MOJOK.CO – Yang dibutuhkan Pak Airlangga adalah resonansi politik dari Kartu Prakerja sampai ke ujung dunia. Urusan sinkronisasi angka klaim Airlangga dan angka BPS …ah itu urusan lain.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Temu Raya Alumni Program Kartu Prakerja bersama Presiden RI Joko Widodo, yang dilaksanakan Hybrid, di Sentul International Convention Centre, Bogor, Jumat (17/6/2022), sesumbar bahwa program kartu Prakerja berjalan efektif. Bahkan menurut beliau, program kartu Prakerja akan dipelajari lebih lanjut dan direplikasi oleh Belanda karena dianggap sebagai program Government to People yang paling masif dibanding yang pernah ada di negara lain.
Sebelum membahas lebih dalam, saya akan membahas sedikit soal istilah program Government to People atau G to P terlebih dulu. Semoga masyarakat Indonesia tidak terlalu pusing dan bingung dengan istilah-istilah semacam itu.
Dari pemilihan katanya saja sudah bisa ditebak artinya sama dengan program pemerintah lainya, yang penggunaan anggarannya dimaksudkan untuk masyarakat. Terkadang memang terkesan “keren” karena menggunakan istilah seperti itu. Tapi lagi-lagi intinya sama saja seperti program untuk segmen masyarakat tertentu yang lainya. Cara dan modelnya saja yang berbeda.
Begitulah. Bahasa ekonomi memang acap dibungkus istilah-istilah yang kesannya keren. Boleh jadi agar terlihat keren atau agar masyarakat pusing dan malas memikirkannya lebih dalam alias apriori.
Saya ingat kata-kata seorang ekonom dari Cambridge University, Ha-Joon Chang, “95 percent of economics is common sense- made to look difficult, with the use of jargons and mathematics,” katanya. Jadi, abaikan saja istilah-istilah yang sebenarnya tak lebih dari jargon semata agar publik tetap fokus untuk memahami dan mengawasinya
Baiklah, kita kembali ke topik dasar. Ada beberapa poin penting yang saya catat dari cerita Airlangga di acara temu alumni itu, selain urusan jargon program Government to People alias G to P itu.
Misalnya, sampai gelombang ke-32 sudah lebih dari 12,8 juta penerima manfaat Kartu Prakerja, yang tersebar di 514 kabupaten/kota se-Indonesia, dan 95 persen telah menerima insentif. Menurut Airlangga, “… dari yang mengikuti Prakerja, 30 persen yang sebelumnya menganggur kini telah bekerja atau berwirausaha, dan 90 persen itu peningkatan kompetensi produktivitas dan meningkatkan daya saing.”
Lalu menurutnya, “… 66 persen menggunakan sertifikasi Prakerja untuk mendapatkan pekerjaan, 27 persen dari penerima belum pernah punya rekening, Bapak Presiden, tetapi 27 persen Itu memilih menggunakan e-wallet, sehingga ini menjadi bagian dari program inklusi keuangan.” Kemudian, “… dari bantuan dana yang diberikan Rp600.000 untuk empat bulan, 92 persen untuk membeli pangan dan 70 persen untuk modal usaha,” kata Airlangga.
Mari kita lihat perbandingannya dengan data yang ada….
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 9,1 juta orang per Agustus 2021. Jumlah itu turun sekitar 670.000 orang dari posisi per Agustus 2020 yang mencapai 9,77 juta orang. Jadi, setahun setelah program Kartu Prakerja digulirkan, data pengangguran memang menunjukan penurunan, yakni turun 670.000. Namun, angka tersebut tak berbeda jauh dengan angka penurunan pengangguran natural yang terjadi di tahun-tahun sebelum pandemi.
