Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Khotbah

Apa Gunanya Doa kalau Takdir Manusia Sudah Ditentukan?

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
11 September 2020
A A
Apa Gunanya Doa kalau Takdir Manusia Sudah Ditentukan?

Apa Gunanya Doa kalau Takdir Manusia Sudah Ditentukan?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Fanshuri merasa aneh dengan konsep takdir. Kalau memang manusia sudah ditentukan jalan hidupnya, lantas ngapain harus ada konsep doa?

Ketika mau bermain catur dengan Gus Mut, wajah Fanshuri tak seperti biasanya.

“Kamu ini kenapa, Fan? Kok wajahmu kayak habis diseruduk truk Pertamina gitu?” tanya Gus Mut bercanda.

“Lihat berita ini lho, Gus,” kata Fanshuri menunjukkan hapenya.

“Berita apa?” tanya Gus Mut.

“Kasus korona ini makin hari makin ngeri. Padahal saya pikir udah bakal kelar, malah sekarang ini jauh lebih parah ketimbang yang kemarin-kemarin,” kata Fanshuri lemas.

Gus Mut tak tersenyum. Apa yang dikhawatirkan Fanshuri itu ada benarnya, jadi Gus Mut ikutan jadi muram.

“Makanya itu saya suka bingung. Kita ini doa sudah, ikhtiar sudah walau ya nggak maksimal-maksimal banget, kalau akhirnya Gusti Allah menakdirkan kita semua kena korona, lantas gunanya kita doa buat apa, Gus?” protes Fanshuri.

Mendengar pertanyaan itu, senyum kembali merekah di bibir Gus Mut. Mata Gus Mut pun menatap Fanshuri dalam-dalam.

“Alhamdulillah,” kata Gus Mut.

“Lah kok malah ‘alhamdulillah’, panjenengan ini gimana to, Gus?” kata Fanshuri.

Kali ini Gus Mut terkekeh.

“Aku ini suka banget punya tetangga dan santri kayak kamu, Fan,” kata Gus Mut.

“Iya suka lah, cuma saya yang cukup jago di kampung sini buat diajak main catur Gus Mut terus-terusan,” kata Fanshuri.

Iklan

“Bukan, bukan soal itu, Fan. Aku itu seneng karena kamu itu selalu kasih pertanyaan-pertanyaan yang nyegerin. Jadi selalu ada aja bahan obrolan yang menyenangkan,” kata Gus Mut.

Fanshuri tetap mbesengut.

“Ya kalau memang nyegerin, ya dijawab dong, Gus. Apa gunanya kita doa kalau takdir udah ditetapin sama Yang Maha Kuasa?” ulang Fanshuri.

Gus Mut membenarkan letak duduknya sejenak.

“Fan, doa sama takdir itu punya wilayah yang agak berbeda,” kata Gus Mut.

Mendengar itu Fanshuri kurang terima.

“Berbeda posisi gimana, Gus? Gini aja deh, misalnya saya berdoa biar bisa dapet istri cantik dan salehah, lalu kebetulan Gusti Allah ijabahi doa saya. Pertanyaannya, saya dapat istri cantik itu karena doa saya atau karena takdir Gusti Allah sebelum saya berdoa memang begitu? Itu kan kontradiktif sekali, Gus. Di satu sisi suruh doa sama ikhtiar, di sisi lain takdir kita udah ditentuin,” kata Fanshuri.

Gus Mut lagi-lagi terkekeh. Lalu kali ini dengan sengaja menjatuhkan papan caturnya ke lantai. Suara jatuhnya cukup mengagetkan. Pion-pion catur berhamburan.

Fanshuri kaget. Dia pikir Gus Mut jadi marah gara-gara pertanyaan itu.

“Lah, kok marah to, Gus?” tanya Fanshuri.

“Siapa yang marah? Ini aku mau kasih contoh,” kata Gus Mut.

“Hah?” Fanshuri bingung.

“Papan catur ini jatuh karena apa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Ya karena panjenengan to, Gus. Dipikir pakai ilmu gaib apa bisa jatuh sendiri,” kata Fanshuri.

“Oh, berarti papan catur ini jatuh hari ini, pada pukul segini, di tempat ini, bukan karena takdir?” tanya Gus Mut lagi.

“Ya takdir juga, tapi lewatnya panjenengan,” kata Fanshuri.

“Kok kamu bisa bilang takdir?” tanya Gus Mut.

Fanshuri terhenti sejenak. Mikir.

“Ya karena udah terjadi,” Fanshuri makin bingung.

“Itu,” kata Gus Mut tiba-tiba sambil menunjuk.

“Itu? Itu apanya, Gus?” Fanshuri sudah kepengin meledak kepalanya.

“Kita baru bilang sesuatu disebut takdir itu setelah kejadiannya udah terlewat. Sebelum itu, manusia kayak kita belum bisa bilang itu takdir. Seperti jatuhnya papan catur ini. Karena udah kejadian, kita bisa dengan mantap bilang bahwa papan catur ini ditakdirkan jatuh,” kata Gus Mut.

Fanshuri masih terdiam.

“Artinya?” Fanshuri masih belum mengerti.

“Artinya, ketika kamu bilang bahwa pada akhirnya kita semua ditakdirkan kena korona, itu adalah kalimat yang berbahaya,” kata Gus Mut.

“Kok berbahaya?” tanya Fanshuri.

