Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nasib Sial Adalah Mereka yang Lahir dan Besar di Jakarta, lalu Tinggal di Jogja karena Nyatanya Tersiksa oleh Kesepian dan Gangguan Mental

Ifana Dewi oleh Ifana Dewi
8 Agustus 2025
A A
Nasib Sial Lahir di Jakarta, Tinggal di Jogja: Disiksa Kesepian MOJOK.CO

Ilustrasi Nasib Sial Lahir di Jakarta, Tinggal di Jogja: Disiksa Kesepian. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Sebuah tanggapan dari warga kedua kota tersebut

Di sini, saya tertarik untuk membahasnya. Saya ingin mengukur seberapa relevan dan representatif temuan kompas ini dalam kehidupan personal saya, yang notabenenya adalah warga kedua kota tersebut.

Dalam artian, jika warga Jogja dan Jakarta adalah populasi yang paling rentan mengalami kesepian, lantas bagaimana nasib orang-orang seperti saya? Saya yakin, ada banyak warga Jakarta yang terjebak oleh ekspektasi semu bahwa Jogja adalah kota yang menjanjikan kehangatan.. 

Atau, kalau kesepian bisa meningkatkan risiko penyakit fisik maupun gangguan mental, lantas bagaimana kondisi kami yang dua kali lebih rentan kesepian? Mungkin agaknya benar apa yang diwartakan netizen +62, “Sebenarnya sudah gilak. Cuma malas keliling saja.”

Kilas balik awal mula kehidupan di Jogja

Sejak lulus sekolah dasar, saya terus membayangkan betapa nikmatnya bisa berkesempatan belajar di Jogja. Gambaran yang terlintas sangat berbeda dengan kota asal saya, yakni Jakarta. Di sanalah saya lahir, tumbuh, dan membentuk karakter bawaan.

Hiruk pikuk kota Jakarta membuat saya semakin ingin hengkang. Bagaimana tidak, nyaris saban harinya, saya menyaksikan problematik Jakarta yang bagaikan lingkaran setan. Tak ada ujungnya.

Macet yang tak berkesudahan, banjir yang kerap menyambang, hingga kebobrokan moral yang tak hanya nampak di kalangan orang muda, tapi juga dewasa bahkan lansia. 

Maka tak heran jika jargon yang tersemat adalah “Jakarta Keras”, bukan “Jakarta Istimewa”, selayaknya citra Kota Jogja.

Singkat cerita, semesta memihak keinginan saya. Masuk pertengahan 2018 silam, saya memulai meniti perjalanan intelektual. Tepat di sebuah pondok pesantren yang berada di tengah kota Jogja, saya tinggal. 

Saya merasakan kalau kota ini menjanjikan ketenangan dan kehangatan, ramahnya bukan buatan. Dan pastinya, banyak digandrungi wisatawan, sebab istimewa di setiap sudutnya. 

Perjuangan adaptasi hidup di Jogja

Di Jakarta, masing-masing orang sibuk dengan urusan pribadinya. Jalinan sosial seringnya cuma basa-basi. Atau paling ujung-ujungnya karena ada maunya. Khas ada udang di balik batu. 

Makanya, saat saya memutuskan untuk merantau ke Jogja, atmosfer Jakarta yang terasa dingin (bukan dalam harfiah), akan segera terasa perbedaannya 180 derajat ketika menginjak kaki ke Jogja.

Faktanya, citra Jogja yang terlintas tidak selalu menciptakan atmosfer kehangatan di tengah kebersamaan. Saya berani katakan begitu, sebab toh di kota ini saya tetap merasakan kesepian. 

Awalnya, saya rasa mungkin karena karakter bawaan saya sebagai masyarakat urban yang cenderung kompetitif dan individualis. Tapi setelah saya baca artikel Kompas ini, saya membatin “Ah, nggak juga.” Artikel ini memvalidasi keresahan saya. 

Saya kira, gegar budaya hanya soal logat dan selera makan. Lebih dari itu. Ternyata bisa juga dalam bentuk kesepian yang saya bingung harus dimengerti dari sisi mana.

Iklan

Rutinitas padat yang menjemukan

“Persentase tertinggi pemicu kesepian jatuh pada kesibukan terhadap beban kerja atau studi, yakni sebanyak 31%. Kemudian disusul oleh faktor interaksi non-langsung sebanyak 19,3%, dan kehilangan orang terdekat sebanyak 17,3%.”

Hmm, jujur saja. Kalau saya korelasikan dengan kehidupan personal, lagi-lagi data dari Kompas benar dan mewakili keresahan saya.

Pagi hingga petang? Saya habiskan di kampus. Petang menjelang malam? Sibuk kegiatan pondok pesantren. Malam sampai larut? Biasa saya gunakan untuk menyelesaikan tugas yang belum tuntas. Jangan tanya soal tidur. Dicukup-cukupin saja.

Kalau dibandingkan, tak berlebihan jika menyebut kesibukan saya ini melebihi atau minimal setara dengan Raffi Ahmad. Bedanya, kalau Raffi Ahmad biasa mencuri waktu istirahat di dalam kendaraan mewah, saya istirahat di tengah desakan penumpang angkutan umum Jogja. 

Rutinitas yang padat ini bikin saya kehilangan ruang untuk membangun hubungan emosional. Baik dengan orang lain maupun dengan diri saya sendiri. 

Selayaknya kehidupan di pondok. Akses ke lingkungan luar yang terbatas juga kontrol sosial yang tinggi, saya rasa juga menjadi penyebabnya. Di pondok, jam-jam malam berlaku. Biasanya, kami dibatasi hingga Isya. Maka tak jarang, jika sedang asyik-asyiknya ngopi bareng teman, sudah didesak untuk pulang. 

Kehidupan komunal 24/7 seperti di pondok, tidak serta merta memberikan kehangatan dalam kedekatan. Miris, memang. Tapi itulah yang terjadi. 

Jadi, kalau saya korelasikan dengan kehidupan personal, lagi-lagi data yang disajikan Kompas mewakili perasaan saya.

Penulis: Ifana Dewi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jogja Itu Nggak Istimewa dan Tidak Lagi Sama karena yang Istimewa Itu Orang-orangnya dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 9 Agustus 2025 oleh

Tags: gangguan mentaljakartaJogjakesepianKompasPondok Pesantren
Ifana Dewi

Ifana Dewi

Hamba amatir, suka ngopi.

Artikel Terkait

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO
Ragam

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.