MOJOK.CO – “Wahai working mom dan mom yang di rumah, jangan sampai tertekan karena salah memilih role model.”
Dua hari berturut-turut saya ketemu dua pendapat senada dari dua tokoh parenting ternama di medsos yang intinya ngomong, ibu di rumah lebih baik daripada ibu bekerja.
Bhaique. Mari kita ikut ramaikan.
Sebel saya sih. Kok kenapa ya dibandinginnya begitu? Dikira apa kalo sudah jadi mbegogok di rumah, mom kayak saya sudah nggak ada potensi untuk mengabaikan anak?
Ya ada aja sih, Buuu. Misalnya kalo mboknya nyetatus 22 kali, nge-like status orang 50 kali, nge-like komen orang 100 kali, dan mbales komen 130 kali, niscaya dia akan kecolongan pas anaknya numpahin tepung dan gula pasir di lantai, atau sedang ngunyah upilnya sendiri, atau ngemut eek cicak hasil nemu di kolong meja.
Mengabaikan tugas itu bisa terjadi pada ibu yang selalu di rumah maupun yang bekerja di luar rumah. Sebagaimana efisien serta berkomitmen tinggi terhadap urusan rumah, meskipun memang lebih mudah dilakukan ibu yang selalu di rumah, tapi bukan hal yang tidak mungkin juga bagi ibu bekerja.
Saya punya teman, working mom dengan tiga anak. Dia tak pernah absen memandikan anak-anaknya di pagi dan sore hari serta membuat menu MPASI dengan tangannya sendiri. Dibuatnya menu untuk seminggu ketika weekend, kemudian dibekukan. Pas waktu makan, bagian pengasuh adalah menghangatkan dan menyuapkan.
Teman yang lain, working mom juga, punya stok ASI se-kulkas dan se-freezer, selalu sempat membacakan buku di malam hari meskipun kakinya njarem habis ngejar kereta. Para working mom ini bangun jauh lebih pagi dari saya untuk menyiapkan segala kebutuhan mereka dan anak-anak. Pulang kerja mereka masih menyempatkan diri mengurus dan mengasuh anak-anak.
Mereka efisien karena hanya punya sedikit waktu. Nggak kayak saya yang kerja di rumah. Ke pasar aja sejam. Mikirin mau masak apa sejam. Masaknya dua jam. Cuci piring, wajan, ompreng, sejam. Dan ketika anak ditanya, Ibu masak ini, mau makan nggak? Si anak menjawab, ada yang lain nggak? Lalu si Ibu merasa ingin menangis dan raup pake minyak jelantah.
Orang suka bicara tentang yang ideal-ideal. Gambaran wanita ideal ahli surga, misalnya, adalah seorang istri yang selalu menjaga dan merawat diri, seorang ibu yang lemah lembut dan siap sedia kapan pun anak dan suami membutuhkan, mengurus segala urusan anak dan suami dengan tangan sendiri, tidak pernah marah, tidak pernah ngomel. Apalagi jika sukses menjadi praktisi homeschooling untuk anak-anaknya. Sempurna.
Sempurna untuk orang lain tapi ketika kau mau jadi seperti itu, eh ternyata kau malah jadi… gila. Kan yha gimana.
“Hlaaa, tapi kata ustadz, kewajiban istri adalah di rumah, Mbak. Kewajiban suami adalah mencari nafkah. Kalau kita mengkhawatirkan rejeki suami tidak cukup, justru itu yang Allah akan kabulkan. Kita sudah dikodratkan untuk menjadi madrasah bagi anak-anak.”
Baiklah, beta tidak ingin mendebat ustadz njenengan, Bu, karena sungguh menyadari beta hanya remah-remah karak sisa pakan ayam. Tapi, Bu, jika engkau mau membuka hati, akan kau temukan pula ustadz dan ustadzah yang memiliki pandangan berbeda. Pasti. Coba aja kalo nggak percaya. Tinggal njenengan mau apa nggak percaya sama yang lainnya. Gitu aja.
Harusnya, fokusnya adalah pada bagaimana para ibu bisa berdansa penuh harmoni dengan kondisi masing-masing. Makanya, kalo working mom butuh role model, ya jangan mom rumahan yang dijadikan contoh. Nanti malah jadi merasa hyna dan zetres melanda. Coba cari role model dengan keadaan yang tidak terlalu berbeda. Adaaa, pasti ada. Kalau di medsos nggak ada, di dunia nyata pasti banyak. Kadang permata itu bukan mereka yang pandai menulis dan sibuk mengisi seminar ke sana kemari loh, Bu. Bisa saja mereka justru ibu-ibu sederhana dan tak suka pamer kata di media sosial. Buka mata, buka hati.
Kadang kita tertipu dengan tampilan orang di media sosial. Ngeliat orang lain bisa selalu tampil bijaksana (dari tulisan-tulisannya) membuat kita merasa kecil hati dan merasa tiada hal yang patut dipuji dari diri ini. Padahal ya padahal, sungguh benar adanya bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Mereka yang bisa menuliskan kata-kata indah tentang hidupnya yang selalu terasa optimis, bahagia, enjoy, tenang… dalam kenyataannya yaaa nggak gityu-gityu amat kok, Buuu. Kurang lebihnya sama saja dengan kita merekatu.
Lebihnya banyakan mereka, kurangnya banyakan kita.
Oh ya. Abaikan kemungkinan ini.
Jadi, Bu, jangan berkecil hati ketika kau merasa seluruh dunia menghujatmu sebagai working mom. Itu pasti karena kamu salah gaul di media sosial. Saranku, buangin saja teman maya yang suka merongrong jiwa, dan sedia kerupuk cumi banyak-banyak. Tiap kali emosi bacain lini masa, gigit keras-keras si kerupuk cumi, kunyah kuat-kuat sampai terdengar bunyi krrriuuukkk krrriiiuuukkk. Nah, mungkin itu bisa meredakan amarahmu. Ketika setoples telah kosong, berarti tiba waktunya kau meletakkan hengpong dan kembali terjun ke medan joeang. Merdekhaaa!
Dan wahai para stay-at-home-mom, kadang kita merasa sangat kecil hati karena meskipun seharian kita di rumah, tapi kok rasanya segala sesuatu tidak berjalan seperti kehidupan ibu anak dalam iklan bubur bayi di tivi. Jangan, Bu, jangan. Percayalah, yang ngapusi itu iklannya. Ya kali semua bayi berpantat dan pipi menul-menul itu nggak pernah rewel, ngamuk, atau sakit. Kan mbel sangad yha.
Satu hal yang sedang awak biasakan saat ini, ketika diri mulai merasa insekyur karena membandingkan pencapaian awak dengan rangorang lain, kemudian kecil hati dan minder, merasa hina dan tiada berguna melanda, awak ucapkan satu mantra sakti ini.
HAEEE JIWA YANG SEDANG GALAU, SETIAP MANUSIA PUNYA MEDAN TEMPURNYA MASING-MASING. TETAP FOKUS DENGAN MEDAN TEMPURMU SENDIRI.
Karena kita punya medan tempur masing-masing, maka jangan pernah jadikan apa yang tampak sukses dari orang lain sebagai standar kesuksesan kita. Syukuri saja apa yang kau miliki dan rawat sebaik-baik kau bisa. (Kalimat terakhir dicolong dari kuwot Pak IAD, juragan jati dan kelengkeng sukses).