MOJOK.CO – Kalau soal mahal, jatuhnya selalu relatif. Namun, tingkat stres yang dibawa oleh “harga murah” di Jakarta itu nyata. Ini fakta yang sulit kami tepis.
Setiap kota punya ceritanya sendiri di mana penghuninya bisa membanggakan dan mengelukannya, termasuk pula Jakarta. Banyak orang yang ragu-ragu hendak merantau ke ibu kota dan banyak pula yang ingin keluar karena biaya dan stres yang tinggi. Stresnya harus saya akui, tapi sebenarnya mahal itu “relatif”.
Berdasarkan survei BPS, Jakarta menjadi kota dengan biaya hidup termahal, mencapai Rp15 juta per bulan, per rumah tangga. Angka ini sekitar tiga kali lipat dari UMR, cukup menyedihkan mengingat masih banyak warga yang mendapatkan gaji di bawah UMR atau paling mentok sedikit di atas UMR. Apalagi jika gaya hidupnya seperti “Mas dan Mbak SCBD” di mana kamu banyak menemukannya di media sosial. Hal ini membuat kaum biasa yang hendak datang dari tanah perantauan membayangkan betapa beratnya hidup di ibu kota.
Hidup “Mas dan Mbak SCBD” tidak semewah yang kamu bayangkan
Saya tidak bekerja benar-benar di SCBD. Namun, saya tahu betul bahwa kemewahan “Mas dan Mbak SCBD” di media sosial tidak mencerminkan kehidupan sebenarnya. Demi memenuhi kehidupan sehari-hari, “stres” mengelola biaya cukup terasa di kawasan ini. Sudah sering lembur, menumpangi transportasi umum yang berjubel-jubel padatnya, dan menerjang jalanan yang macet. “Mas dan Mbak SCBD” masih harus pandai mengelola biaya makan, pakaian, sampai tempat tinggal.
Makanan kaki 5 di pinggir jalan tetap jadi favorit sehari-hari, apalagi di tanggal tua. Kita masih bisa menemukan nasi kuning dengan satu buah gorengan dan lauk seadanya seharga Rp7.000 di sini. Makanan lebih mewah bisa dicari di warteg.
Jika ingin membeli makanan dari restoran atau kafe, apalagi yang unik dan mahal, umumnya membeli dengan cara patungan beramai-ramai dan mengandalkan diskon dari ojek online atau dompet online. Ya, kebagian sedikit tidak masalah asal pernah mencicipi. Makan enak dan banyak bisa menunggu jamuan gratisan dari perusahaan atau atasan, jika ada.
Thrifting atau mencari pakaian yang mirip produk ternama di pasar-pasar dan toko online juga bukan rahasia lagi. Mereka yang mampu pun tak masalah ikut serta, tetapi biasanya berfokus pada barang reject di bawah Rp100 ribu.
Bersama barang kebutuhan lain, tak jarang membelinya pada tanggal “cantik” dengan promosi besar. Untuk menghemat pengeluaran, tidak jarang barang yang sama dibeli grosir oleh beberapa orang dan satu keluarga bisa membeli pakaian tertentu untuk dipakai bergantian.
Soal tempat tinggal, akan selalu ada “kontrakan sepetak” dengan harga ratusan ribu rupiah, di berbagai kawasan di Jakarta. Pekerja di kawasan Senayan dan Pondok Indah punya solusi di dekat Permata Hijau. Untuk pekerja di kawasan Pluit dan Pantai Indah Kapuk punya solusi di Muara Angke. Contoh lain, pekerja di Kelapa Gading bisa ke Warakas. Risikonya, kontrakan ini ilegal, kamar mandi dan dapur berbagi dengan penghuni lain, tanpa AC, dan daya listriknya terbatas untuk kipas angin.
Pusat perbelanjaan kami berlebih, tetapi tidak di semua tempat
Jakarta dikenal memiliki banyak pusat perbelanjaan dan masih akan memiliki yang baru ke depan. Namun, lokasinya tidak terbagi merata di semua tempat. Apalagi sejak belanja online merajalela, sebenarnya pusat perbelanjaan lebih dibutuhkan untuk barang yang butuh dicoba dulu atau diperiksa keadaannya.
Kami punya deretan pusat perbelanjaan yang boleh dibilang “hidup segan mati tak hendak”. Misalnya WTC Mangga Dua dengan kios yang sebagian besar tutup. Ada juga Kelapa Gading Trade Center, yang kini tinggal melayani tempat makan Golden Leaf. Lalu, ada Baywalk Mall yang kios aktifnya terus berkurang padahal punya pelanggan tetap dari Apartemen Green Bay.
Lokasi dengan pusat perbelanjaan melimpah memang tidak optimal. Mengingat sebagian besar dagangan sampai tempat makannya sama. Di sisi lain, ada pula lokasi yang kekurangan pusat perbelanjaan. Karena jika ada, malah lebih cocok menjadi tempat makan.
Kalau mau berbelanja, pengunjung harus menempuh jarak yang cukup jauh. Akhirnya, pusat perbelanjaan yang ramai ya itu lagi dan itu lagi, misalnya Grand Indonesia, Mall Kelapa Gading, Gandaria City, atau Central Park Jakarta yang membuat jalanan sekitarnya macet dan mencari parkir bisa berjam-jam.
