Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Keracunan dan Histeria di Nampan Makan Warga Negara

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
1 Oktober 2025
A A
Keracunan dan Histeria di Nampan Makan Warga Negara MOJOK.CO

Ilustrasi Keracunan dan Histeria di Nampan Makan Warga Negara. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Bongkrek penyebar maut

Barangkali, tak ada isu keracunan dengan isu yang panjang di piring makan manusia Indonesia selain tempe bongkrek. Bahkan, “tempe bongkrek” ini menjadi ingatan kolektif bangsa setelah sastrawan Ahmad Tohari menjadikannya sebagai subjek penting dari serangkaian peristiwa utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 

Bongkrek menjadi picu ketegangan pertama yang mempengaruhi lakon. Selanjutnya, dalam kisah yang kemudian dialihwahanakan Ifa Isfansyah pada 2011 menjadi Sang Penari.

Keracunan tempe bongkrek bukanlah kisah hayalan. Ia nyata dan hidup dalam memori traumatik masyarakat Banyumas. Saya membaca pertama kali keganasan tempe bongkrek ini dari Harian Rakjat pada 1961.

Berita “kecil”, memang. “Hanya” masuk halaman dua di koran milik PKI itu. Tetapi, inilah satu-satunya berita keracunan makanan. Lain tidak. Berkali-kali pula.

Tempe bongkrek dan kutukan dari langit

Harian Rakjat yang terbit pada 23 Maret 1961 menunjuk Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP) keracunan. Ada 7 orang warga yang tumbang.

Atas kasus ini, Penguasa Perang (institusi militer) di Banyumas mengeluarkan beleid. Isinya, larangan untuk menyimpan, membuat, memperdagangkan, mengedarkan tempe bongkrek.

Namun, tempe bongkrek tak pernah bisa dijinakkan. Seperti hantu, makanan yang terbuat dari bahan sisa minyak kelapa ini terus menyebarkan maut. 

Perkawinan jamur rhizopus dan pseudomonas cocovenans yang menghasilkan racun toxoflavin terbaca oleh warga papah sebagai kutukan sosial dari langit. Seperti adegan sakaratul maut kolektif di Ronggeng Dukuh Paruk, kira-kira 1 hingga 4 jam sehabis melahap bongkrek, nyeri segera menyergap kepala, perut mual, muntah, pernapasan terhambat, dan akhirnya koma, lalu mati.

“Pada 16 dan 17 Desember 1961, di Desa Kedungreja, Cilacap, sekeluarga meninggal dunia karena mengonsumsi tempe bongkrek pemberian tetangganya. Keluarga Dukarim habis setelah menerima tempe bongkrek dari janda Djarinem. Djarinem membuat tempe tersebut dari ampas kelapa dicampur dengan ‘ketek’ endapan sisa minyak kelapa,” demikian Harian Rakjat jelang tutup tahun 1961 memberitakan lagi kabar maut dari bongkrek.

Bongkrek tak pernah bisa dijinakkan. Dari Demokrasi Terpimpin Sukarno pindah ke Orde Baru Soeharto. Di Banyuwangi, Januari 1977, bongkrek buatan pasangan Mbok Ribut dan Pak Ribut menumbangkan 86 warga Desa Kradenan. Dan, inilah pertama kali, “produsen bongkrek” diseret ke meja hijau. 

Keracunan bongkrek menghantui Banyumas

Nyaris setiap dekade, keracunan bongkrek menyertai ritus makan warga Banyumas. Yang terbesar tentu saja terjadi pada Februari 1988. Tidak main-main, 37 orang meninggal dunia dari 396 warga Desa Dermai, Lumbir, dan Pengaweran di Kecamatan Lumbir yang terpapar bongkrek. Pasangan suami istri Muradi dan Alfiah kemudian dijatuhi hukuman 8 bulan penjara karena dianggap “lalai”. 

Dari keracunan bongkrek inilah lahir sejumlah lagu. Salah satunya dari musisi asal Purbalingga, S. Bono, yang terkenal dengan lagu-lagu daerah gending Banyumasan ciptaannya. Bono berkampanye lewat lagu untuk menghapus tempe bongkrek beracun ini dari daftar menu makanan mereka sehari-hari. 

Racun “tempe bongkrek” ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terbentuk. Beberapa nama awal pendiri lembaga yang mendampingi konsumen yang dirugikan oleh produk konsumsi ini adalah Paul Matulessy, Tini Hadad, Erna Witoelar, Zumrotin, dan Zaim Saidi.

