Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Melihat Jember yang Belum Sempurna Menuju Identitas yang (Nggak) Baru dan Lebih Unyu

Elmi Auliya Bayu Purna oleh Elmi Auliya Bayu Purna
22 Juli 2025
A A
Melihat Jember yang Belum Sempurna Menuju Identitas yang (Nggak) Baru dan Lebih Unyu MOJOK.CO

Ilustrasi Melihat Jember yang Belum Sempurna Menuju Identitas yang (Nggak) Baru dan Lebih Unyu. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Jember hari ini mungkin belum terasa begitu sempurna. Tapi setidaknya, ia masih terus mencoba menjadi versi terbaiknya. 

Salah 1 dari 3 tagline utama dan paling baru dari Kabupaten Jember saya ingat adalah “Jember Baru-Jember Maju”. Lalu saya bertanya di dalam hati. Apakah Jember hari ini sedang mulai berubah ke arah “baru”? Atau apakah saya hanya terlalu meromantisasinya saja?

Selama beberapa bulan terakhir, ada saja sajian menarik yang terasa berbeda dari situasi di Jember. Ini bukan karena renovasi jalannya yang giras atau ada kemunculan landmark baru. Ini soal bagaimana melihat kabupaten underrated ini lebih unyu saja saat saya melintasi jalanan kabupaten di waktu sedang merayakan gabut sepulang kerja.

Kata “unyu” mungkin terdengar guyonan di telinga. Tapi entah, dari sekian banyak kosakata, rasanya ini yang pas untuk menggambarkan Jember dalam perkara hari ini. 

Saya melihat bentuk baru pada identitas visual resmi pemerintahan yang simpang siur menghiasi pandangan mata. Baik di pusat informasi kota maupun di dunia maya, hingga melihat gaya hidup dan semangat warganya yang semakin kalcer saja.

Kalau Jember ibarat bapak-bapak kabupaten pada umumnya, mungkin ia sedang belajar tersenyum dan sedikit tersipu malu saat menyapu sore di halaman rumah. Bapak yang biasanya hanya belajar bersabar melihat tumbuh kembang dan tingkah lucu anak-anaknya.

Di tengah situasi dituntut menghadapi kehidupan dewasa dan keruwetan hidup yang nampak tak ada habisnya, saya justru melihat Jember mulai memancarkan aura kelembutan dan tone visual yang lebih berani dari sebelumnya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada rezim-rezim terdahulu.

Kabupaten yang mulai tampil beda dan mencolok

Unyu bukan hanya sekadar guyonan belaka atau gaya komunikasi muda-mudi ala Gen Z di linimasa. Hari ini, melihat keadaan Jember, unyu justru jadi semacam citra baru. Kesan yang saya tangkap dari keberanian mengekspresikan diri tanpa takut dinilai. Ini bukan lagi Jember yang membahas tetek bengek kesenian tradisional atau perayaan besar tahunannya. Ini kabupaten yang mulai tampil beda dan mencolok.

Contoh paling nyata adalah pemilihan warna pink dalam elemen visual pemerintahan. Zaman dulu, siapa yang pernah menyangka jika pemerintahan daerah akan menggunakan ini dalam desain panggung, branding mobil dinas, backdrop acara, bahkan komponen promosi kabupaten. Meskipun, saya kadang merasa ganjil terhadap tidak konsistennya kode hex warna pink di setiap elemen desain yang dipublikasikan.

Namun, yang jadi menarik adalah, warna pink yang dulunya sering dianggap lembut dan tidak “resmi”, kini malah tampil sebagai simbol keberanian baru. Ya, meskipun tidak ada aturan resmi yang melarang penggunaan warna pink, terlepas dari apa pun itu. 

Warna ini seperti sedang mencuri perhatian, apalagi setelah masa kampanye berakhir. Saya langsung yakin bahwa kabupaten ini mungkin sedang membuka diri terhadap hal-hal yang lebih segar dan ora umum.

