MOJOK.CO – Bagi Mas Is, alasan babi haram karena daging babi ada cacing pitanya itu sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang.
“Kenapa babi haram, Gus?” tanya Mas Is tiba-tiba.
Di tengah-tengah main catur, Gus Mut agak kaget Mas Is bertanya mendadak.
“Kan ada perintah-Nya,” jawab Gus Mut sekenanya karena masih mikir akan menjalankan bidak catur.
“Iya saya tahu. Ada di kitab suci,” kata Mas Is.
“Lah, makanya itu. Di Al-Maidah ayat 3, di Al-An’am ayat 145, An-Nahl ayat 115. Babi masuk hal yang diharamkan bersamaan dengan barang-barang haram lainnya,” kata Gus Mut masih mencari cara lolos dari kepungan bidak catur Mas Is, Gus Mut belum begitu peduli dengan pertanyaan Mas Is.
“Bukan, bukan itu maksud saya, Gus. Maksud saya, kalau itu sudah perintah Tuhan, ya beres perkara, saya nggak perlu tanya-tanya lagi. Saya ini nanya, kalau secara sains, perintah itu kan nggak masuk akal lagi, Gus. Oke lah dulu babi dianggap haram karena ada cacing pitanya lah, kolesterol tinggi lah, tapi kan dengan teknologi terkini hal-hal berbahaya dari babi itu bisa dihilangkan,” kata Mas Is.
“Terus?” tanya Gus Mut.
“Ya berarti, nggak ada alasan lagi dong dasar babi jadi haram, Gus?” lanjut Mas Is.
Gus Mut sejenak jadi memperhatikan pertanyaan Mas Is secara serius. Lalu segera tersenyum menyadari betapa menariknya pertanyaannya Mas Is ini.
“Mas Is, kalau soal kenapa babi haram karena ada cacing pita dan lain sebagainya itu. Hal kayak gitu muncul bukan dari kitab suci. Sebab dan alasan logis haramnya babi itu tafsir dari ulama-ulama pada zaman itu. Ketika tafsir itu dikeluarkan pada zamannya, alasan itu masih relevan,” kata Gus Mut.
“Lah kalau sekarang?” tanya Mas Is.
“Ya mungkin tafsir alasan haram karena cacing pita itu sudah tidak relevan lagi,” kata Gus Mut.
“Berarti sekarang boleh dong makan babi?” tanya Mas Is.
Gus Mut terkekeh.
“Kamu kehilangan poinnya, Mas Is,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus?” tanya Mas Is.
“Poin soal tidak relevannya itu hanya pada alasan kenapa babi haram, bukan soal haram atau tidaknya babi. Itu dua hal yang berbeda,” kata Gus Mut.
Mas Is mengenyit bingung, belum begitu paham.
“Maksudku begini. Kalau ada orang nanya kenapa orang Islam harus salat? Lalu ada tafsir yang bilang kalau gerakan salat itu bagus untuk kesehatan. Lantas ditemukan bahwa tanpa salat, dengan gerakan senam biasa pun kesehatan yang sama bisa didapatkan. Lalu ada orang nanya lagi, lah terus kenapa dong harus salat kalau orang nggak salat juga bisa sehat-sehat aja?” kata Gus Mut.
“Terus jawabannya, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya jawabannya karena orang Islam salat itu bukan untuk cari kesehatan. Sama seperti orang Islam nggak makan babi bukan karena untuk menghindari cacing pita,” kata Gus Mut.
Mas Is terdiam sejenak.
“Jadi sebenarnya perintah Tuhan itu nggak ada alasan logisnya ya, Gus. Memang nggak ada gitu, penjelasan seperti kenapa babi haram bagi orang Islam itu ada kaitannya dengan kultur masyarakat jazirah arab zaman segitu misalnya,” kata Mas Is.
Gus Mut kali ini sudah melupakan bidak caturnya, bersandar di kursinya sambil tersenyum penuh arti.
“Ada teori menarik soal ini. Di Arab, terutama daerah jazirah yang banyak gurunnya itu, babi itu binatang yang cukup boros menghabiskan air. Bahkan babi cenderung lebih boros mengonsumsi air ketimbang manusia. Makanya, sebelum era Nabi Muhammad, mau sejahiliyah apapun orang-orang di Mekah, mereka memang tidak ada yang pelihara babi.”