Keracunan biskuit subversif

Keracunan biskuit yang meledak pada 1989 melahirkan apa yang disebut psikolog Sarlito Wirawan dan sejarawan Onghokham dengan histeria dan panik; bukan hanya warga yang menjadi konsumen, tetapi juga seluruh produsen biskuit. 

Iklan

Padahal, biskuit maut yang menumbangkan lebih kurang 28 orang di Palembang, Jambi, dan Tangerang, berasal dari dua pabrik. Yakni, PT Toronto di Palembang yang memproduksi biskuit Captain, Khian Guan, Coco Puff, Caledration, Cap Ayam Jago, dan Cap Ayam. 

Pabrik kedua, beroperasi dari Tangerang, CV Gabisco (Garuda Indonesia Biskuit Factory). Pabrik ini memproduksi Marie Super, Biscuit Vanille Baru, Marie Chocolate, Biscuit Rasp, Durian Biscuit, dan Bananas Cream Biscuit.

Sumber keracunan dari dua pabrik yang mengedarkan 55 ribu koli biskuit beracun di pasaran itu bermula dari “kelalaian”. Bahan baku amonium bikarbonat yang biasa dipakai untuk adonan roti tertukar dengan sodium nitrit yang jadi pengawet daging. 

Perusahaan FJA Chemical mengimpor lebih kurang 2 ribu kantong amonium bikarbonat dari RRC yang ternyata bahan itu diletakkan berdampingan dengan sodium nitrit. Seribuan kantong mendarat ke PT Toronto, jatah sisanya ke PT Gabisco di Tangerang.

Hasilnya? Korban keracunan berjatuhan. Versi Departemen Kesehatan: 34 orang tewas. Angka dari pemerintah itu dibantah sendiri oleh pemerintah yang nota bene mengurusi politik dan keamanan. Menko Polkam Laksamana Sudomo mengorting angka 34 menjadi 24 orang (saja). 

Operasi Tepung Penawar

Panik dan histeria keracunan biskuit ini segera dipadamkan dengan beragam cara. Sebab, dari hari ke hari, penjualan dari perusahaan-perusahaan biskuit raksasa semacam Mayora dan Inbisco rungkat hingga 50%.

Walau ini mula-mula perkara ekonomi dan kesehatan, urusan biskuit maut ini diambil alih Kementerian Politik dan Keamanan. Dari perkara ekonomi dan kesehatan, urusan keracunan biskuit ini naik menjadi urusan ketertiban umum.

Laksamana Sudomo menyebut operasi “memadamkan” dan “menyelesaikan” keracunan biskuit dengan Operasi Tepung Penawar. Ini bukan operasi bagi-bagi tepung untuk keluarga kismin dan melarat. 

Isinya adalah operasi (1) mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap biskuit yang tidak terkena racun. (2) Perusahaan yang sudah ditutup pemerintah bisa diaktifkan kembali dengan dan karya baru agar karyawan-karyawannya yang sudah di PHK ribuan jumlahnya bisa bekerja kembali. (3) Melakukan pengawasan ketat dan preventif terhadap bahan kimia yang dipakai dalam produksi pangan. (4) Melaksanakan pendidikan politik bagi masyarakat agar tidak cepat-cepat terpengaruh isu-isu.

Operasi Tepung Penawar bagian keempat itu, “terpengaruh isu-isu”, menjadi pisau yang langsung dihujamkan kepada pers sebagai suspect pertama yang membuat runyam urusan keracunan biskuit ini. 

Arah belati penguasa

Artinya, Bahkan, tabloid emak-emak dan bocil macam Ayahbunda edisi 3 November 1989, mengikuti tuduhan politik pemerintah, dianggap terlibat dalam histeria dan pengipas kepanikan yang menimbulkan subversif ekonomi. Ayahbunda menurunkan laporan, “Menghadapi Biskuit Beracun. Haruskah stop makan biskuit? Tentu tidak. Tapi mana yang aman?” 

Pemerintah junta militer ini seperti mau bilang kepada emak-emak yang diliputi kekhawatiran hebat anak-anaknya terpapar biskuit laknat itu untuk berhentilah banyak bacot dan ember ngomongin isu keracunan makanan. 

Selain institusi pers, mata belati satunya diarahkan kepada, pinjam langsung kalimat Laksamana Sudomo, ”orang-orang yang semula hanya berniat iseng”.

Definisi letterlijk “si iseng” ini disampaikan tentara yang doyan kawin ini di perhelatan Penataran Pancasila. Si iseng itu adalah “unsur sisa-sisa G30S/PKI atau unsur ekstrem kanan yang menginginkan perekonomian Indonesia kacau dan kepercayaan pemerintah berkurang. Terbukti, untuk melakukan pengacauan tak perlu lagi tindakan subversif; cukup dengan bisik-bisik saja”.

