MOJOK.CO – Selain kompetensi dan kecerdasan, berkarier di politik juga harus memiliki keberuntungan, dan itu sudah dimiliki Harmoko.
Seorang tokoh selalu dikenang karena ujaran atau pemikirannya, demikian juga dengan Harmoko. Ujaran terpenting Harmoko adalah saat memberi dukungan solid pada gerakan mahasiswa untuk melengserkan Soeharto. Pernyataan Harmoko saat menjadi Ketua DPR RI menjadi narasi ikonik, yang menjadi momentum agar Soeharto segera mempercepat pengunduran dirinya.
Wakil Ketua DPR RI, Letjen Syarwan Hamid, (Akmil 1966, mantan Kassospol ABRI), yang duduk di samping Harmoko, bahkan sempat mengepalkan tangannya, gaya khas aktivis gerakan mahasiswa. Apa yang disampaikan Harmoko dan kepal tangan Syarwan Hamid, sungguh di luar ekspektasi publik saat itu, mengingat dua tahun sebelumnya Syarwan termasuk keyperson penyerbuan kantor pusat PDI (27 Juli 1996), serta pembubaran PRD.
Tidak bisa lain, kita harus berani mengatakan, saat itu Harmoko secara sadar menjadikan dirinya sebagai martir. Terlebih bila dihubungkan dengan rekam jejaknya yang begitu setia pada Soeharto. Posisinya sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode kabinet (1983-1997), sudah cukup menunjukkan bagaimana bentuk hubungan antara Soeharto dan Harmoko.
Bagaimana Harmoko bisa dipilih Soeharto sampai tiga kali pada posisi yang sama, rasanya hanya Soeharto yang tahu. Biasanya, Soeharto merotasi menterinya pada pos yang berbeda, meski orangnya itu-itu saja, seperti yang pernah terjadi pada Ali Wardhana, JB Sumarlin, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Soebroto, dan seterusnya.
Bagaimana melihat performa Harmoko saat menjadi Menpen, salah satunya bisa dengan cara membandingkannya dengan Ali Murtopo, Menpen yang kemudian digantikan Harmoko. Keduanya memiliki karakter yang sangat berbeda, karisma Ali Murtopo luar biasa, yang mungkin terlampau besar untuk seorang Menpen. Secara intelektual Harmoko juga sangat jauh dibanding Ali Murtopo. Jejak Ali di bidang intelektual masih eksis sampai sekarang, yakni lembaga riset CSIS.
Dalam setiap kunjungan ke daerah, Ali Murtopo selalu berpidato dengan gayanya yang tipikal, senantiasa berapi-api. Setiap pidato, Ali Murtopo selalu memilih lapangan terbuka, atau gedung yang luas. Sehingga pendengarnya pun berbaur antara pejabat lokal, jurnalis yang sedang meliput, dan masyarakat biasa yang sangat menikmati pidatonya.
Seingat saya pada masa itu, hanya dua menteri yang sangat populer, karena gayanya yang tipikal, dan kebetulan dua-duanya juga seorang jenderal, seorang lagi adalah M Jusuf (Menhankam/Panglima ABRI 1978 – 1983). Sementara hampir tidak ada yang bisa dikenang dari Harmoko selama menjabat 14 tahun sebagai Menpen, termasuk saat merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Golkar (1993-1998).
Pada fase ini terjadi paradoks, sebagai figur dengan kapasitas intelektual serba terbatas, namun karena ada gerbong besar kekuasaan di belakangnya, Harmoko bisa menaklukan jurnalis besar yang secara intelektual sudah diketahui publik, yaitu Goenawan Mohammad (GM) dan Eros Djarot. Apa hendak dikata, sungguh sebuah kecelakaan sejarah tiada tara, salah satu yang bisa dikenang ketika Harmoko menjadi Menpen, adalah saat menutup untuk selamanya penerbitan majalah Tempo dan tabloid Detik, pada Juni 1994.
Tentu saja GM (Pemred Tempo) dan Mas Eros (Pemred Detik) paham sepenuhnya, bahwa penutupan medianya bukan kehendak Harmoko, baik sebagai menteri maupun sebagai pribadi, bahwa itu adalah titah langsung kekuasaan (baca: Soeharto). Bagaimana mungkin Harmoko akan tega menutup sebuah media, karena dia sendiri adalah mantan jurnalis, yang selama bertahun-tahun mencari nafkah dengan menjadi kuli tinta. Artinya dengan ditutupnya sebuah media, terlebih media mapan seperti Tempo, ada berapa mulut anak-anak bangsa yang kebutuhan gizinya bakal terancam, karena sangat bergantung pada media tempat ayah atau ibu mereka bekerja.
Kita harus berani mengatakan, narasi yang berkembang selama 14 tahun Harmoko menjadi Menpen, boleh disebut datar-datar saja atawa generik, semisal pengumuman kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako atau soal gaji bulan ke-13 bagi PNS (kini disebut ASN). Sementara untuk pengumuman untuk isu yang lebih strategis, biasanya disampaikan oleh Moerdiono (Menteri Sekretaris Kabinet), seperti berita pembebasan tiga tokoh era Orde Lama, yakni Soebandrio (mantan Menlu, Kepala Badan Pusat Intelijen), Omar Dani (mantan KSAU), dan Brigjen Pol Soetarto Kolopaking (Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen).
Setelah berakhirnya era Orde Baru, Harmoko adalah menteri yang paling sering menjadi bahan olok-olok. Saya kira ini kurang fair, bahwa dalam setiap rezim selalu ada tokoh yang berperilaku seperti itu, yaitu mengikuti kemana angin bertiup. Sebut saja tokoh seperti Ruslan Abdulgani dan Letjen TNI Amir Machmud, yang di masa Orde Lama dikenal sangat setia pada Bung Karno, namum bisa berbalik arah, sehingga tetap mendapat posisi baik pada rezim Soeharto.
Olok-olok paling “menyakitkan” tentu akronim nama Harmoko, yang kita masih ingat dimulai dengan “hari-hari…”, apa kelanjutannya kita semua sudah tahu. Sementara karier politik Harmoko bisa dibaca dengan sudut pandang lain, bahwa hari-hari Harmoko senantiasa penuh keberuntungan. Seperti promosi seseorang pada posisi strategis, selain kompetensi dan kecerdasan, dia juga harus memiliki keberuntungan, dan itu sudah dimiliki Harmoko.
BACA JUGA Hitam-Putih Gelar Pahlawan Nasional Pak Harto dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.