Kalau melihat ke belakang, warna pink atau merah muda diperkirakan menjadi warna tertua di muka bumi. Hasil dari penelitian di tahun 2018 yang diterbitkan oleh pnas.org, menemukan bahwa pigmen merah muda cerah telah ditemukan pada bebatuan yang berusia 1,1 miliar tahun. Pigmen tersebut muncul berkat fosil miliaran tahun cyanobacteria kecil yang pernah mendominasi lautan.

“Sudah sejak lama, manusia purba menjadikan warna merah muda sebagai warna favorit mereka. Masyarakat di pegunungan Andes (Amerika Selatan), telah bersentuhan dengan warna merah muda sejak sekitar 9.000 tahun yang lalu,” Tulis Erin Blakemore.

Dia adalah seorang jurnalis dan penulis lepas. Terkenal karena tulisannya yang mencakup berbagai topik seperti sejarah, budaya, sains, dan hal-hal tak terduga dalam laman National Geographic.

Iklan

Melihat pergaulan anak muda di Jember

Terlepas dari temuan-temuan di atas, kita tidak bisa memungkiri bahwa warna pink telah membawa banyak spirit dan muatan budaya. Warna yang diekstrak dari palet alam ini kemudian melekat dalam kehidupan manusia. Ia mengandung berbagai mitos di setiap masanya dan tetap bernafas mengikuti denyut zamannya.

Sebagai pemuda dusun yang sering berkegiatan di kota, saya berprasangka bahwa semua fenomena ini mungkin lebih dari sekadar warna. Ke-unyu-an ini akan lebih terasa lagi bagaimana cara kita melihat pergaulan anak muda di Jember dalam urun rembug menata ulang identitas kabupaten, khususnya di daerah kota. Ini seperti menyusun puzzle yang tak pernah usai.

Penting untuk dicatat, bahwa generasi muda bukanlah satu-satunya gambaran sebuah kabupaten. Namun, dengan semangat dan potensinya, mereka memiliki peran penting dalam mewujudkan visi kota yang lebih baik. Namun, mereka harus didukung dan diberdayakan oleh seluruh elemen warganya sendiri.

Dari wabah bahasa gawl “lo-gue” lengkap dengan sisipan dialek lokal padatnya yang sudah bisa ditemui lebih sering di beberapa tempat, banyaknya tempat kuliner dan kafe kekinian dengan konsep unik yang sangat menjamur, sampai komunitas baru maupun yang masih bertahan digerus zaman, baik yang lahir dari sudut kecil pengapnya kabupaten ini maupun yang berasal dari ingar-bingar mereka yang berdomisili di kampus. Semuanya membagikan warna dan memberi anggapan bahwa Jember masih merayakan sesuatu. Mungkin ini bukanlah sebuah perkembangan yang pesat, tapi setidaknya ada harapan yang kelak akan jadi angin segar di masa depan.

Fenomena perubahan yang terjadi di Jember

Perubahan tidak pernah datang dari momentum-momentum penuh kebisingan seperti sound horeg dengan desibel di atas rata-ratanya. Ia tumbuh dari hal-hal kecil yang cukup istiqomah. 

Kehadirannya muncul dalam diam dan tak sanggup diprediksi. Seperti misalnya, sekarang sudah ada kafe-kafe di Jember yang mulai menampilkan DJ dengan party halalnya. Gerombolan kaki lima modern yang merajai jalanan utama kota. Tempat hiburan malam yang mulai banyak variannya. 

Ada juga gigs musik sederhana yang rutin melahiran band-band indie bermazhab Shoegaze hingga subgenre antik lainnya. Bahkan, mulai banyak penampakan wheatpaste dengan suara terpinggirkan di beberapa titik tembok kumuh kota yang bersaing saling tumpang-tindih dengan poster iklan lainnya. Seakan Jember sedang beralih menuju lebih kosmopolitan. Suasana yang sedang menggejala, tapi ini membuatnya terasa lebih hidup.

