MOJOK.CO – Per 3 September 2022, harga BBM resmi naik. Jualan Jokowi dan Sri Mulyani ini justru sukses menghantam harga diri rupiah dan Pancasila.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikan harga BBM subsidi dan non-subsidi di tanggal 3 September 2022. Sebelumnya, Jokowi, Sri Mulyani, dan Direktur Pertamina saban waktu curhat sana sini soal besarnya beban biaya yang ditanggung APBN akibat menahan kenaikan harga BBM subsidi selama berbulan-bulan.
Memang, beberapa bulan terakhir, baik presiden maupun menteri keuangan, sudah seperti “pengamen” yang sedang kecantol lagu berjudul “Naikkan Harga BBM Subsidi Sekarang Juga”. Setiap mendapat kesempatan bicara, lagu favorit tersebut diulang-ulang terus.
Bahasa lainnya, sejak berbulan-bulan lalu, pemerintah sebenarnya dengan terangan-terangan berusaha menggiring opini publik bahwa harga BBM subsidi akan naik dan seharusnya naik. Sinyal tersebut kemudian ditangkap dengan baik dan jelas oleh publik bahwa pemerintah memang sudah berniat untuk menaikan harga BBM subsidi jauh hari sebelum tanggal 3 September 2022.
Subsidi tidak tepat, kok rakyat yang jadi korban?
Oleh sebab itu, tidak heran jika sejak tanggal 1 September, antrian di SPBU mendadak lebih panjang dari sebelumnya karena masyarakat dan media memang menduga bahwa pemerintah akan menaikan harga BBM subsidi di tanggal pembuka September. Dengan kata lain, masyarakat memang sudah tidak kaget lagi alias sudah dalam posisi pasrah menerima keputusan Jokowi dibantu Sri Mulyani menaikan harga acuan minyak dalam negeri (Indonesia Crude Oil/ICP) menjadi USD 105 per barel, yang berimbas pada perubahan harga BBM subsidi dan non-subsidi.
Pertimbangannya, sebagaimana dinyanyikan dengan apik bercengkok neoliberalis ala Sri Mulyani tempo hari, adalah pertama, beban fiskal atas subsidi yang dinilai terlalu besar akibat disparitas harga yang terlalu lebar antara harga minyak dunia dan harga BBM subsidi (salah satu jualan utama proyek penyesuaian struktural/structural adjustment). Kedua, pemerintah juga tetap mengulang alasan berupa lagu lama soal subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati oleh masyarakat mampu alias subsidi tidak tepat sasaran (sama sekali tidak ada kata Pancasila di dalam alasan-alasan yang dijelaskan itu).
Walhasil, harga Pertalite berubah dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Harga Solar subsidi bergeser dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Dan harga Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Harga diri rupiah yang dihantam Jokowi dan Sri Mulyani
Jika memakai kacamata lain, katakanlah kacamata kelompok moneteris, sebenarnya bukan hanya harga BBM yang naik, tapi justru “harga diri mata uang Garuda alias rupiah” yang justru turun. Semula, hanya dengan Rp7.650 bisa mendapat 1 liter Pertalite, maka hari ini justru dibutuhkan Rp10.000 untuk Pertalite dengan jumlah yang sama. Begitu pula dengan harga diri rupiah di hadapan solar dan Pertamax. Artinya, dear Jokowi dan Sri Mulyani, daya beli rupiah terhadap BBM terpangkas puluhan persen, yang akan dialami oleh semua pemegang rupiah di seluruh Indonesia, baik di alam nyata maupun di alam mimpi.
Ilustrasi ekonomi mikronya seperti ini. Jika seorang penggawa ojek online biasa menghabiskan Rp15.000 untuk 2 liter per hari agar bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp150.000 per hari, maka hari ini (setelah harga BBM naik), dia harus merogoh kocek Rp20.000 untuk mendapatkan hasil yang sama. Daya beli atau purchasing power dari pendapatan harianya berkurang plus minus Rp5.000 per hari.
Jika dia bekerja sebulan penuh, pendapatanya akan terpangkas plus minus Rp150.000 (5000 x 30). Dan jika jajan anaknya yang kebetulan masih Sekolah Dasar sebesar Rp10.000 per hari, jika tidak ada tambalan dari sumber lain, dia harus mengorbankan 15 hari sekolah anaknya setelah harga BBM naik, alias kebijakan Jokowi dan Sri Mulyani untuk menaikan harga BBM setara dengan merampas hak bersekolah anak seorang penggawa ojek online selama 15 hari.