Minyak babi dan momok PKI

Jika ada nama hewan di Indonesia yang membuat histeria dan panik nasional, maka hewan itu bernama babi. Kadang tikus (isu bakso) sesekali muncul dalam riak sejarah. Tetapi, tidak ada yang melebihi babi.

Isu terbesar tentang keracunan babi di piring makan warga negara terjadi pada 1988. Ini tahun yang juga melahirkan peristiwa ekonomi penting menjamurnya bank-bank swasta: Paket Kebijakan Oktober (Pakto) dan Paket Kebijakan November (Pakno). 

Meledaknya isu minyak babi dimulai dari blow up tak terkendali hasil riset pengajar dari Universitas Brawijaya, Dr. Tri Susanto. Dibantu mahasiswanya, dosen Teknologi Pangan masuk ke dalam dua toko swalayan dan tiga toko kelontong di Kota Malang. 

Hasilnya, ada 34 macam makanan yang “mengandung bahan yang patut dicurigai atau syubhat“. Makanan-makanan itu dicurigai mengandung gelatin, campuran protein yang terbuat dari rebusan tulang, kulit, dan jaringan hewan.

Oleh koran, gelatin atau shortening yang syubhat itu dituliskan secara terang-benderang menjadi BABI. Dan, Anda tahu, “babi” adalah “racun ganas” lain yang mengguncangkan lantaran terkait erat dengan teologi dari konsumen terbesar produk-produk makanan. 

Seperti racun, mereka yang sudah kadung mengonsumsi produk yang mengandung unsur babi diliputi rasa bersalah yang pedih dan mencari jalan bagaimana menguras habis isi perut. Yah, sebagaimana ciri dari orang yang keracunan.

Histeria keracunan babi

Serupa biskuit beracun, minyak babi ini juga melahirkan panik dan histeria keracunan. Kali ini, volume keganasannya lebih tinggi lantaran terkait dengan isu keimanan dan kesucian. Karena itulah, Tempo memberikan judul sampul dari laporan ekstensifnya dengan diksi “halal” dan “haram”.

Sebagaimana isu keracunan biskuit, semua perusahaan yang produk mereka tersebutkan dalam riset Tri Susanto maupun selebaran gelap ramai-ramai membuat klarifikasi.

Mulai dari perusahaan permen hingga biskuit, susu, kecap, sabun, dan kosmetik terdesak ke pojok sebagai terdakwa. Semua ramai-ramai memburu apa yang disebut “kehalalan” produk.

Jika Anda membeli produk makanan atau kosmetik ke warung kelontong maupun di supermarket dan menemukan label “halal” di kemasannya, ingatlah bahwa semua itu tak tertempel begitu saja. Stempel “halal” yang dikritik dengan sangat tajam oleh Cak Nun di sebuah episode Maiyahan itu berasal dari isu keracunan “minyak babi 88” ini. 

Ketika isu minyak babi ini berada di titik terdidihnya, jutaan rupiah (kurs $1=Rp2000) digelontorkan PT Food Specialities Indonesia yang memproduksi susu Dancow untuk iklan “dijamin halal”. PT Tri Gabig yang memproduksi biskuit Siong Hoe berbelanja “iklan klarifikasi” di koran perihal dari mana dan bahan apa saja yang dipakai untuk produk-produk mereka.

Presiden turun tangan

Saking gentingnya, Presiden Jenderal Besar Soeharto pun turun tangga. Di Bina Graha, Sang Presiden berkata, “Masyarakat jangan terpancing isu-isu meresahkan, lalu dapat masuk perangkap gerakan subversif sisa-sisa PKI.”

Diksi ini, “PKI”, telah bertiwikrama menjadi pelaku dari semua “yang meresahkan”. “PKI” yang diproduksi sebagai momok laten dipredikatkan kepada mereka yang memproduksi “isu meresahkan” seperti keracunan babi ini.

Kalau mengikuti pola berpikir pendiri Orde Baru Corp. itu, Tri Susanto yang mula-mula meneliti makanan yang memakai gelatin, shortening, lard, dan alkohol di sejumlah nama produk makanan itu adalah “PKI”. 

Buletin Canopy yang dibuat Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Unibraw edisi Januari 1988 yang menerbitkan pertama kali daftar makanan yang dicurigai mengandung unsur syubhat itu adalah media propaganda subversif. 