Mas Is mendengarkan.
“Kalau Mas Is tahu, beberapa agama samawi yang lahir dari tempat gersang kayak gitu, beberapa juga mengharamkan babi. Yahudi mengharamkan babi, Nasrani pada era itu mengharamkan babi juga. Jadi, jika kita tarik secara antropologis, memang ada alasan geografis kenapa masyarakat jazirah Arab tidak memelihara babi sekaligus tidak makan babi. Ya karena mereka lebih memilih unta yang irit konsumsi airnya sehingga secara perhitungan ekonomi masuk akal,” kata Gus Mut.
“Wah, berarti percuma dong perintah mengharamkan babi itu ada, Gus? Lah wong orang arab udah nggak doyan babi dari sononya?” tanya Mas Is lagi.
“Nah, tapi kamu harus ingat, Mas. Pengaitan dengan pandangan antropologis kayak tadi itu cuma tafsir. Dan yang namanya tafsir masih sangat mungkin salah atau bisa diperbaharui dengan tafsir lebih mutakhir,” kata Gus Mut.
Mas Is terdiam. Menghela nafas sejenak.
“Berarti memang beragama itu nggak boleh dan nggak bakal bisa rasional ya, Gus?” tanya Mas Is lagi.
“Maksudnya, Mas?”
“Ya itu tadi. Pada akhirnya kita tak perlu alasan kenapa babi haram, tapi tetep kembalinya ke perintah Tuhan. Nggak bisa didebat lagi dong?” tanya Mas Is.
Gus Mut terkekeh kembali.
“Mas, dalam hidup manusia, ada beberapa pengalaman manusia yang tak perlu dijelaskan secara logika dan kita masih bisa hidup baik-baik saja, tapi anehnya ketika sudah dihadapkan pada agama, penjelasan secara logis malah dipaksakan masuk sama sampeyan,” kata Gus Mut.
“Contohnya apa misalnya, Gus?” tanya Mas Is.
“Rasa cinta misalnya,” kata Gus Mut.
Kali ini gantian Mas Is yang terkekeh. “Ah, Gus Mut ini sok romantis,” kata Mas Is.
“Loh, nggak, ini aku serius. Cinta itu adalah hal yang tak diperlukan penjelasan logikanya. Kita terima-terima aja kok. Memang ada ilmu psikologi yang menafsirkannya. Tapi apakah 100 persen akurat? Nggak juga, selalu ada kemungkinan tafsir yang lebih mutakhir dari waktu ke waktu soal penjelasan rasa cinta,” kata Gus Mut.
“Artinya?” tanya Mas Is.
“Artinya, orang beragama itu mirip kayak orang jatuh cinta. Orang tak perlu alasan rasional ketika merasakannya, tapi ketika ada orang yang mendesak ‘kenapa sih kamu jatuh cinta?’ ya itu tidak bisa dijelaskan, karena bisanya dialami langsung. Penjelasannya berbusa-busa akan percuma kalau orang yang bertanya belum pernah merasakan jatuh cinta sendiri,” kata Gus Mut.
“Sama sia-sianya menjelaskan pengalaman beragama kita kepada orang yang apatis terhadap agama?” tanya Mas Is.
“Iya, kurang lebih begitu. Dan itu jadi alasan kenapa kita dilarang keras memaksa orang memeluk agama Islam. Karena, sama seperti cinta, mana bisa sih hal begituan dipaksakan?”
“Tapi, orang yang apatis terhadap agama boleh juga dong, Gus? Nggak apa-apa dong?” tanya Mas Is.
“Iya, nggak masalah. Lah wong Tuhan aja nggak masalah kok kalau ada makhluk yang nggak mengakui-Nya. Nggak ada rugi-ruginya juga buat Tuhan. Kok kita yang manusia merasa bermasalah dengan itu? Memangnya kita ini siapanya Tuhan? Pengacara-Nya?” kata Gus Mut.
Mas Is pun tertawa ngakak sampai tergelak mendengarnya.
BACA JUGA Tukang Onar di Negeri Ini Memang Babi Namanya! atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.