MOJOK.CO – Fanshuri terkejut ketika tahu Gus Mut membolehkan perempuan untuk tidak pakai jilbab. Menurut Fanshuri ini tafsir yang bahaya dan mengarah ke kesesatan.
Fanshuri terkejut ketika ada perempuan tidak pakai jilbab di teras kediaman Gus Mut. Baru datang karena hari itu ada janjian main catur, Fanshuri sempat bisik-bisik dari depan teras rumah Gus Mut karena nggak enak ada tamu lain.
“Jadi nggak, Gus?” tanya Fanshuri lirih.
“Oh, Fanshuri. Jadi, Fan. Sini, sini, duduk samping saya dulu,” kata Gus Mut berdiri.
Tamu perempuan berdiri dan menyapa Fanshuri sejenak.
“Bentar ya, Fan,” kata Gus Mut setelah Fanshuri duduk.
Fanshuri cuma memberi jempol, lalu memberi kode ke Gus Mut untuk lanjut saja.
“Jadi gitu ya, Mbak,” kata Gus Mut melanjutkan obrolan sebelum kedatangan Fanshuri.
“Iya, Gus. Lagian saya juga masih belum bisa kalau langsung pakai jilbab gitu. Pekerjaan saya di kantor masih belum membolehkan pakai jilbab. Mungkin boleh—saya belum tahu, tapi saya perlu strategi dulu, Gus, biar nggak bikin kaget lingkungan saya,” kata perempuan itu.
“Yang penting salat wajib aja dulu, Mbak. Nggak apa-apa nggak pakai jilbab dulu,” kata Gus Mut.
Tak berapa lama perempuan itu pamit. Fanshuri yang baru datang merasa penasaran dengan percakapan terakhir Gus Mut dengan perempuan itu. Begitu tamu Gus Mut sudah jauh, Fanshuri langsung mencecar Gus Mut.
“Siapa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Anaknya Pak Sukri. Mau belajar ngaji di sini, katanya lagi pengen belajar agama sungguh-sungguh,” kata Gus Mut.
Fanshuri bingung.
“Kok nggak pakai jilbab?” tanya Fanshuri.
“Ya nggak apa-apa,” kata Gus Mut.
“Nggak apa-apa gimana. Gus Mut ini jangan ngawur lho. Jilbab itu kan wajib, Gus. Masak Gus Mut cuma jawab ‘nggak apa-apa nggak pakai jilbab’,” kata Fanshuri nyerocos.
Gus Mut tersenyum masih diam.
“Gus Mut ini bagaimana, di hukum Allah itu kan jelas kalau perempuan wajib berjilbab. Masak sama hukum Allah Gus Mut setengah-setengah ngasih tahu ke orang,” kata Fanshuri.
Lagi-lagi Gus Mut tersenyum, kali ini hampir tertawa.
“Gus Mut ini malah ketawa. Saya ini serius, Gus,” kata Fanshuri.
“Fan, Fan. Ketika aku bilang nggak apa-apa itu bukan berarti lantas aku jadi menghukumi yang sebenarnya,” kata Gus Mut.
Fanshuri sedikit tergelak.
“Nggak menghukumi gimana. Jelas-jelas kuping saya tadi denger Gus Mut bilang nggak apa-apa tidak pakai jilbab, jadi itu artinya Gus Mut menafsiri hukum baru soal aurat. Bisa jadi penafsiran sesat ini, Gus,” kata Fanshuri.
Gus Mut lagi-lagi tersenyum.
“Fan, sekarang gantian aku yang tanya. Boleh?” kata Gus Mut.
“Monggo, Gus,” kata Fanshuri mempersilakan.
“Dulu waktu kamu belajar puasa. Kamu langsung puasa full satu hari utuh, atau puasa bedug dulu?” tanya Gus Mut.
“Ya puasa bedug dulu dong, Gus,” kata Fanshuri.
