ini menjadi laboratorium aksi bagi Insulinde untuk membuktikan bahwa mereka ada dan selalu ada bersama para petani di perkebunan-perkebunan raya milik Kasunanan-Residen. Di Klaten pula, sebagaimana dicatat dengan narasi yang epik oleh Takashi Shiraishi, satu demi satu penggawa utama Insulinde ditangkap.
Douwes Dekker diciduk polisi di Polanharjo yang masuk dalam Distrik Ponggok, Klaten. Dia dituduh menghasut pemogokan petani dan membikin murka residen Surakarta, Harloff. Sementara, Misbach juga ditangkap karena materi dakwahnya yang seperti “menyiram” Pertalite ke jerami petani di beberapa distrik, terutama Delanggu, yang juga masuk daerah Klaten.
Gerakan anti raja dan anti kapitalisme kebun
Gerakan anti raja dan anti kapitalisme kebun milik para bangsawan biru yang menjadi abdi dari kolonialisme di Surakarta, aksi-aksinya mengambil tempat di berbagai daerah di Klaten. Ketika menyebut “Insulinde Surakarta” yang dipimpin dr. Tjipto, sejatinya massa realnya adalah kring-kring di kabupaten ini: Gawok, Karangduren, Klaseman, Polanharjo, Bintaran, Prapat, Delanggu. Ketika menyebut SI Surakarta, massa utamanya juga adalah daerah-daerah yang sama.
Kabupatan ini disebut sebagai antitesis atas Surakarta. Klaten kiri, Surakarta kanan. Klaten diisap, Surakarta pengisap. Para dokter revolusioner macam Tjipto-Soewardi dan mubalig radikal Kauman macam Misbach menjadikan kabupaten ini sebagai tanah revolusioner di mana dari bongkahan-bongkahan tanahnya bermunculan para pengerek bendera perlawanan atas kolonialisme.
Dari pengindeksan cepat yang saya lakukan, Zaman Bergerak yang dibikin dengan sangat apik oleh Takashi Shiraishi, saat berbicara tentang petani dan pemogokan, penangkapan dan penahanan para aktivis, sesungguhnya semua latar peristiwanya berada di Klaten. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1928, oleh karena itu, sesungguhnya adalah kitab kronik kaum tani dan pemundak pergerakan nasional (di) Klaten.
Pemberontakan paling berani
Puncak dari itu semua adalah saat Klaten, tepatnya (B)Prambanan, dipilih oleh PKI yang digerakkan para kiai dan aktivis-aktivis Sarekat Islam menyusun rencana pemberontakan paling berani pada dua dekade awal abad 20. (B)Prambanan dipilih bisa jadi karena ari-ari kemenangan Pangeran Diponegoro ada di kawasan ini; jiwa revolusioner tertanam di Jiwan.
Klaten dipilih karena nama-nama yang kita kenal hari ini sebagai para pahlawan nasional seperti Tjipto, Douwes Dekker, Ki Hadjar, Soerjopranoto, memang memilih kabupaten ini sebagai laboratorium aksi perubahan sosial yang digerakkan oleh mereka.
Klaten koppig, Klaten yang keras kepala ini juga mengukuhkan Misbach sebagai haji merah. Pada Klaten-lah, kita temukan banyak kutipan-kutipan tak lekang oleh waktu yang diteriakkan Misbach. Termasuk, karikatur legendaris dan subversif yang dimuat di majalahnya, Islam Bergerak.
Karikatur yang menggambarkan bagaimana para kapitalis kebun Belanda dengan bawahannya para priyayi Kasunanan-Mangkunegaran mengisap petani dengan pajak yang mencekik. Karikatur yang menggambarkan secara telengas dan oposisi biner posisi Klaten versus Surakarta.
Klinik gerakan sosial
Pada Klaten pula, kita tahu, walau Tjipto buka praktik kedokteran di Surakarta, tetapi klinik gerakan sosial utamanya tetaplah vorstenlanden bernama Klaten.
Sampai kalender Republik datang lewat revolusi nasional, Klaten tetaplah penegak kitab ajar perlawanan Pangeran Diponegoro. Saat ibu kota revolusi bernama Yogyakarta sedang berada di atas tungku panas, kabupaten ini menjadi rumah sementara yang ramah bagi kampus UGM.
Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) yang berada di bawah bendera UGM yang merupakan hasil nasionalisasi dari Djakarta Ika Daigaku yang muasalnya dari STOVIA, beroperasi di Klaten. Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) itu kemudian bersulih menjadi Fakultas Kedokteran UGM.
Sampai di sini, Klaten bukan kota kaleng-kaleng. Semesta Klaten koppig adalah buku tebal dari mana sumur dari gerakan sosial modern di Jawa bisa kita baca (kembali). Itu.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Fakta di Balik Logo Hari Jadi Klaten ke-220, Simbol Kecantikan dan Kebijaksanaan Wilayah dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.