Bahkan saking buruknya, beredar meme yang viral dengan wajah sendu kiper Liverpool itu bertuliskan “Alisson in Blunderland”, yang tentu saja adalah sebuah pelesetan dari sebuah film produksi Walt Disney yang sangat sohor: Alice in Wonderland.
Dua pertandingan termutakhir Liverpool di Liga Inggris melawan Manchester City dan Leicester berakhir dengan memalukan. Saat menjamu Manchester City, Liverpool kalah telak dengan skor 1-4, dan saat berlaga melawan Leicester, Liverpool terpaksa menyerah dengan skor yang juga cukup telak 3-1. Rentetan dua kekalahan itu makin terasa tragis karena disumbang oleh blunder Alisson.
Persoalannya adalah Alisson merupakan bintang yang paling bersinar di Liverpool. Dengan wajahnya yang beku, nyaris tanpa punya rasa takut, sepasang matanya tak pernah berkedip sekalipun bola ditendang keras dari jarak dekat ke arah mukanya, mantan kiper AS Roma itu memang sangat bisa diandalkan untuk mengawal gawang Liverpool. Bukan hanya itu, karakter Alisson yang cepat dan agresif, sesungguhnya telah membantu benteng pertahanan Si Merah.
Sesungguhnya, dia dikagumi bukan hanya oleh para fans Liverpool namun juga para pencinta permainan atraktif. Respons dan refleknya yang cemerlang, membuat apa yang diperkirakan bakal jadi gol, seper sekian detik kemudian mata penonton sepak bola melihat hal yang berbeda. Alisson melakukan penyelamatan yang gemilang bahkan kadang di luar nalar.
Hal yang nyaris sama terjadi pada Jurgen Klopp, sang pelatih. Dengan tanpa banyak janji, Klopp membesut Liverpool. Dia tidak menciptakan keajaiban. Semua dilakukan dengan pelan tapi pasti. Hingga akhirnya bisa menggondol tropi Liga Champions, dan setahun kemudian mengobati dahaga fans Liverpool selama dua dekade lebih dengan menjunjung trofi Liga Inggris.
Klopp melakukan diferensiasi di antara dua pelatih yang juga sohor di Liga Inggris yakni Mourinho dan Pep Guardiola. Sementara Mourinho menyebut dirinya sebagai “The Special One”, Klopp menyebut dirinya “The Normal One”. Sementara Pep selalu melatih kesebelasan dengan sederet nama besar dan mahal, Klopp mulai melatih Liverpool dengan para pemain semenjana.
Berbeda dengan Alisson, Klopp punya problem yang cukup besar. Seolah semua racikan strateginya mulai mudah diendus dan diantisipasi lawan. Trio penyerangnya, Salah, Firmino, Mane, seolah sudah bukan lagi barisan penyerang yang berbahaya bagi lawan. Dan begitu serangan lebih sering kandas, Klopp seolah kehilangan akal untuk membuat taktik baru. Pelatih yang sebelumnya dikenal selalu mampu meramu strategi penyerangan, mendadak seperti dalam fase kejumudan.
Memang barusan, Liverpool menekuk Leipzig dalam kompetisi Liga Champions. Tapi tetap saja itu belum bisa dianggap sebagai sebuah langkah maju. Pertama, karena Leipzig jelas berbeda jauh secara kualitas dengan Liverpool. Kedua, permainan Liverpool masih sama dengan sebelumnya. Nyaris tidak ada rumus jitu dan Klopp untuk mengubah Liverpool menjadi kesebelasan yang berbahaya. Bahkan beberapa fans Liverpool mengakui kalau Liverpool bermain jelek tapi menang.
Sepak bola menarik bukan semata karena kalah atau menang. Sebagai permainan yang paling digemari di seluruh penjuru dunia, ia menjadi bagian dari ekspresi, emosi, dan imajinasi para penyukanya. Termasuk acapkali merefleksikan kehidupan kita sebagai manusia.
Kadang kalah, kadang menang, kadang tidak jelas apakah kalah atau menang alias hasil imbang. Sepak bola juga sering memberi kejutan, sebagaimana kejutan sering menghampiri kehidupan kita. Berharap yang baik ternyata hasilnya buruk, tak berharap apa-apa eh ternyata hasilnya baik.
Itu pula yang selalu saya ajarkan kepada Kali, anak saya yang berusia hampir 9 tahun, yang mulai menyukai sepak bola. Kalah, menang, imbang, itu biasa. Kecewa karena kalah, nikmati saja. Senang karena menang, juga mesti dinikmati.
Justru paling tidak asyik jika kesebelasan kita menang melulu. Dan tentu saja, lebih tidak asyik jika kesebelasan jagoan kita kalah melulu. Dari situ, dia bisa menikmati asyiknya mendukung AS Roma. “AS Roma itu kesebelasan biasa saja, Nak. Kadang kalah, kadang menang, kadang imbang. Sama seperti keluarga kita. Tidak selalu bisa membeli apa pun yang kita inginkan, tapi juga kadang bisa membeli yang kita inginkan. Kadang banyak rezeki, kadang tak terlalu banyak rezeki. Kadang bisa langsung menikmati kesenangan, kadang harus menunda untuk mendapatkan kesenangan.”
Dan jujur saja, apa yang dialami Alisson mungkin sering kita alami. Banyak melakukan kesalahan yang tidak perlu, dan begitu kita ingin memperbaiki kesalahan itu, yang terjadi tetap kesalahan demi kesalahan. Ada kalanya di hidup kita, memperbaiki kesalahan justru yang terjadi mengulang kesalahan. Bahkan seolah yang kita lakukan salah melulu. Hingga kelak akan tiba hal lain yang lebih baik, yang tidak bisa kita duga kapan datangnya.
Demikian juga dengan Klopp. Mungkin kita akan sering berada pada zona yang segala hal tampak mandek. Inisiatif tumpul. Variasi strategi berakhir dengan majal. Seolah kita berada dalam lingkaran kejumudan tindakan. Miskin inisiatif dan kreativitas. Kita tahu ada yang keliru, tapi tak cepat menemukan formula untuk memperbaikinya.
Tapi setiap diri kita sesungguhnya adalah pelatih kesebelasan sepak bola. Kita adalah Klopp yang lain. Harus berusaha terus-menerus menghadapi masalah dan menemukan solusinya. Walaupun tidak gampang. Tapi otak harus bergerak walaupun hasilnya tak banyak berubah. Mungkin kita akan sampai pada titik lelah dalam bergerak, tapi setidaknya dengan bergerak kita telah berusaha. Dan mungkin di saat kita sudah hampir kehabisan napas untuk bergerak, entah itu keberuntungan, entah itu keajaiban, atau entah memang itu sudah saaatnya, mendadak jalan solusi terbuka begitu saja.
Tapi hukum dasarnya, kita tetap harus bergerak. Sebab kalau tidak, kita hanya akan terus jadi bulan-bulanan kenyataan. Tidak ada keberuntungan untuk orang yang diam dan menyerah pada kenyataan.
BACA JUGA Kuliner dan Kenangan dan esai-esai Puthut EA lainnya di rubrik Kepala Suku.