Memang biasanya itu tidak terjadi karena sang penggawa ojek online, layaknya segmen masyarakat biasa lainya, biasanya akan mensubstitusikan dengan mengorbankan pengeluaran lain yang dirasa kurang perlu, misalnya sang istri menghentikan kebiasaan membeli bakso, mengurangi konsumsi daging dan ikan, menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi, mengganti merek kopi dengan yang lebih murah, mengurangi pembelian kuota internet, dan lainnya.
Rakyat dipaksa berkorban (lagi)
Ilustrasi kalkulasi ini tentu belum memasukan peningkatan potongan aplikasi ojek online atas penghasilan penggawa ojek online, yang juga sempat dikeluhkan sejak beberapa waktu lalu. Jika itu dimasukan, penurunan harga diri rupiah milik para penggawa ojek online tentu akan lebih besar lagi.
Sebut saja misal nya potongan aplikasi yang telah terlebih dahulu meningkat berjumlah sama, yakni Rp5.000 per hari, total pemangkasan harga diri rupiah milik penggawa ojek online menjadi Rp300.000 per bulan alias setara dengan anaknya yang SD batal pergi ke sekolah selama sebulan.
Jumlahnya tentu akan semakin membesar jika kita masukan variabel perubahan harga barang-barang kebutuhan pokok lainya sebagai imbas kenaikan biaya transportasi dari sentra produksi ke pasar. Katakanlah harga beras, cabai, minyak goreng, sayur, semuanya berpeluang besar untuk ikut naik beberapa ratus atau ribu perak. Maka cukup ditambahkan ke dalam persamaan sederhana di atas, lalu dihadapkan dengan total rupiah yang didapat setiap hari atau setiap bulan, yang konon tidak ikut naik. Nah, itulah yang dirampas oleh kebijakan sederhana dari Jokowi tempo hari.
Melihat kenaikan harga BBM dari sisi ekonomi mikro
Saya memang sengaja melihat kasus ini dari sisi ekonomi mikro kali ini. Sudah banyak beredar analisis dan pendapat yang menyorot kenaikan harga BBM dari sisi makro dan dari sisi kebijakan. Sebagaimana kebijakan dan isu lainya, tentu akan ada reaksi pro dan kontra, akan ada narasi pembelaan dan narasi tandingin, lalu berujung dengan label cebong dan kadrun, dan kemudian hening setelah beberapa hari.
Nah, melalui kacamata ekonomi mikro, yang semula dianggap biasa, akan terasa cukup tidak biasa. Tanggapan seperti “Ah cuma naik Rp2.350 perak,” akan terlihat aslinya bahwa sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Setiap pemerintah melakukan “penistaan dan penodaan” harga diri rupiah, akan ikut menggores harga diri lembaran-lembaran rupiah yang ada di dalam saku kita.
Tentu tak akan dirasakan oleh orang-orang seperti Jokowi, Sri Mulyani, Direktur Pertamina, dan teman-temannya, yang hidupnya ditanggung negara. Perubahan ini akan terasa oleh jutaan manusia yang hidupnya “senin-kamis” atau hanya bermodalkan UMR setiap bulan.
Jadi, menaikan atau menurunkan subsidi atas barang publik tidak semudah menambahkan atau mengurangi angka di dalam item-item barang yang tertera di dalam lembaran press release pemerintah, yang cukup dengan beberapa sentilan pada keyboard laptop staf ahli Sri Mulyani, tapi jauh lebih sulit dibanding demonstrasi ratusan ribu buruh yang ingin menuntut kenaikan gaji.
Tentang inflasi inti
Dalam bahasa ekonominya, imbas pergeseran angka inflasi atas kenaikan harga BBM mungkin tidak bombastis. Alasannya, model perhitungan inflasi yang tidak sama antara inflasi inti, inflasi umum, dan inflasi pada pendapatan perorangan.
Inflasi inti atau Core Inflation (CI) yang digunakan BPS atau BI tidak memasukan harga energi, sehingga imbasnya nanti tidak akan terlalu tinggi. Pun imbasnya terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) alias Consumer Price Index (CPI), yang juga tidak akan terlalu tinggi karena CPI memasukan ribuan jumlah harga barang sebagai komponennya. Oleh sebab itu, pergeseran pada beberapa harga barang tidak terlalu berpengaruh pada harga median keseluruhan barang.
