Lelah karena kemacetan yang kian mengerikan
Menurut Harian Jogja pada 2022, kecepatan rata-rata kendaraan saat mengikuti arus lalu-lintas di Jogja hanya 16 kilometer per jam. Jalan Affandi (Gejayan) menjadi jalan terpadat dengan derajat kejenuhan mencapai 1,23.
Jadi, derajat kejenuhan adalah perbandingan antara volume lalu lintas dengan kapasitas jalan. Hasilnya berupa angka antara 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1, kondisi jalan mendekati angka jenuh. Lha ini Jogja malah lebih dari rasio 1. Gimana nggak lelah.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tingginya tingkat kejenuhan di Jalan Gejayan. Pertama, jalan yang tidak terlalu lebar. Kedua, menggunakan sistem 2 arah. Ketiga, ada hambatan di samping jalan seperti parkir dan pasar tradisional. Keempat, volume kendaraan terlalu tinggi.
Hmm… beberapa alasan yang masuk akal. Namun, analisis tersebut melupakan 1 hal paling krusial dari sebuah kepadatan jalan yang sudah sangat meresahkan, yaitu manusia. Keberadaan manusia yang menyebabkan tingkat kepadatan semakin tinggi. Nggak cuma di Gejayan, ya, tapi di beberapa titik di Jogja.
Sudah lelah, nasibnya sungguh malang
Salah satu penyebab meluapnya sampah dan kemacetan di Jogja adalah tingginya tingkat kunjungan wisatawan. Dokumen Statistik Wisatawan Nusantara menunjukkan bahwa pada 2022, kunjungan wisatawan di Jogja mencapai 25,7 juta orang. Bayangkan saja, DIY adalah provinsi kecil, berkelahi dengan tingginya volume manusia. Lelah itu semakin menumpuk saja.
Bagaimana dengan data Desember 2023? Menurut ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono, reservasi hotel-hotel di DIY untuk periode 23 Desember 2023 hingga 1 Januari 2024 kemarin mencapai 80%.
Bus-bus yang tunggang langgang berkejaran di Jalan Imogiri Timur depan rumah saya bisa menjelaskan angka-angka di atas. Kemacetan mengular dari perempatan Ring Road Giwangan sampai Botokenceng.
Efek lainnya, lihat saja jalanan Ring Road Utara, Barat, Timur, dan Selatan yang dipenuhi plastik-plastik sampah. Bahkan Jembatan Janti bernasib sama. Jalanan Jogja di lingkar suburban bak menjadi tempat “pemakaman massal” bagi sampah-sampah rumah tangga karena volume TPS dan TPST tak lagi mencukupi. Warga kebingungan harus membuang ke mana. Lelah!
Risiko konflik horizontal antara wisatawan dan warga
Kondisi di atas adalah bumbu-bumbu terbaik untuk sebuah konflik horizontal antara warga dan wisatawan. Kita bicara di tataran konflik “paling rendah” saja dulu, yaitu saling menyalahkan. Saya sudah beberapa kali mendengar ada warga yang menyalahkan wisatawan karena membuang sampah sembarangan. Ke depannya, nggak heran kalau wisatawan kapok ke Jogja karena dianggap penyebab konflik.
Padahal, baik warga dan wisatawan, seharusnya kompak untuk “memaksa” pemerintah bekerja lebih baik mengelola provinsi yang katanya istimewa ini. Ingat, pemerintah panen besar menjaring uang dari wisatawan sembari mengorbankan kesabaran warga Jogja.
Tak ada pembenahan secara masif dan serius, kok. Sejak 2021, yang dilakukan hanya mempercantik pusat kota mulai dari revitalisasi Tugu sampai mengurusi Sumbu Filosofi itu. Untuk itu saja, Pemda selalu mengadakan pesta dan arak-arakan.
Padahal, gelontoran duit yang menggiurkan dari Pusat, bisa dialokasikan untuk pembenahan dari aspek paling prinsip. Misalnya, transportasi umum dan pembangunan TPS baru (yang telat sekali baru digarap sekarang).
Apa yang Diperlukan Kota Ini? Hilirisasi!
Begini, maksud saya, mbok ya 2024 itu fokus dulu membenahi dalam daerah dulu. Stop dulu menggaet wisatawan. Berhenti dulu promosi ini dan itu tentang Jogja. Bangun dulu TPST yang memadai dan dipikirkan aspek lingkungan.
Soalnya, dari 2 permasalahan ini, bisa berakibat luas. Bisa merembet ke masalah kesehatan manusia, kelestarian lingkungan, kerusakan sungai, emisi karbon, bahkan klaim berkebudayaan bisa dipertanyakan. Ya kali, mendaku berbudaya namun manusia-manusia di dalamnya nelangsa karena lelah dan bau sampah.
Jogja, yang sabar, ya. Sudah jelas bahwa kami, warga maupun wisatawan, sayang dirimu. Tapi kami bisa apa selain berharap dirimu layak huni? Ya, “layak huni” merupakan paduan kata yang menggelikan untuk dirimu belakangan ini. Ketika harga tanah makin naik akibat para koruptor cuci uang dan kesenjangan sosial yang jomplangnya luar biasa.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jalan Gejayan Sleman Adalah Simulator Bencana Demografi yang Bakal Mengancam Kota Jogja dan Sleman 6 Tahun Lagi dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.