Wujud ketidakadilan sosial
Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di tengah ramainya Malioboro Jogja yang penuh wisatawan dan kendaraan. Ini bukan sekadar perdebatan nominal uang, melainkan mencerminkan ketidakadilan sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius. Perlunya tindakan tegas untuk mengontrol dan mengatur sistem parkir yang lebih manusiawi menjadi hal yang mendesak.
Kota budaya Jogja harus mampu menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan adil bagi semua, bukan cuma buat Bunga dari Purwokerto. Tarif parkir di Malioboro yang sesuai dengan regulasi, pelayanan yang baik, dan pengawasan yang ketat menjadi kunci untuk memastikan pengalaman wisata yang menyenangkan dan menghargai hak setiap pengguna jalan.
Dengan demikian, tarif parkir yang “gila-gilaan” bukan sekadar masalah sepele yang bisa diabaikan. Ini menjadi cerminan dari kebijakan yang perlu dievaluasi ulang demi keadilan sosial dan kenyamanan bersama.
Semoga refleksi ini menjadi panggilan untuk perubahan yang lebih baik dalam sistem parkir dan layanan publik di Jogja. Kita semua berhak mendapatkan akses yang adil dan layanan yang manusiawi di ruang publik.
Selain itu, persoalan ini juga mencerminkan bagaimana kebijakan publik dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Implikasi dari tarif parkir yang tinggi tidak hanya terasa pada dompet pengguna jalan dan wisatawan asal Purwokerto. Ini juga membuka ruang untuk mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan layanan publik. Hal ini menegaskan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan yang dapat memengaruhi kesejahteraan bersama.
Saatnya menerapkan pembayaran QRIS di setiap tempat parkir wisata
Pada September 2022, sebenarnya, Jogja sudah menerapkan metode pembayaran menggunakan QRIS. Mereka melakukan uji coba di 2 lokasi, yaitu parkir tepi jalan umum di Jalan Prof. Yohanes dan di Tempat Khusus Parkir (TKP) Limaran.
Namun, seperti yang sama-sama bisa kita duga, masih banyak pengguna yang belum mau menggunakan QRIS. Banyak alasan yang mengemuka. Salah satunya adalah tidak semua juru parkir bisa mempelajari teknologi ini dengan cepat. Entah karena masalah “usia” hingga keterbatasan alat.
Sebagai orang yang lebih muda dan terbiasa cashless, metode ini memang bisa menyulitkan mereka yang tidak akrab dengan teknologi. Namun, saya rasa, hal ini jangan sampai menjadi ganjalan. Metode cashless ini bakal menyulitkan oknum tukang parkir di Malioboro Jogja yang hendak mematok harga sesuka hati.
Mau nggak mau, teknologi akan hadir juga di antara kita. Jika bisa memanfaatkannya dengan baik, teknologi juga akan memberi hasil baik. Kita sama-sama tahu bahwa pemasukan dari parkir wisata itu nilainya besar. Jika oknum tukang parkir mematok harga secara ngawur, wisatawan bakal kapok. Jika kelak kunjungan wisatawan turun, kita tidak bisa mencegah orang menyalahkan oknum tukang parkir brengsek di mana saja di Indonesia.
Bagi Jogja, saya berharap kamu segera berbenah. Bagi Bunga dan banyak orang Purwokerto lain, kamu masih tujuan wisata yang diidamkan. Jangan mengecewakan, ya.
Penulis: Edelin Gultom
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Harga Parkir dan Makanan ‘Nuthuk’ di Jogja Adalah Warisan Feodal Paling Ra Mashok dan pengalaman menyebalkan lainnya di rubrik ESAI.