Juga, makin banyak munculnya komunitas dan kegiatan alternatif. Sebut saja komunitas menonton film pendek, pegiat dan workshop zine, kelompok menggambar bareng, klub buku silent sampai yang berisik, takeover bar kedai/kafe oleh para pegiat kopi, event berkaraoke ala-ala yang sedang digandrungi, hingga lapangan padel yang akan rilis Agustus tahun ini. 

Sebagian besar energi ini digerakkan oleh armada nom-noman yang tak perlu menunggu izin atau restu tertentu. Cukup dengan niat dan publikasi poster digital pun jadi.

Menciptakan ruang yang nyaman

Saya yakin mereka tidak mencari sensasi, dan itu cukup untuk menciptakan ruang yang nyaman untuk mengaktualisasi diri. Meskipun Jember tidak sebesar Rio de Janeiro atau London, namun kabupaten ini masih memiliki semangat kolektif yang guyub dan begitu rukun. 

Ini jelas sebuah spirit yang masih selalu dicoba untuk diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan pendekatan apa pun, terlepas dari banyaknya kepentingan yang terjadi. Saya selalu percaya itu. Dan dari itu semua, entah bagaimana, bagi saya ini terasa unyu.

Kalau dulu, nongkrong adalah aktivitas yang “B” aja. Sekarang nongkrong jadi semacam sebuah ritual kecil yang mesti dirayakan. Vakansi di alun-alun dengan menikmati layar videotron raksasa hingga munculnya wahana bermain anak ghoib yang sudah mulai menginjak rerumputannya, ngonten foto atau video TikTok di mana saja dengan outfit terbaik, hingga minum es kopi susu meskipun saldo ATM mulai kembang-kempis. Trabas saja. Toh, semuanya dilakukan dengan asas niat dan dalih estetik.

Gaya berpakaian pun semakin kalcer. Ada yang model gaya Babebo-an vintage. Ada yang pakai crop top baik laki-laki maupun perempuan. Terlepas masalah crop top ini masih menjadi kontroversi karena penggunanya yang mind blowing. 

Bahkan, ada yang dengan bangga memakai kaos band-band-an lokal. Support dan salute! Menurut saya, ini bukan lagi soal tren saja di Jember, tapi bentuk ekspresi diri yang makin ke sini, makin mulai diterima.

Lalu datang warna pink. Kita bisa melihatnya jelas di baliho-baliho Pemkab, kegiatan UMKM yang didukung pemerintah, bahkan di elemen media sosial resmi akun-akun Organisasi Perangkat Daerah (OPD). 

Warna ini seolah menjadi tanda bahwa Jember sedang menyapa dengan caranya tersendiri. Ini bukan lagi persoalan desain atau warna palet, tapi ini bentuk sebagai pernyataan bahwa tidak apa-apa menjadi lebih beda. Dan itu sah-sah saja untuk ukuran kota yang sedang berkembang.

Tidak ada yang dominan, semuanya sama di mata algoritma

Bagi saya, Jember hari ini terasa seperti sedang unyu-unyunya yang mulai ramai dengan aktivitas-aktivitas uniknya di dunia maya. Tidak ada yang dominan, semuanya sama di mata algoritma. 

Orang-orang pun mulai tidak malu untuk jadi dirinya sendiri. Entah lewat konten TikTok yang absurd, atau lewat komentar receh di kolom postingan Instagram akun-akun mediagram (homeless media) lokal.

Tren baru tidak hanya muncul di kota-kota besar, tapi juga terjadi di Jember. Kita masih bisa flashback kembali tentang “anomali” Ibu Guru Salsa yang sempat heboh di jagat maya. 

Dia sempat jadi trending topik di beberapa platform media sosial sekitar bulan Februari lalu. Dan yang paling nggateli, bisa-bisanya dia diliput stasiun TV nasional saat pindah profesi menekuni dunia tarik suara. Makla pas bisa gitu caen. 