Kelompok Cendekiawan Muslim Al-Falah, Surabaya, yang menambah daftar dimuat Canopy, dari 34 menjadi 63 macam, adalah organisasi malam, gelap, dan sisa-sisa “PKI”.

Pendek kata, minyak babi yang meresahkan itu, oleh pemerintah, diblender menjadi “PKI”. Dari sini, perburuan pun dimulai. Terutama, memburu mereka yang menyebarkan pamflet-pamflet gelap.

Operasi (keamanan) politik

Keracunan MBG berbeda dengan peristiwa (racun) tempe bongkrek, biskuit maut, maupun minyak babi yang berasal dari masyarakat maupun perusahaan. MBG berasal dari program pemerintah. Makanan yang kemudian menimbulkan histeria dan panik ini datang dari dapur-dapur yang diadakan pemerintah.

Bahkan, jumlah siswa yang keracunan bisa jauh lebih banyak dari apa yang tercatat oleh media maupun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sebab, ada satu operasi kekuasaan di sekolah-sekolah yang “melarang” publikasi atas apa saja yang terjadi saat siswa setiap hari berhadapan dengan nampan-nampan MBG dengan rupa-rupa “makanan ber-gizi-lezat” yang terbaring membisu di atasnya.

Jangan lupakan, Saudara!

Institusi tentaralah yang pertama kali yang menjadi katalis pertama praktik MBG ini tiga purnama setelah Badan Gizi Nasional dibentuk Presiden Joko Widodo pada Agustus 2024. Tercatat dalam sejarah, uji coba MBG dilakukan di SDS Angkasa 5, kompleks Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. 

Dari sini, kita terang-terangan diberitahu ini program apa tanpa perlu mesti menyelidiki lebih lanjut bagaimana semua pangkalan udara militer dikerahkan untuk MBG. 

Baca pernyataan Kepala Staf TNI AU Marsekal Tonny Harjono di Mabes TNI AU Cilangkap, tiga hari sebelum gong MBG dilaksanakan secara nasional atau dua pekan sebelum keracunan pertama terdengar sayup-sayup di perbatasan Kalimantan Utara.

“Untuk langkah awal, program makan bergizi gratis untuk siswa sekolah itu diadakan di lanud-lanud di Pulau Jawa. Lanud dimaksud yakni Halim Perdanakusuma Jakarta, Iswahyudi Madiun, Abdurrahman Saleh Malang, Suryadarma Subang, Adi Sucipto Yogyakarta, Sulaiman Bandung, dan Adi Soemarmo Solo … TNI AU juga membantu mendistribusikan logistik bahan makanan dan bahan pokok ke daerah-daerah terpencil.”

Polres se-asntero negeri mengurus MBG

Kita juga tak perlu heran bila Mako Brimob, Depok, menjadi jejak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meresmikan 28 SPPG dari 205 yang direncanakan. Artinya, MBG resmi diurus semua polres seantero Indonesia.

Puluhan ribu apa yang disebut Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dilatih secara intensif di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, maupun di Rindam atau Resimen Induk Komando Daerah Militer. 

Para sarjana penggerak inilah yang mengisi ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dari mana seluruh makanan MBG itu diproduksi dan didistribusikan. Yang akhirnya menjadi histeri keracunan siswa.

Membaca kronik keracunan MBG sambung-menyambung dari kota ke kota, dari kabupaten ke kabupaten, dari provinsi ke provinsi, saya teringat dengan salah satu cerita pendek absurd Eka Kurniawan tentang operasi politik pembunuhan yang dirancang secara efektif dari dapur makanan. 

Saya mengira, cerita yang saya baca pertama kali di Media Indonesia Minggu di tahun politik pemilihan langsung pertama presiden dan wakil presiden itu tinggallah cerita belaka yang tak ada kaitannya dengan kenyataan. 

Saya keliru. Kisah Diah Ayu yang ada di masa yang jauh itu seperti hadir lagi bersama dapurnya. Diah Ayu di cerpen “Kutukan Dapur” itu tentu saja bukanlah anggota SPPI yang dilatih di Rindam atau Akmil. 

Diah Ayu, lantaran pengalamannya di dapur dan keahliannya yang luar biasa dengan segala bumbu, menjadikan pawon yang dia kuasai serupa “pindad” di mana kematian mengerikan bakal tersaji dalam statistik sejarah.