Kemudian, pada Februari 2022, BPS melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia tercatat sebanyak 8,40 juta orang, alias turun sekitar 350.000 orang dari posisi per Februari 2021 yang mencapai 8,75 juta orang dan 700.000 orang dibanding Agustus tahun 2020. Menurut BPS ketika itu, penurunan tersebut sejalan dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara nasional yang turun dari 6,26% pada Februari 2021 menjadi sebesar 5,83% pada Februari 2022 atau turun sebesar 0,43% dibandingkan Februari 2021.
Dengan kata lain, dari Agustus 2020 ke Februari 2022, pengangguran turun sekitar 1.370.000 orang. Sementara itu, Airlangga mengatakan, 30 persen dari pengguna Kartu Prakerja yang sebelumnya menganggur kini sudah bekerja atau berwirausaha (alias tidak menganggur lagi). Angka 30 persen dari total pengguna Kartu Prakerja yang 12,8 juta berarti sekitar empat jutaan. Artinya, ada empat juta pengguna Kartu Prakerja yang sebelumnya menganggur sudah bekerja atau berwirausaha alias tidak lagi nganggur.
Jika kita berpatokan pada data pengangguran BPS di Agustus 2020 sebesar 9,77 juta orang dan angka dari Airlangga yang 30 persen peserta Kartu Prakerja itu, maka secara pukul rata akan menjadi 5,7 jutaan pengangguran di Februari 2022.
Mengapa?
Karena dikurangi dengan 30 persen peserta Kartu Prakerja, sebagaimana diklaim Airlangga (sekitar 4 jutaan, 30 persen dari 12,8 juta). Tapi ternyata, BPS mengumumkan pada Februari 2022 bahwa pengangguran turun menjadi 8,40 juta orang dari 9,77 juta di Agustus 2020. Plus minus hanya turun 1,3 jutaan.
Boleh jadi angkanya tidak persis seperti itu karena di sini saya menggunakan kalkulasi sederhana saja, yaitu membandingkan klaim Airlangga yang mengatakan 30 persen peserta Kartu Prakerja yang awalnya menganggur (sejatinya memang untuk pengangguran) sudah kembali bekerja atau berwirausaha alias tidak lagi nganggur. Sehingga saya membandingkannya dengan perubahan angka pengangguran dari tahun 2020 sampai 2022.
Ada faktor angkatan kerja baru yang memang perlu dihitung. Meski demikian, di sisi lain, ada pula faktor 70 persen peserta Kartu Prakerja yang disebutkan Airlangga, sekitar 8 jutaan, sebagiannya belum mendapatkan pekerjaan atau baru sekadar mendapatkan tambahan skill (sertifikat).
Meminjam kalimat Airlangga, “… 66 persen menggunakan sertifikasi Prakerja untuk mendapatkan pekerjaan” alias baru mendapatkan sertifikat dari program Prakerja. Jadi saya anggap impas dan saya berasumsi bahwa angka 30 persen dari Airlangga nampaknya kurang sepadan dengan angka pengurangan pengangguran dari BPS.
Untuk memperjelasnya, mari kita lihat dari sisi yang lebih luas, yakni data angkatan kerja, penyerapan kerja, dan angka partisipasi kerja, yang telah memasukan pertambahan angkatan kerja per tahun.
Berdasarkan data BPS, angka angkatan kerja nasional pada Februari 2020 adalah 140,22 juta dari angka Penduduk Usia Kerja (PUK) 202,60 juta. Dari angka itu, penduduk yang bekerja tercatat sebesar 133,29 juta. Kemudian, pada Februari 2021, angkatan kerja turun menjadi 139,31 juta dari seluruh PUK yang naik menjadi 205,36 juta. Dari angka itu, penduduk yang bekerja di Februari 2021 turun lagi menjadi 131,06 juta.
Pada Februari 2022, angkatan kerja naik menjadi 144,01 juta dari seluruh PUK yang tercatat juga naik menjadi 208,54 juta. Dari angka itu, penduduk yang bekerja di Februari 2022 naik menjadi 135,61 juta. Kemudian, secara persentase partisipasi kerja, dari data BPS, angka partisipasi kerja belum menunjukan perbaikan dibanding masa prapandemi. Pada Februari 2020, angka partisipasi kerja tercatat 69,21 persen. Lalu turun menjadi 68,08 persen di Februari 2021 dan kembali naik menjadi 69,06 di Februari 2022. Serta tak lupa, dari total angkatan kerja sampai Februari 2022, 59 persen adalah pekerja di sektor informal.
