Saat Dokter Stefanus Taofik meninggal dunia karena mesti berjaga dua hari berturut-turut, orang normal yang punya empati pasti akan peduli.
Kita kemudian tahu ia wafat bukan karena kelelahan bekerja selama lima hari, melainkan tersebab sindrom Brugada: kelainan yang banyak diderita laki-laki dan menjadi penyebab sudden cardiac death atau kematian mendadak saat tidur. Berita viral yang ada di media sosial kemudian bukan menjurus pada usaha untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut, tapi kemudian berkutat pada perdebatan, “Bolehkah kita bersimpati atas kematian seorang yang berbeda agama?”
Saat seseorang peduli hanya berdasar keimanan yang sama, itu hal wajar. Barangkali ia tumbuh dalam doktrin agama yang menganggap prioritas kepedulian mula-mula adalah kepada sesama umat. Jika sudah selesai, baru peduli ke umat yang lain.
Tidak ada yang salah dalam pemahaman ini, tapi saya kira ini merepotkan. Kelak jika akan mendonorkan darah, misalnya, barangkali ia mesti meyakinkan PMI untuk hanya mendonorkan darahnya kepada pemeluk agama yang sama. Lantas kelak, jika ia terkena demam berdarah atau kecelakaan (saya berharap semoga tidak), ia pasti akan repot bertanya apakah darah yang akan ia terima dari saudara seiman atau bukan.
Simpati dan empati adalah fitur standar yang dimiliki manusia normal. Tapi, kita tahu, di zaman yang serbakeblinger, kepedulian luar biasa mahal. Ia tidak bisa sembarang diberikan kepada siapa saja. Seseorang di Twitter menjadi terkenal karena ia bertanya agama dokter Stefanus. Ia diolok dan dirisak karena bertanya.
Sebenarnya apa sih salahnya bertanya? Apakah kita perlu mencemooh kepedulian orang lain? Beberapa orang Islam berpikir bahwa prioritas kepedulian semestinya diberikan kepada sesama umat muslim, tapi benarkah demikian? Dalam banyak kisah diceritakan bahwa Nabi demikian peduli dan toleran terhadap non muslim.
Sarjana dan intelektual muslim yang belajar sejarah relasi umat Islam dengan umat lainnya pastilah mengenal nama Mukhayrîq, seorang Yahudi Bani Tsa’labah yang pintar dan kaya raya. Saat terjadi pertempuran antara kaum muslim dan kaum kafir, Mukhayrîq dengan terbuka memerintah pengikutnya untuk membantu Nabi, padahal perang terjadi di hari Sabat, hari suci agamanya.
Baginya, membantu Muhammad dan umat muslim tidak akan menodai hari Sabat. Ia bahkan berpesan kepada pengikutnya, jika ia mati, hendaklah seluruh kekayaannya diwariskan kepada Muhammad.
Saat Mukhayrîq gugur, Nabi bersedih dan berucap bahwa ia adalah yang terbaik bagi kaumnya. Jelas Nabi mengenal Mukhayrîq dan keyakinannya, tetapi itu tidak menghentikannya untuk menunjukkan simpati dan mengangkat derajatnya sebagai seseorang yang terpuji.
Maka, jika Anda berpikir perlu membuat lapisan pertemanan berdasarkan keyakinan, Anda perlu mengingat kisah ini; bagaimana Nabi bisa mencintai, menjaga hubungan, dan memuliakan orang yang beragama lain.
Di lain kesempatan, komitmen Nabi terhadap perbedaan dan penghormatan atasnya ditunjukkan dalam kisah berikut. Dari Qois bin Sa’d dan Sahl bin Hunaif, mereka melihat Nabi sedang duduk. Kemudian rombongan orang Yahudi lewat membawa jenazah. Nabi Muhammad lantas berdiri. Para sahabat bertanya kepada Nabi mengapa ia berdiri. Bukankah yang meninggal adalah orang Yahudi?
Nabi pun menjawab, “Bukankah ia manusia?”
Nabi tidak bertanya kepada sahabat, “Maaf agamanya apa?” Tidak juga membuat kriteria lingkar pertemanan yang membatasi diri. Tentu Nabi hanya memilih sahabat-sahabat terdekat dari kalangan muslimin. Ini fakta yang tak terbantahkan. Tapi, relasinya dengan umat agama lain demikian toleran, peduli, dan hangat.
Kisah demikian tidak hanya terjadi saat mereka telah meninggal. Bagaimana Nabi Muhammad menghormati Raja Kristen Negus juga berserak dalam banyak sirah. Bagaimana Nabi mengizinkan umat Kristen Najran untuk beribadah di masjid bisa pula kita baca di Sirah Nabawiyah.
Lantas, apa alasan kita meragukan kewajiban untuk peduli terhadap sesama manusia, apa pun keyakinannya?
Soal kematian dan jenazah ini, saya ingat kisah Buya Hamka yang bergegas menyetujui permintaan untuk mengimami salat jenazah Bung Karno. Padahal, Bung Karno musuh politik yang pernah menjebloskannya ke bui.
Saya gemas dan marah tiap kali mengingat masifnya penolakan salat jenazah di Jakarta beberapa waktu lalu hanya karena perbedaan pilihan politik. Nabi dan ulama terbaik masa silam menunjukkan bagaimana mereka demikian menghormati orang mati dan tak mau menista orang-orang yang berseberangan dengan mereka.
Apa yang bisa kita pelajari dari ini?
Anjir perlu dijelasin banget nih, Bg? Emang pembaca nga bisa mencerna sendiri?
Sayangnya begitu. Banyak orang perlu disuapi penjelasan agar bisa memahami makna dari sebuah kisah. Kelompok inilah yang kerap melabeli orang macam Jonru dan Felix Siauw sebagai cendekia atau ustadz.