Musyawarah kuman tak terdeteksi intel

“Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut. Di depan pintu rumahnya dia muntah, terhuyung, dan jatuh pingsan. Ibunya yang sudah mulai merasakan sakit menyengat kepalanya, menjerit dan memanggil para tetangga. Sebelum para tetangga datang, anak itu telah meregang nyawa. Bahkan ibunya pun jatuh tak sadarkan diri dengan rona biru di wajahnya. Ibu dan anak terkulai di tanah. Jerit dari rumah pertama memulai kepanikan di Dukuh Paruk. …. Di perkampungan, suara minta tolong terdengar dari setiap rumah. Pada akhirnya setiap keluarga terlibat dalam hiruk-pikuknya sendiri, kengeriannya sendiri. Tolong-menolong antarkeluarga tak mungkin dilakukan. Bahkan sementara ibu harus melihat anak atau suaminya menggeliat mempertahankan nyawa tanpa bisa berbuat apa pun karena dirinya sendiri berada antara hidup dan mati.” 

Adegan itu datang dari Ronggeng Dukuh Paruk yang edisi cetak ulang 2020 terdapat pada halaman 24.

September 2025, sembilan bulan setelah MBG dilaksanakan secara nasional, suara racun dari sejarah makanan itu seperti berkumpul dan menggelar rapat bawah tanah. Di nampan MBG yang tiap hari berhadapan dengan warga negara belia di sekolah-sekolah, racun-racun itu hadir bersamaan.

Berkumpulnya memori buruk keracunan makanan dalam nampan MBG ini mengingatkan saya pada esai Handrawan Nadesul, “Racun dalam Menu Kita”. Esai itu terbit di tengah heboh beruntun minyak babi dan biskuit beracun. 

Bayangkanlah, rupa-rupa utusan kuman dan bahan beracun yang menempel di bahan makanan disebutkan dalam esai itu berkumpul di atas nampan yang dilapisi minyak babi. Dari clostridium botulinum, clostridium perfringens, stophylococcus pseudo membranous, enterotoxin, hingga amyl nitrit, nitroglycerin, potassium nitrit, dan sodium nitrit.

Saking gelapnya rapat di atas nampan babi itu, seorang presiden pun tak mengetahuinya. Lembaga-lembaga intelijen maupun institusi militer dan kepolisian yang mendapatkan jatah dapur dari proyek raksasa makan bergizi tersebut sama sekali tidak bisa mengendus musyawarah gelap kuman-kuman itu.

Warga “Dukuh Paruk” yang keracunan bongkrek makan (ber)sendok

Maka, yang muncul kemudian dari bibir tua sang presiden adalah apa yang ada dalam sejarah antropologi kehidupannya sendiri: sendok. Histeria keracunan itu terjadi oleh karena warga negara diniah itu tak memakai sendok. Atau, makan dengan tidak mengindahkan kampanye klasik dalam lagu: cuci tangan sebelum makan.

Dari sendok sang presiden, saya kemudian ingat metafora tua dari “negara asing” sana: “born with a silver spoon in one’s mouth”. Sebuah metafora yang menunjukkan keistimewaan seseorang yang lahir dari keluarga kaya-raya. 

Si sendok perak ini sepanjang hidupnya menikmati kemudahan sejak kecil lantaran warisan warisan ekonomi keluarganya tak pernah habis didulang dalam mulut. 

Dari kaum “born with a silver spoon in one’s mouth” yang didukung institusi keamanan maksimum itulah mulut-mulut warga negara terbuka tiap siang untuk menerima daftar menu yang mereka sebut dengan makan bergizi gratis. Itu. *****

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA MBG Jadi “Skandal Besar”, tapi Pemerintah Seolah Lepas Tangan: Kudu Dihentikan Sementara dan Dievaluasi Total dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 9 Oktober 2025 oleh

Tags: karacunankeracunan MBGkeracunan tempe bongkrekmakan bergizi gratisMBGminyak babironggeng dukuh paruk
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

UGM MBG Mojok.co
Kilas

Gadjah Mada Intellectual Club Kritisi Program MBG yang Menyedot Anggaran Pendidikan

28 November 2025
makan bergizi gratis MBG.MOJOK.CO
Aktual

Omon-Omon MBG 99 Persen Berhasil, Padahal Amburadul dari Hulu ke Hilir 

19 Oktober 2025
Biang keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMAN 1 Yogyakarta MOJOK.CO
Aktual

Biang Keracunan MBG 426 Siswa SMAN 1 Yogyakarta, Menu Memang Tak Keliahatan Aneh tapi Waktu Masaknya Bermasalah

17 Oktober 2025
makan bergizi gratis MBG.MOJOK.CO
Aktual

Tutup Dapur SPPG dan Libatkan Kantin Sekolah adalah Solusi Atasi Krisis MBG

13 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.