Jadi, dari data di atas terlihat bahwa perubahan angka angkatan kerja yang bekerja dari Februari 2020 ke Februari 2022 hanya 2,32 juta (135,61 juta dikurangi 133,29 juta). Begitu pula dengan persentase partisipasi kerja dari Februari 2020 ke Februari 2022. Persentasenya bahkan belum kembali ke angka sebelum masa pandemik.
Pada Februari 2022, angka partisipasi kerja masih berada di level 69,06 persen. Masih di bawah angka partisipasi kerja pada Februari 2020 yang tercatat 69,21 persen. Jadi pendeknya, baik dari perubahan data pengangguran maupun dari data angkatan kerja yang bekerja, masih belum terdapat kecocokan dengan data keberhasilan Kartu Prakerja yang diklaim Airlangga Hartarto.
Lalu selanjutnya, soal kepemilikan rekening bank dan pendaftaran e-money. Menurut Airlangga Hartanto, “… 27 persen dari penerima belum pernah punya rekening Bapak Presiden, tetapi 27 persen itu memilih menggunakan e-wallet, sehingga ini menjadi bagian dari program inklusi keuangan.”
Artinya, Kartu Prakerja berhasil membantu 30 persen pengangguran yang mendaftar mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha dan berhasil membuat 27 persennya yang sama sekali belum punya rekening bank mendaftar sebagai pengguna salah satu aplikasi e-wallet.
Jadi, keberhasilan Kartu Prakerja dalam menjual aplikasi milik start up dan korporasi bahkan mendekati keberhasilan dalam mendapatkan pekerjaan atau membantu berwirausaha yang diklaim 30 persenan. Boleh jadi memang intinya untuk membangun ekosistem, seperti kata beliau. Ya, ekosistem yang dibangun dengan dana Rp1 juta per orang untuk membeli video dan lainya dari total sekitar 3,5 juta per orang.
Arti lainnya, Rp1 juta rupiah digunakan untuk membantu perusahaan aplikasi belajar atau aplikasi fintech (e-money) memasarkan aplikasinya beserta konten-kontennya kepada 12,8 jutaan angkatan kerja. Dalam bahasa Airlangga, hasil tersebut berdampak positif pada inklusi keuangan. Dengan kata lain, 27 persen dari peserta yang sama sekali belum memiliki rekening akhirnya punya rekening e-wallet. OJK yang semestinya paling bertanggung jawab soal inklusi keuangan, semestinya iri karena Kartu Prakerja jauh melampaui hasil program inklusi keuangan dari OJK.
Pendeknya, secara politik, jika besok-besok ada reshuffle kabinet lagi, peluang Airlangga untuk bertahan di kabinet semakin besar karena track record dan kompetensinya meluas. Dengan klaim keberhasilan satu program saja, yakni Kartu Prakerja, Airlangga sudah layak dianggap berprestasi untuk banyak bidang. Oleh sebab itu, Airlangga layak menjadi kandidat Menteri Tenaga Kerja, menteri Kominfo, menteri Pendidikan dan kebudayaan, dan tak lupa, termasuk kandidat Kepala OJK.
Perkara angka keberhasilan yang diklaim terlalu berlebihan itu, ah sudahlah. Yang dibutuhkan Pak Airlangga adalah resonansi politik dari Kartu Prakerja sampai ke ujung dunia. Urusan sinkronisasi angka klaim Airlangga dan angka BPS, ah itu urusan lain.
BACA JUGA Masalah Kartu Prakerja: Pelatihannya Absurd, Verifikasinya Mudah Dibobol, Selanjutnya Apa? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno