MOJOK.CO – Tiba-tiba beredar gosip Kiai Kholil pernah satu mobil dengan seorang pelacur. Geger satu kampung. Fanshuri pun mencoba tabayyun ke putra Kiai Kholil, Gus Mut.
“Gus, apa bener dulu Abah sampeyan pernah menjemput pelacur waktu ngisi pengajian luar kota? Kok kemarin ada gosip-gosip begitu ya?” tanya Fanshuri di tengah-tengah main catur dengan Gus Mut.
Biasanya orang akan marah jika mendengar gosip anggota keluarganya pernah punya urusan dengan pelacur. Apalagi jika anggota keluarga itu adalah bapak dan seorang kiai lagi. Anehnya Gus Mut terlihat biasa saja.
“Denger dari siapa kamu, Fan?” tanya Gus Mut sambil menjalankan kudanya.
“Gosipnya udah nyebar, Gus. Aku nggak tahu pasti siapa yang pertama kali ngomong begitu,” tanya Fashuri.
Gus Mut terkekeh. Fanshuri bingung.
“Jadi bener, Gus?”
“Ya bener itu,” jawab Gus Mut.
“Astaghfirullah.”
“Lah, kok astaghfirullah?” tanya Gus Mut.
“Ya istighfar to, Gus. Jemput pelacur gitu lho,” kata Fanshuri.
“Memang kenapa kalau jemput pelacur?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya kan imej-nya bisa jadi jelek, Gus. Abah Gus Mut kan kiai,” kata Fanshuri lagi.
“Aku sih nggak tahu maksud cerita itu disebar belakangan ini buat urusan apa. Apa ada urusannya sama tahun politik atau upaya nyerang imej kiai-kiai. Tapi yang jelas bisa aku pastikan, cerita yang kesebar itu nggak komplet,” kata Gus Mut.
“Oh, jadi ini bener-bener Kiai Kholil yang jemput pelacurnya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Iya, waktu Abah masih muda. Masih kiai muda gitu lah,” jelas Gus Mut.
“Memang ceritanya gimana, Gus?” tanya Fanshuri.
Gus Mut lalu mulai bercerita saat muda abahnya.
Sebagai kiai muda saat itu, cara dakwah Kiai Kholil memang aneh. Ketika orang seperti Kiai Kholil selalu menghindari tempat-tempat maksiat, Kiai Kholil malah nggak masalah.
Saat itu, Kiai Kholil dapat panggilan pengajian ke luar kota, salah satu kota besar di Indonesia. Karena lumayan jauh dari kediaman Kiai Kholil, makanya Kiai Kholil dijemput pakai mobil. Sayangnya, karena sempat kena macet parah mobil yang membawa Kiai Kholil tiba di daerah tujuan sangat larut.
Awalnya Kiai Kholil juga bingung, jamaah dan panitia pasti sudah menunggu lama sekali. Untungnya, sopir yang juga panitia sudah telepon ke panitia di lokasi dan bilang kalau jamaah rela menunggu sampai kedatangan Kiai Kholil. Jam berapa pun datang, akan ditunggu.
Kebetulan, sebelum menuju daerah tempat pengajian, mobil yang membawa Kiai Kholil melewati daerah prostitusi terkenal di daerah tersebut. Karena sudah kadung terlambat, Kiai Kholil meminta sopir nggak buru-buru melewati daerah prostitusi itu.
“Oh, jadi ini tempatnya yang terkenal itu,” kata Kiai Kholil mau mengamati. Maklum, ini pengalaman pertama Kiai Kholil begitu dekat dengan area prostitusi.
“Iya, Pak Kiai. Maaf ya, Pak Kiai, gara-gara telat kita malah lewat daerah ini pas jam-jam operasinya dimulai,” kata sopir.
Ketika berhenti di lampu merah, tiba-tiba ada seorang pelacur yang mendekat lalu mengetuk-ketuk kaca mobil. Keadaan sudah cukup sepi karena hampir larut.
Tentu saja sopir yang diketuk kacanya merasa emosi. Dipikirnya dia siapa, berani mengetuk kaca mobil yang membawa Kiai Kholil. Ketika akan membuka kaca sedikit, terdengar suara penawaran dari si pelacur.
Ketika sopir mau memarahi si pelacur, tiba-tiba Kiai Kholil bersuara, “Coba aja ajak dia.”