“Nah, harusnya itu juga sesat, Fan. Tak ada di kitab manapun yang bilang kalau puasa bedug itu ada. Kenapa tidak ada ulama di Indonesia yang bilang kalau puasa bedug itu sesat? Tapi malah ada yang menyarankan,” kata Gus Mut.
“Lah, kan buat belajar, Gus. Kalau orang langsung dipaksa puasa full sehari utuh. Ya nggak ada yang kuat, nanti ngiranya Islam itu berat. Nggak enak. Jadi masalah baru buat umat nanti,” kata Fanshuri.
Gus Mut tersenyum.
Fanshuri bingung melihat Gus Mut tersenyum.
“Ya itu jawaban-jawaban untuk pertanyaanmu tadi,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus?”
“Ya kayak si mbak tadi itu baru mau belajar Islam dengan sungguh-sungguh. Kalau aku langsung bilang seperti yang kamu mau tadi, bahwa pakai jilbab itu wajib bla-bla-bla dan harus dilaksanakan saat ini juga, mbak tadi bukannya tambah tertarik tapi malah semakin kabur. Kamu mau tanggung jawab?” tanya Gus Mut.
“Ya, ya nggak mau, Gus. Kok malah saya jadi yang harus tanggung jawab,” kata Fanshuri.
“Ada riwayat, Fan. Dulu Nabi Muhammad itu pernah kedatangan seorang sahabat yang ingin masuk Islam, tapi punya kebiasaan suka nipu, tukang bohong. Terus sahabat ini nanya, ‘kalau saya ini suka bohong apa boleh saya ini masuk Islam terus salat dan zakat?’ Kamu tahu, Fan, apa jawaban Nabi?” tanya Gus Mut.
“Apa, Gus?”
“Nabi menjawab, ya nggak apa-apa, yang penting kamu tetep salat,” jawab Gus Mut.
Fanshuri terkejut.
Gus Mut melanjutkan, “Lalu ada Ibnu Abbas yang tanya soal sikap Nabi ini, apakah Nabi Muhammad berarti menghalalkan kebohongan? Jawab Nabi, beliau tidak membolehkan kebohongan, tapi Nabi bersabda, kalau orang sering salat dengan sungguh-sungguh diharapkan orang itu akan jijik sendiri dengan kebiasaan berbohong itu,” kata Gus Mut.
“Oh, jadi ketika Nabi bilang tidak mengharamkan berbohong di hadapan sahabat itu, bukan berarti hukum sebenarnya adalah bohong itu halal ya, Gus,” kata Fanshuri.
“Ya iya, sama seperti ketika aku bilang ke tamu tadi. Aku bilang nggak apa-apa tidak pakai jilbab dulu asal salat lima waktunya dijalankan. Hal semacam itu jangan dipahami bahwa aku menghalalkan buka aurat,” kata Gus Mut.
Fanshuri manggut-manggut.
“Hukum itu ketika penerapannya nggak bisa yang langsung, Fan. Harus ada tahapannya. Ada hukum yang sebenarnya, ada yang bertahap. Tauhid dulu lah, ritual wajib dulu lah, baru yang lain menyusul. Memangnya Islam itu datang dalam wujud jadi dalam sehari satu malam? Kan juga bertahap bertahun-tahun, Fan. Pakai perang dulu, pakai pengkhianatan dulu, macam-macam. Gilaran begini kok kamu maunya langsungan,” kata Gus Mut.
Kali ini Fanshuri termenung, mencerna kembali penjelasan Gus Mut sambil berbisik lirih, “Oh, begitu, Gus…”
“Ya sudah, kita jadi main catur nggak ini? Apa kamu udah takut kalah nih?”
“Heh, jadi dong, Gus. Enak aja!” kata Fanshuri bersemangat kembali.
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’.
BACA JUGA Menutup Aurat itu Wajib, tapi Jangan Jadi Syarat Islamnya Seseorang atau kisah Gus Mut lainnya.