Ini membuktikan bahwa identitas lokal tidak lagi perlu malu-malu. la bisa hadir sebagai sesuatu yang minimal bisa ditonton orang se-Indonesia Raya tanpa harus kaku, dan sok-sokan serius.

Kita juga bisa melihat bagaimana anak muda menyambut dengan riang gembira ruang-ruang kreatif. Baik fisik maupun digital dengan keresahan-keresahan yang lebih dekat. 

Dari podcast sederhana, konten-konten yang nggak FYP, hingga pemanfaatan ruang publik yang mulai digemari untuk beraktivitas olahraga. Apa yang dulunya diangap nggak penting, kini justru jadi kanal untuk mengenal Jember dari banyak sudut pandang dan pengalaman personal warganya sendiri. 

Dan yang menarik dari itu, bentuk-bentuk ekspresi ini tidak melulu harus besar atau kudu viral. Terkadang, cukup jadi tempat untuk berbagi keresahan, bahan adu nasib, barter sambat, sekadar saling pamer, atau hanya mampu dianggap keren saja. Di Jember, kamu tidak harus tampil sempurna.

Sisi personal dari pemerintahan

Tidak ketinggalan, kita juga bisa melihat Gus Bupati muda kita, sudah tidak ragu lagi mengungkapkan emosi yang lebih personal. Kadang lembut, kalem, namun tiba-tiba malah bisa nge-gas ala KDM dari Jawa Barat atau bahkan modelan Cak Ji dari Surabaya. 

Ini terlihat dari unggahan beliau di Reels Instagram 7 Juli lalu. Beliau turun langsung meninjau kondisi lintasan rel kereta api Pecoro yang dilaporkan warga Jember melalui kanal “Wadul Guse”. 

Situasi ini diwarnai ketegangan dan adegan marah-marah terhadap pihak KAI. Alasannya, jalan di area tersebut licin saat hujan dan rusak. Akibatnya, pengendara sering mengalami kecelakaan tunggal.

Namun banyak warganet menyayangkan tindakan tersebut. Mereka menganggap terdapat kesalahpahaman dalam pemahaman alur birokrasi. 

Hal tersebut sebenarnya sudah diatur negara dalam Permenhub No.94 tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api Dengan Jalan. 

Beberapa komentar tajam dan kontra dihapus. “Parah komentarnya hilang ya mas @roeswantara, padahal menjelaskan birokrasi yang jelas malah dihapus komennya,” celetuk @ceritakeretaapiindonesia. Dia adalah salah satu akun besar railfans Kereta Api Indonesia (KAI). Ini menambah ke-unyu-an yang lain.

Akhirnya, masalah tersebut sudah selesai melalui proses audiensi dengan PT KAI Daop 9 di Pendopo (18/7/25). Mereka meluruskan kesalahpahaman dan membahas pentingnya koordinasi dan yang lebih intens untuk mencegah miskomunikasi dalam penanganan infrastruktur.

Yang menggelitik benak saya

Tentunya, semua yang unyu ini menyenangkan, kadang pula menggelitik. Tapi apakah semuanya benar-benar tersampaikan sebaik itu? 

Di balik warna pink yang mencolok, dan nom-noman yang tampil enerjik, ada beberapa kegelisahan kecil di benak saya yang kerap tetap mengganggu pikiran. 

Apakah Jember sedang memang benar-benar “baru” sesuai tagline-nya? Atau, apakah ini hanya efek konten pemanis di media sosial yang membuat semuanya tampak lebih menyenangkan dari yang terjadi di realita?

Sebab, tidak semua orang mungkin merasakan ke-unyu-an ini secara merata. Masih banyak wilayah yang belum tersentuh oleh semangat-semangat ini. Ada banyak anak-anak muda yang bingung dan tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengejar karir, bahkan passion-nya. Sudah begitu, ada saja ketimpangan infrastruktur maupun akses. 

