Sebatang rokok dan sejuta mimpi di Tegal Boto
Di tengah hiruk pikuk Kota Pahlawan, terkadang saya merindukan aroma rokok murah yang dulu jadi teman begadang saya saat masih ngontrak di Tegal Boto, Jember. Wajar, aroma rokok dan tembakau, menjadi ciri khas Kabupaten Jember karena kabupaten ini penyumbang 30% tembakau paling banyak se-Jawa Timur.
Tapi, tentu saja, angka yang ditampilkan ini bagi saya cuma bonus. Sebab, yang utama dari semua itu adalah memori di balik kepulan asapnya.
Saya tiba-tiba teringat kalimat sakral dari Pak Min, seorang penjaga warung kelontong langganan saya waktu di Jember. “Mas, rokoknya masih kompelit,” ungkap Pak Min dengan logat khas Madura-Jember.
Dengan harga rokok yang waktu itu masih Rp15 ribu per bungkusnya, apalagi ditambah dengan kopi Rp3 ribu, saya sudah merasa menjadi makhluk paling bijak sedunia. Pasalnya, obrolan saya dan teman saya begitu mengalir jika sudah ketemu rokok Pak Min dan secangkir kopinya. Mulai dari membahas soal revolusi, bahkan sampai taktik mengelabui landlord kontrakan yang giat menagih uang sewa.
Lantaran Pak Min, bagi saya bukan cuma sekadar penjual rokok dan kopi di Tegal Boto. Dia adalah sosok pendengar setia bagi kami. Meski kadang cara menasihatinya agak terkesan nyeleneh, tapi Pak Min memahami betul kondisi kami.
Terkadang, Pak Min bahkan rela membiarkan kami untuk membayar ketika sudah punya uang. Dari situ, di warung kecilnya itu, saya rasa Pak Min tak hanya menjual barang dagangan untuk anak muda. Dia juga menjual harapan dan kebaikan hati yang kini sulit ditemui di kota besar, seperti yang tengah saya rasakan saat ini di Surabaya.
Kenangan di pantai selatan
Beberapa bulan yang lalu, sebuah data menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan yang berkunjung ke Pantai Watu Ulo, meningkat hampir 40% dalam lima tahun terakhir. Itu artinya, dalam lima tahun kepergian saya dari Jember, Watu Ulo telah berkembang menjadi pusat wisata paling populer di sana.
Dan, sayangnya, saat Watu Ulo sedang cantik-cantiknya itu, saya tak bisa menikmatinya. Bagi saya, kini Watu Ulo bukan sekadar wisata. Watu Ulo adalah cerita.
Sebagai orang yang ngontrak di Jember bagian pusat, wisata yang saya rasakan pasti terbatas. Namun, selalu saja ada ajakan dari teman untuk main ke pantai selatan. Ajakan ini sudah bisa dipastikan selalu muncul setiap liburan akhir semester. Dengan modal patungan uang bensin dan nekat, kami menyusuri jalan sekitar 30 kilometer menuju pantai.
Sementara di batu karang mirip ekor ular itulah kami pernah bermimpi tentang masa depan. Ada yang ingin jadi teknisi, jadi penulis, ingin keliling dunia, dan bahkan ada yang ingin jadi bupati. Watu Ulo, menyimpan semua memori kami.
Pahit kopi Rembangan yang dirindukan
Beralih dari pantai ke ketinggian 650 mdpl, puncak Rembangan menawarkan pemandangan Jember yang membuat saya sadar. Betapa kecilnya saya di tengah hamparan perkebunan yang menjadi penopang kabupaten ini.
Dulu, ketika saya menikmati kopi di sana, ada yang bilang, bahwa rahasia nikmatnya kopi Rembangan ada di airnya yang dingin dan juga bersih. Namun, saya lebih percaya bahwa rahasianya terletak pada momentum, yakni kapan dan dengan siapa kita menyeruputnya.
Intinya, seperti cinta pertama yang tak terlupakan itu. Kopi pertama yang kita nikmati di suatu tempat akan selalu punya tempat spesial di dalam memori kita.
Apalagi, di tengah kabut yang menyelimuti puncak Rembangan itu, saya masih ingat dengan jelas bagaimana dulu kami sering menghabiskan akhir pekan di sini. Tentu bukan karena kami orang kaya yang bisa membeli kopi mahal atau menyewa penginapan, tapi justru sebaliknya. Kami menikmati kopi Rembangan karena hanya itulah pilihan yang sesuai dengan isi dompet kami.
Kami menyeruputnya sambil sesekali ngobrol tanpa kenal waktu. Kadang juga diselingi oleh canda tawa dan mimpi-mimpi yang terdengar tak masuk akal. Tapi, bukannya memang begitu cara anak muda bermimpi?
Jember dan jejak nostalgia
Lima tahun meninggalkan Kabupaten Jember mengajarkan saya bahwa kesuksesan tak selalu tentang gaji besar atau jabatan tinggi. Terkadang, kesuksesan adalah tentang kemampuan kita membeli tiket untuk pulang kapan pun hati memanggil.
Terkadang juga, tentang privilese untuk mampir ke warung kopi masa dulu dan memastikan apakah rasanya masih sama atau tidak. Bahkan, tentang kemewahan bisa membagi cerita kepada anak cucu kita nanti, bahwa di kota ini, dulu, pernah ada kehidupan yang begitu sederhana namun sangat kaya.
Dan mungkin, itulah yang membuat Jember selalu terasa istimewa hingga saat ini dan selamanya. Bukan karena tempat-tempatnya yang semakin kekinian, tetapi karena di setiap sudutnya masih tersimpan jejak-jejak nostalgia.
Di setiap kepulan asap rokoknya, masih ada mimpi-mimpi yang belum terwujud. Di setiap tetes kopinya, masih ada tawa yang belum selesai. Dan, di setiap deburan ombaknya, masih ada cerita yang menunggu untuk pulang.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Lima Tahun untuk Selamanya, Pengalaman Merantau di Jember Jadi Bekal Seumur Hidup dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.