Jantung si sopir hampir saja copot saat mendengarnya. “Tapi, Pak Kiai?”
“Udah ajak aja. Nanti biar jadi urusan saya,” kata Kiai Kholil yang duduk di sebelah sopir.
Karena keadaan di dalam mobil begitu gelap, pelacur tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. Lagian sopir yang membawa Kiai Kholil sudah kadung melepas pecinya, jadi busana yang dikenakan ya normal-normal saja. Sopir pun mengiyakan penawaran si pelacur.
Tanpa pikir panjang, pelacur itu pun masuk di jok belakang. Begitu masuk dan menutup pintu, si pelacur begitu terkejut mendapati sosok di samping sopir memakai peci, sorban, dan busana yang biasa dipakai untuk menghadiri pengajian. Tapi terlambat, mobil sudah jalan.
“Mas, ini apa-apaan sih? Mau menjebak saya ya?” kata si pelacur emosi.
“Saya tetap akan bayar kamu kok, Mbak, tenang saja,” jawab Kiai Kholil.
Pelacur yang di jok belakang jadi pucat pasi.
“Memang saya mau diculik ke mana?” tanya si pelacur.
“Ke pengajian,” jawab si sopir.
“Ngapain ke pengajian? Pakaian saya begini, Mas. Kalian jangan main-main ya? Ini nggak lucu,” si pelacur makin emosi.
“Udahlah, nanti aku yang bayar tarifmu. Aku bayar dua kali lipat dan akan kita kembalikan ke tempat tadi jemput kamu,” kata Kiai Kholil. Pandangannya tetap lurus ke depan.
Mendengar penawaran itu, si pelacur jadi mempertimbangkan kembali. “Benar ya? Awas kalau sampai nggak.”
Meski sudah mengiyakan penawaran Kiai Kholil, si pelacur tentu saja khawatir. Busana seksi yang dikenakan benar-benar salah kostum kalau mau hadir ke pengajian.
Pikiran buruk sangka pun muncul. “Mas, kamu mau mempermalukan aku di pengajian ya? Aku cuma dipakai buat jadi contoh buruk kan? Cuma jadi bahan olok-olokan,” tanya si pelacur.
Kiai Kholil cuma terkekeh mendengarnya.
“Buat apa Mbak aku melakukan itu? Aku bersumpah, kamu nggak akan aku permalukan. Malah sebaliknya. Aku bersumpah,” kata Kiai Kholil.
Diam-diam, sopir yang membawa mobil bertanya-tanya. Bahkan tak terpikir apa rencana Kiai Kholil mengajak pelacur ini ke acara pengajian.
Mobil akhirnya sampai juga ke lokasi. Beberapa puluh meter sebelum sampai gerbang, para jamaah sudah berkumpul menyemut.
Dalam acara pengajian, sudah lumrah jika jalanan akan diisi oleh banyak stan-stan yang menjual beraneka ragam barang. Hampir mirip pasar malam, hanya saja yang dijual kebanyakan barang kebutuhan santri.
Tiba-tiba Kiai Kholil meminta sopir untuk berhenti di salah satu stan yang menjual gamis dan jilbab.
“Mas, tolong berhenti bentar,” kata Kiai Kholil.
Kiai Kholil lalu minta si sopir untuk membelikan satu gamis dan satu jilbab. “Beli yang paling mahal ya?” kata Kiai Kholil sambil mengeluarkan uang. Begitu membeli satu set gamis dan jilbab, Kiai Kholil segera menyerahkan itu ke belakang.
“Silakan kamu pakai. Gamis itu kan gampang pakainya, nggak perlu kamu lepas baju dan rokmu juga nggak apa-apa. Ini juga, jilbab. Biar kamu nggak malu sama pakaianmu nanti kalau kita udah sampai gerbang,” kata Kiai Kholil.
Si pelacur tidak komentar apa-apa. Buru-buru dia langsung mengenakan busana itu secepat mungkin.
Begitu sampai gerbang, jamaah sudah ramai. Akhirnya Kiai Kholil sampai juga ke lokasi. Begitu turun dari mobil, banyak santri sudah berebut mencium tangannya. Sambil sedikit berteriak, Kiai Kholil mencoba bicara ke panitia.