Tapi untuk inflasi barang-barang kebutuhan pokok tertentu yang tak bisa diatur pemerintah, inflasinya masih sangat mungkin untuk naik sangat tinggi. Misalnya seperti harga minyak goreng, cabai, telur, beras, dan lain-lain, yang sangat berpengaruh pada pengeluaran masyarakat. Dengan kata lain, Personal Consumer Expenditures Price Index (PCEPI), salah satu indikator inflasi yang terkait peningkatan pengeluaran masyarakat atas kenaikan harga barang-barang tertentu yang sayangnya jarang digunakan oleh Indonesia, akan sangat tinggi, persis seperti gambaran ekonomi mikro di atas.
Dengan kata lain, CI dan CPI boleh saja rendah yang kemudian secara makro terlihat cukup aman, tapi secara riil akan sangat memberatkan masyarakat jika Personal Consumer Expenditures Price Index (PCEPI) tidak terkendali. Inilah yang dirasakan masyarakat hari ini yang makin berat setelah kenaikan harga BBM, Pak Jokowi dan Sri Mulyani.
Ekonomi makro
Secara makro, inflasi inti Indonesia masih moderat. Tapi secara riil, pendapatan masyarakat sangat tertekan oleh kenaikan tajam beberapa komoditas pokok sehari-hari.
Celakanya lagi, Jokowi, Sri Mulyani, dan semua yang punya tanggung jawab tidak pernah benar-benar membenahi tata kelola dan supply chain dari komoditas-komoditas pojok agar disparitas kedua inflasi tidak terlalu lebar. Yang selalu dilakukan pemerintah selama ini hanyalah menggeser-geser harga.
Jadi seperti yang sering saya sampaikan, justifikasi dan falsifikasi atas kebijakan semacam ini sudah tidak lagi masuk ke ranah teori ekonomi. Akan selalu ada landasan untuk membenarkan atau menyalahkannya secara teoritis. Tapi ini sudah masuk kepada ranah keberpihakan penguasa kepada kepentingan publik.
Pemerintah mengecewakan Pancasila
Apakah pemerintah masih menganggap BBM sebagai barang publik yang harus dijaga harganya atas nama ketentraman sosial dan untuk kepentingan rakyat banyak, atau dianggap hanya sekadar barang komersial yang diproduksi atas kalkulasi-kalkulasi keuntungan layaknya perusahaan-perusahaan komersial?
Di mana letak parameter keberpihakan Jokowi, Sri Mulyani, dan para pembesar negara? Saya yakin parameternya sudah bukan lagi ada pada teori ekonomi, baik Keynesian, Neoklasik, atau Neoliberal, karena perdebatan tidak akan pernah selesai.
Parameternya ada pada konteks dan ideologi ekonomi negara. Artinya, parameternya ada pada ruang dan waktu di satu sisi dan ideologi ekonomi yang berlaku di dalam ruang dan waktu tersebut di sisi lain.
Oleh sebab itu, setelah sekian lama pemerintah dan antek-anteknya menggunakan kata Pancasilais untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, sekaranglah saatnya kita menggunakan parameter yang sama kepada pemerintah untuk mempertahankan komitmennya kepada Pancasila setelah harga BBM naik.
Negara yang tidak hadir
Dengan ideologi Pancasila yang kita banggakan selama ini, apakah Pancasilais pemerintah menggunakan kalkulasi komersial (dalih harga keekonomian) atas barang publik yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak? Mengapa di saat harga minyak dunia tepar sampai ke USD 10 di masa awal pandemi tempo hari pemerintah justru tidak menurunkan harga BBM juga? Bukankah mempertahankan subsidi untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak adalah bukti kehadiran negara untuk melindungi masyarakat banyak dari kerasnya benturan ekonomi pasar?
Lantas mengapa justru pemerintah kini malah menjadi perwakilan dari ekonomi pasar itu sendiri? Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa setelah kenaikan harga BBM, bukan harga diri minyak dunia yang naik tinggi, tapi justru harga diri mata uang Garuda alias rupiah yang turun drastis, harga diri saku-saku jutaan rakyat Indonesia yang tengkurap.
Hasilnya, lahir tanya di hati kita semua. Di mana letak harga diri Pancasila itu dihadapan ekonomi pasar? Monggo Jokowi dan Sri Mulyani menjawabnya… kalau mampu menjawab.
BACA JUGA Harga BBM Naik, Dana Pensiun Diubah, Istri Ferdi Sambo Tak Ditahan tapi Rakyat yang Kudu Memahami dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno