MOJOK.CO – Ulama kadang santai saja ketika mendapati ulama lain beda pendapat. Cuman kadang jamaahnya yang malah nggak bisa santai. Nggak mau santai sih sebenarnya.
Sudah dari dulu jamaah masjid utara dengan masjid selatan tak akur. Dua masjid di dua desa ini memang tidak cukup dekat. Bukan tidak dekat secara jarak, melainkan tidak dekat secara kultur masyarakat maupun amalan-amalannya.
Apalagi keduanya punya jamaah yang sama-sama militan, wajar kalau kedua kelompok jamaah masjid ini sering saling menggunjing satu sama lain.
Seperti salat di masjid selatan yang selalu memakai doa qunut kalau salat subuh dan tidak di masjid utara. Atau kebiasaan jamaah masjid utara yang tak pernah mau salaman sehabis salat, sedangkan jamaah masjid selatan yang selalu saling bersalaman usai salat.
Selain itu, keduanya juga punya tokoh ulama masing-masing yang sering punya pendapat berbeda. Bahkan kalau materi ceramah keduanya disandingkan satu sama lain, terasa benar aroma perdebatan dua ulama ini.
Jamaah masjid selatan punya tokoh Kiai Kholil, sedangkan masjid utara punya Ustaz Kholid. Dua-duanya sama-sama ‘alim, berpengaruh, dan punya santri banyak.
Masalahnya, pada suatu hari, Kiai Kholil kepergok harus mengimami salat subuh di masjid utara. Ini jelas jadi perkara besar, terutama bagi jamaah Ustaz Kholid.
“Wah, kurang ajar ini. Kok Ustaz Kholid bisa-bisanya memberi akses Kiai Kholil ngimami salat subuh di masjid kita? Kiai Kholil kan die hard doa qunut kalau salat subuh? Ini subuhan kita bakalan ada qunutnya ini. Padahal kan qunut itu bid’ah,” protes jamaah bisik-bisik ketika sadar bahwa yang akan mengimami salat subuh mereka saat itu adalah Kiai Kholil.
Sebenarnya Kiai Kholil sebagai “tamu” sadar betul bahwa ada perbedaan-perbedaan kecil di antara dirinya dan jamaah. Oleh karena itu, sebelum didaulat menjadi imam salat subuh, Kiai Kholil sempat menolak jadi imam.
“Udah, Pak Kiai. Tenang aja. Sampeyan aja yang jadi imam. Risiko saya tanggung,” kata Ustaz Kholid sambil tersenyum.
Kiai Kholil tertegun sejenak. Namun sadar karena tak ada iktikad Ustaz Kholid mau maju ke depan, Kiai Kholil pasrah. Untuk kali pertama dalam sejarah, masjid utara diimami oleh ulama yang biasa pakai doa qunut.
Salat subuh berjamaah pun dimulai. Semua jamaah menanti momen rukuk di rakaat kedua, apakah Kiai Kholil akan membaca doa qunut? Beberapa jamaah sudah meneguhkan diri, kalau nanti Kiai Kholil baca doa qunut, mereka akan diam saja tak ikut mengaminkan.
Uniknya, momen yang ditunggu-tunggu itu tak terjadi. Tak dianya, begitu selesai rukuk rakaat kedua, Kiai Kholil i’tidal seperti biasa, lalu langsung sujud. Begitu terkejutnya para jamaah, beberapa orang malah sempat berdiri dalam kebingungan. Namun karena imam salat hari itu adalah Kiai Kholil, semua jamaah akhirnya ikut saja langsung sujud.
Begitu usai salat, bukan hanya jamaah yang terheran-heran, tapi juga Ustaz Kholid. Tumben-tumbenan ini Kiai Kholil tidak pakai doa qunut. Ada apa ini?
Beberapa waktu kemudian tiba-tiba di samping Kiai Kholil datang seseorang yang mengulurkan tangannya. Kiai Kholil lumayan kaget, sebab Kiai Kholil tahu kalau masjid utara tidak mengenal kebiasaan bersalam-salaman sehabis salat. Lebih kaget lagi karena yang mengulurkan tangan ini adalah Ustaz Kholid. Ulama yang berbeda pendapat dengan Kiai Kholil soal bersalaman usai salat.
Melihat uluran tangan ini, Kiai Kholil lalu menyalami. Keduanya pun saling berebut untuk saling mencium punggung tangan masing-masing.
Cerita ini langsung jadi bahan pergunjingan masing-masing jamaah. Terutama orang-orang seperti Fanshuri yang pejah gesang nderek Kiai Kholil. Untuk itulah Fanshuri bertanya ke Kiai Kholil ketika sowan.
“Pak Kiai, memang bener ya kemarin itu Pak Kiai ngimami salat subuh di masjid utara dan nggak mau pakai doa qunut?” tanya Fanshuri.
Kiai Kholil tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Dari mana kamu dengar cerita itu?” tanya Kiai Kholil.
“Wah semua orang udah denger Pak Kiai,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil terkekeh saja mendengarnya.
“Kenapa Pak Kiai nggak pakai qunut aja waktu ngimami masjid utara itu?” tanya Fanshuri.
“Buat apa?” tanya Kiai Kholil.
“Lah, kan qunut itu sunah,” kata Fanshuri lagi.
“Bagi mereka kan qunut itu bid’ah,” kata Kiai Kholil.
“Tapi kan imamnya waktu itu Kiai Kholil. Mau gimana-gimana mereka mesti ngikut imam salatnya dong?” kata Fanshuri.
Kiai Kholil menghela napas sejenak.
“Fan, sekarang gini. Coba kamu pikir, kira-kira lebih sunah mana sama menjaga persaudaraan sama saudara seiman ketimbang mempertahankan sesuatu yang berisiko jadi masalah?” tanya Kiai Kholil.
Fanshuri cuma terdiam mendengarnya.
“Lagian, tolong dibedakan antara hukum dan sikap hukum,” kata Kiai Kholil.
“Memang apa bedanya Pak Kiai?” tanya Fanshuri.
“Hukum itu keyakinan kita bahwa doa qunut itu disarankan, tapi sikap hukum kita terhadap yang tidak melakukan itu ya baiknya biasa aja. Monggo aja kalau tidak mau melakukan. Itu hak masing-masing. Dan soal keputusanku yang nggak pakai doa qunut itu ya karena menghormati tuan rumah jauh lebih baik ketimbang mempertahankan kebiasaan yang nggak terlalu prinsipil itu,” kata Kiai Kholil.
“Ta, tapi, Pak Kiai,” kata Fanshuri ngotot.
“Fan, ingat. Menjaga tetap bersama jauh lebih baik ketimbang mencari cara untuk satu suara. Kalau kamu ngotot, coba tanyakan lagi ke dirimu. Ini soal beda pendapat perkara agama atau cuma perkara menang-menangan kelompok aja?”
Tiba-tiba kepala Fanshuri terasa pengen digaruk meski tidak terasa gatal.
“Hehe, iya juga sih, Pak Kiai,” kata Fanshuri cengengesan.
*) Diolah dari kisah Imam Syafi’i.
BACA JUGA Adu Mulut karena Bid’ah Doa Qunut atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.