“Mas, Mas, ada panitia yang putri kan? Ini ada keponakan saya di dalam mobil, tolong dipandu ya ke tempat duduk yang putri? Maklum, agak jarang saya ajak ke pengajian soalnya. Agak kagol dia,” kata Kiai Kholil.
Si pelacur yang sudah mengenakan gamis dan jilbab itu pun keluar mobil. Di hadapannya sudah ada panitia putri yang siap memandunya. Tentu saja, begitu turun si panitia langsung minta bersalaman dan hendak mencium tangannya. Karena terkejut, si pelacur buru-buru menarik tangannya.
Begitu dipandu ke tempat jamaah putri, gosip langsung menyebar cepat. “Bu Nyai itu, Bu Nyai itu, keponakannya Kiai Kholil.” Hampir semua jamaah putri di lokasi segera berebut mencium tangan si pelacur.
Si pelacur ini pun tak kuasa menolak puluhan jamaah di sana yang berebut mencium tangannya satu demi satu. Dalam keadaan seperti itu, ingin rasanya dirinya mengaku bahwa dia bukan Bu Nyai. Tapi lidahnya terlalu kelu, tak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutnya. Dihormati begitu hebat oleh semua orang, membuat pelacur ini pun tak kuasa menahan haru.
Pengajian pun dimulai. Kiai Kholil tidak bicara banyak. Maklum, malam sudah cukup larut, tentu Kiai Kholil ingin cepat-cepat selesai acaranya. Juga, sama sekali tak ada kalimat dalam ceramahnya saat itu yang menyinggung pertemuannya dengan si pelacur.
Sampai ketika acara sampai mendekati penutup, mendadak ada suara dari ibu-ibu, “Pak Kiai, yang doa keponakan sampeyan aja, Pak Kiai.”
Betapa terkejutnya si pelacur mendengarnya. Bagaimana mungkin pelacur seperti dirinya malah jadi orang yang mendoakan acara pengajian seperti ini? Tapi, sedari turun dari mobil lidahnya sudah tak bisa banyak bersuara. Kiai Kholil pun tak kuasa menolak karena jamaah putri tiba-tiba saja sepakat akan ide itu.
Si pelacur awalnya ingin menolak, tapi tubuhnya seperti tak lagi dalam kuasanya sekarang. Begitu dikasih microphone, si pelacur cuma tertunduk sambil gemetaran. Samar-samar dia masih ingat doa sapu jagat. Satu-satunya doa yang diingat selain bacaan alfatihah.
“Robbana atina fiddunnya hasanah, wafil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar,” doanya begitu singkat.
Namun entah kenapa makna doa itu masuk ke sumsum tulang, Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka.
Air mata mengucur tak terhankan saat doa itu meluncur deras dari mulut si pelacur. Layaknya sihir, para jamaah pun merasakan getaran yang sama. Ada atmosfer yang berbeda ketika doa itu dipanjatkan. Bahkan Kiai Kholil tak bisa menahan getaran doa ini. Singkat memang, tapi begitu merasuk.
Begitu acara selesai, menuju mobil si pelacur samar mendengar ada salah satu jamaah putri membicarakannya.
“Subhanallah ya keponakannya Kiai Kholil ini. Udah cantik, salehah, rendah hati sekali. Denger doanya nggak? Wah, nggak yang model doa panjang-panjang. Singkat tapi langsung masuk ke hati.”
Mendengarnya si pelacur semakin tertunduk lemas di dalam mobil. Menangis sejadi-jadinya. Sesuai janji Kiai Kholil, akhirnya perempuan ini benar-benar dibayar dua kali lipat dan dikembalikan ke lokasi semula.
Keadaan berlalu sampai pada adegan Fanshuri sedang mendengar cerita dari Gus Mut soal Kiai Kholil. Fanshuri benar-benar cuma melongo. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Fanshuri.
“Fan? Fan?” Gus Mut coba mencari sinyal Fanshuri.
“Eh…” tiba-tiba Fanshuri sadar. Lalu terdiam lagi cukup lama, pandangannya kosong. Rasanya baru saja kena tampar kanan-kiri-atas-bawah dengan cukup telak.
“Sekarang, perempuan yang diajak Kiai Kholil itu gimana, Gus, nasibnya?” tanya Fanshuri.
Gus Mut tertawa cukup keras mendengarnya.
“Sudahlah, kamu tak perlu tahu,” jawab Gus Mut penuh misteri.