“Lah belum kejadian kok dibilang takdir. Memang kamu ini siapa? Malaikat?”

“Ya tapi kan bisa aja begitu takdirnya. Bisa aja memang takdir yang digariskan Tuhan kita semua kena korona, Gus,” kata Fanshuri.

Gus Mut lagi-lagi tersenyum.

“Nah, sikap kayak itu namanya sikap putus asa, Fan,” kata Gus Mut.

“Kok bisa?”

“Soalnya kamu memakai takdir untuk menutup-tutupi rasa putus asa. Pakai takdir buat menutupi rasa frustasi. Biar nggak kelihatan seperti orang yang putus asa, atau biar kelihatan religius, kamu mengarahkan kesalahan itu ke takdir, bukan ke kesalahan manusia sendiri,” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam lama. Mikir lagi. Bingung lagi.

Gus Mut melanjutkan, “Lagian bagaimana bisa kita mengklaim sesuatu disebut takdir kalau peristiwanya aja belum komplet? Belum selesai?”

“Lah kalau orang lahir miskin lalu di tengah kehidupannya bilang bahwa menderita itu adalah takdirnya? Apa iya itu salah, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya salah,” kata Gus Mut.

“Kok gitu, Gus?”

“Ya karena fase kehidupannya belum selesai. Bagaimana bisa dia menyimpulkan sesuatu yang belum selesai, Fan? Kehidupannya aja masih berjalan kok,” kata Gus Mut, “Sama kayak orang kaya. Merasa yakin bakal kaya selamanya. Lalu sampai nggak percaya takdir, dipikir kekayaannya hadir karena kerja kerasnya sendiri. Jadi kalau orang miskin menyalahkan takdir itu namanya putus asa, kalau orang kaya nggak mengimani takdir namanya takabur,” kata Gus Mut.

Fanshuri bergeming.

“Makanya, fungsi dari mengimani takdir bukan pakai caramu tadi itu, Fan. Kalau kamu lagi seneng dapat rezeki kamu harus ingat bahwa takdir kehidupanmu belum selesai, makanya disuruh bersyukur. Begitupun kalau kamu lagi susah dapat musibah, ya kamu juga harus ingat bahwa takdirmu belum kelar, kehidupan masih panjang, masih ada hari esok,” tambah Gus Mut.

“Oh, berarti maksud dari mengimani takdir itu arahnya selalu positif ya, Gus?”

“Lah ya memang, makanya kita diarahkan untuk selalu khusnudzon sama takdir dari Gusti Allah. Biar arahnya selalu positif,” kata Gus Mut.

“Lah kalau akhirnya berakhir negatif? Masuk neraka gitu, Gus, misalnya?” tanya Fanshuri lagi.

“Nggak bakal selesai perdebatan kita, Fan. Soalnya kamu selalu pakai ‘kalau’, pakai ‘jika’, selalu pakai pengandaian-pengandaian untuk menyebut takdir.”

Fanshuri sedikit paham, lalu terdiam sejenak.

“Kalau begitu, doa agar situasi bisa berubah lebih baik buat apa dong, Gus? Nggak fungsi dong?”

“Nah, di situlah poin aku bilang wilayah antara takdir dan doa itu sedikit berbeda, Fan. Doa itu wilayahnya karena kewajiban. Bukti ketundukan manusia sama Tuhan. Kita minta ini-itu dalam doa pun itungannya karena diperintahkan oleh-Nya kan? Salat saja asal bahasa apa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Doa,” kata Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Kamu emang mau berhenti salat kalau misalnya nggak jadi dapat istri cantik dan salehah?”

“Ya nggak lah, Gus. Ngawur itu namanya.”

“Nah kan, kamu aja tahu kalau nggak gitu cara mainnya, Fan,” kata Gus Mut.

Fanshuri lalu cengengesan.

“Hawong takdir itu diimani biar kita percaya sama Yang Bikin, lah kok malah takdir diimani buat nyalahin Yang Bikin,” tutup Gus Mut.


*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’ ketika mengkaji kitab Al-Hikam.

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? atau kisah-kisah GUS MUT lainnya.

Terakhir diperbarui pada 11 September 2020 oleh

Tags: Gus Baha'imanKhotbahmanusiatakdir
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Sisi gelap kurban (Idul Adha) di desa. Orang miskin nelangsa, tapi orang kaya pesta daging MOJOK.CO
Ragam

Ironi Kurban di Desa: Saling Jegal demi Raup Keuntungan, Orang Miskin Tak Kebagian Daging sementara Orang Mampu Berpesta

6 Juni 2025
Gus Baha dan Pemikiran Cerdasnya tentang Esensi Beragama | Semenjana Eps. 11
Video

Gus Baha dan Pemikiran Cerdasnya tentang Esensi Beragama | Semenjana Eps. 12

28 April 2025
Metode Santri Nalar Gus Baha di LP3IA MOJOK.CO
Sosok

Metode Santri Nalar di LP3IA Rembang, Cara “Tak Umum” Gus Baha Mendidik Santrinya

14 April 2024
Salat Tarawih Tengah Malam di Masjid Gedhe Kauman Jogja MOJOK.CO
Ragam

Tarawih Tengah Malam di Masjid Gedhe Kauman Jogja, Sebenar-benarnya Sunnah Rasul di Bulan Ramadan Menurut Gus Baha

23 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.