Lalu bagaimana dengan yang lain, mereka yang tidak main di Instagram, TikTok, dan FB Pro? Mereka yang tidak sempat menyalurkan semangatnya karena harus kerja pontang-panting dari pagi sampai malam. Mereka yang bahkan belum sempat tahu atau berpikir bahwa Jember sedang mengalami fase unyu. Apakah mereka layak menjadi bagian dari “kisah” ke-unyu-an ini?

Dan pertanyaan lain yang tak kalah pentingnya, apakah pemerintah benar-benar memahami esensi dari ke-unyu-an ini? Atau, sekadar menjadi peniru andal karena terlihat “ini beda” atau sekadar nampak estetik? 

Sebab dari semuanya, tanpa adanya pemahaman yang mendasar dan konsep keberlanjutan, ini akan mudah sekali sirna, gampang luntur, bahkan cepat angop. Eman-eman.

Jember masih mencoba menjadi versi terbaiknya

Jember hari ini mungkin belum terasa begitu sempurna. Tapi setidaknya, ia masih terus mencoba menjadi versi terbaiknya. 

Ia mencoba menjadi kabupaten yang tidak hanya tampil manis di jagad medsos, tapi harapannya juga bisa lebih humanis kepada warganya sendiri. Kota ini sedang mencoba riang dan tersenyum lebih sering, mengizinkan warganya untuk tampil lucu, berani, dan ekspresif, tanpa merasa perlu meminta maaf atas semua itu.

Ke-unyu-an yang kita lihat hari ini bukan hanya tampilan atau tren sesaat saja. Ini adalah penanda bahwa kita semua sebagai warga, seyogyanya, memang harus mengambil peran. 

Bahwa ruang-ruang kecil ini mulai tumbuh dan butuh dirawat. Bahwa menjadi receh bukan berarti dangkal, dan menjadi lucu bukan lagi dianggap tidak serius. Justru dari semua itu ada keberanian untuk hidup dengan cara yang lebih unyu.

Tapi, kota ini butuh dari sekadar warna pink di baliho. Ia butuh komitmen jangka panjang. Juga butuh dukungan yang benar-benar positif dan apresiatif. 

Jember membutuhkan ruang aman yang bisa diakses siapa saja. Dan juga keberanian mendengarkan suara dari akar rumput dan keberpihakan yang berimbas pada komunitas dan warganya, serta melihat dengan bijak yang selama ini terpinggirkan.

Jika ini tidak dirawat, ke-unyu-an ini akan jadi pajangan saja. Tapi jika kita mau menjaga dan menumbuhkannya bersama, maka bisa jadi ini bukan hanya euforia sesaat. Ini adalah awal dari versi Jember yang katanya lebih baru. Dan ya, lebih unyu. Unyu dalam arti yang paling tulus.

Penulis: Elmi Auliya Bayu Purna

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jember, Kabupaten Paling Istimewa di Jawa Timur yang Selalu Menawarkan Cerita di Kala Pulang dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 22 Juli 2025 oleh

Tags: Gen ZGus FawaitIbu Guru SalsaJawa TimurJemberkabupaten jemberMuhammad Fawaitparty halal jember
Elmi Auliya Bayu Purna

Elmi Auliya Bayu Purna

Bertani visual di rumah. Mencari kesenangan untuk tidur siang dan berziarah sore bersama segelas teh hangat.

Artikel Terkait

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
anak muda.MOJOK.CO
Mendalam

Anak Muda Tidak Lemah, Masa Depan yang Tak Terlalu Ramah

20 November 2025
Pameran buku anak termasuk komik. MOJOK.CO
Ragam

Komikus Era 80-an Akui Sulitnya Membuat Karya di Masa Kini, bahkan Harus Mengamati Lewat Drakor untuk Kembangkan Cerita Anak

15 November 2025
Lulus SMA dirundung karena jualan toge di pasar tradisional Tuban. Dianggap kurang usaha padahal masih muda alias gen Z. MOJOK.CO
Ragam

Lulusan SMA Dihina: Masih Muda tapi Cuman Jadi Pedagang Pasar. Tak Peduli yang Penting Bukan Beban Keluarga

6 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.