Transportasi umum di Jakarta boleh banyak, tetapi tetap saja pusing soal transportasi
Sebagai ibu kota, Jakarta punya banyak transportasi umum. Urusan dalam kota, selama tergabung dalam Jaklingko, kami bisa membayar tarif terintegrasi yang lebih murah. Ke pinggiran kota, bisa murah juga.
Bayangkan, TransJakarta bisa mengantarkan kami bahkan sampai ke titik tertentu di Banten dengan tarif Rp2.000 sebelum 7 pagi atau Rp3.500 setelahnya. KRL Jabodetabek, bisa mengantar warga Jakarta berlibur ke Bogor dengan tarif di bawah Rp10.000 sekali jalan. Lah, tarif bentor di Jalan Malioboro malah Rp10.000 ketika saya ke Jogja.
Permasalahannya, transportasi umum yang kami punya terasa kurang mengingat kepadatan yang begitu tinggi apalagi jika hujan. Sekalipun headway sebentar, di jam sibuk, kami harus menghadapi kenyataan tidak bisa menumpang karena sudah penuh. Ujungnya tetap menunggu lama.
Transportasi dengan kendaraan pribadi jelas tidak murah dan macetnya bukan main. Sekalipun jalan kecil, macet tetap tidak terhindarkan mengingat terbatasnya lahan. Membuat perumahan, gedung perkantoran, dan tempat keramaian yang lain bisa saja berdiri di sana. Tidak percaya? Lihat kawasan Pademangan Jakarta, banyak pedagang makanan di jalan yang kecil dan jelas tidak ramah untuk parkir mobil.
Jika sampai terlewat di Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta, siap-siap putar baliknya jauh atau memutar dulu ke ruas jalan lain. Belum lagi parkir, sekalipun berlangganan di kantor tetap tidak murah. Memesan taksi online harus siap menunggu lama dan menghadapi penolakan driver karena rute atau lalu lintas yang tidak bersahabat bagi mereka.
Tidak jarang harga taksi online melejit tak terkira sampai-sampai lebih murah memberhentikan taksi argo. Bayangkan, saya pernah pulang makan siang di luar kantor dengan argo taksi Rp8.000 ketika tarif GoCar sampai Rp50.000!
Ketika cuaca memburuk, hanya 1 yang bisa kami harapkan, yaitu unjuk rasa jangan sampai mengganggu jam berangkat dan pulang kerja. Kendaraan pribadi bakal pusing dengan penutupan jalan dan pengalihan rute. TransJakarta bisa melakukan pengalihan rute dengan tidak dilayaninya halte tertentu sampai perpendekan rute. Pusing!
Rumah legal di Jakarta tidak harus mahal (tetapi kecil)
Jakarta masih punya rumah legal yang tidak mahal harganya bisa di bawah Rp500 juta. Akan tetapi, siap-siap dengan beberapa kenyataan. Misal, kamu cuma dapat lebar tanah di bawah 3 meter. Lalu, luas tanahnya di bawah 30 meter persegi, yang kayak apartemen tipe studio. Ada rumah dengan garasi belum tentu muat 1 sepeda motor. Itu saja kudu ke pinggiran Jakarta Timur atau Jakarta Selatan. Jika kalian datang ke Pademangan tadi, harga rumah di sana sudah tergolong mahal.
Sekalipun kalian datang ke kawasan yang “lebih mampu”, rumah yang relatif kecil pun bertebaran. Lebarnya 4-6 meter dengan luas tanahnya mulai dari 40 meter persegi yang bahkan masih di bawah luas tanah minimum rumah subsidi.
Rumah dengan luas tanah di atas 100 meter persegi umumnya lebih sulit dijual karena mahal. Bahkan di kawasan tertentu luas tanah 60 meter persegi (standar minimum rumah subsidi) sudah sulit dijual. Tinggal di komplek lama memiliki keuntungan lebih soal biaya hidup, pedagang sayur sampai makanan keliling bisa masuk. Ada loh, pedagang bakso sapi keliling menjual Rp1.000 per butir!
Alternatif lain adalah mencari rumah susun sederhana, di bawah Rp500 juta, dengan 2 kamar tidur. Di sini, banyak pedagang nasi rames dengan Rp5.000 per porsi. Porsinya bisa untuk 2 sampai 3 orang. Kualitas bangunan dan pelayanannya jangan berharap sama seperti apartemen mewah. Siap-siap dengan iuran bulanan yang yang tidak murah, sekitar Rp600 ribuan. Lalu, siap-siap juga kehilangan tempat tinggal ketika pemerintah menilai bangunan tidak lagi layak.
Eh, ini kan bukan rumah (baca: tapak)? Makanya, banyak pekerja di Jakarta yang memilih sewa di sini (bahkan tidak membawa serta anggota keluarga) dan bersiap pensiun di kampung halaman. Begitulah Jakarta, yang nggak selalu mahal, tapi stres di sini sungguh nyata.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jalanan Jakarta yang Keras dan Tak Ramah Pemula: Naik Ojol Bingung, Naik KRL Tambah Bingung dan kenyataan menarik lainnya di rubrik ESAI.