MOJOK.CO – Sebagain besar dari kami, generasi sandwich, nggak butuh dukungan moral. Kami cuma butuh uang. Uang yang banyak.
Sebagai pria dewasa 35 tahun yang sesekali masih menanggung hidup orang tua, dua keponakan, satu adik, dan kadang kerabat lain, hidup kadang bisa menyebalkan. Kamu tak punya kesempatan menikmati gajimu sendiri. Menyesal bukan karena kehabisan, tapi karena tak bisa membantu lebih banyak.
Saya percaya pada hal-hal baik. Menyenangkan orang tua dengan mengirimkan uang, membelikan keponakan makanan yang dia sukai, memberikan uang buat adik untuk jajan di Shopee, adalah beberapa di antaranya.
Ini mungkin absurd. Semua hal baik tadi adalah konsumerisme, tapi hei, saat ini sebagian besar dari kita percaya healing terbaik adalah belanja. Sebagai orang yang punya uang, saya ingin memberikan kesempatan itu pada orang lain.
Memang sangat berbeda dengan generasi sandwich di laporan Kompas yang merasa terpaksa. Saya nggak mau menggunakan nada murung, apalagi terpaksa, untuk menghidupi orang tua.
Sekarang ini, keputusan untuk memprioritaskan diri sendiri sering dianggap sebagai tindakan mulia. Sebaliknya, membantu orang lain bisa dipandang usaha celaka. Saya juga percaya ini, kok. Namun, setelah mengalami kesepian, kegagalan, kehilangan pekerjaan, ternyata ada kebaikan dari memberi.
Tahun lalu, saya tiga kali kehilangan pekerjaan. Kondisi saya sebagai generasi sandwich makin bikin pusing. Uang tabungan habis. Sementara itu, kebutuhan terus mengejar. Kehidupan beberapa orang bergantung kepada saya.
Saya memutuskan pindah dari Jakarta ke Jogja untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Di tengah proses itu, saya menerima banyak kebaikan dari orang lain.
Kebaikan-kebaikan yang saya terima tahun lalu membuka mata saya. Bahkan mengajari saya bahwa uang itu penting, membawa kegembiraan, dan yang paling jitu, membuatmu bisa membantu orang lain.
Jika kamu berharap tulisan ini bernada sarkas, ada baiknya kamu berhenti membaca, lalu lanjut bekerja. Bagi generasi sandwich, saya benar-benar meyakini bahwa punya banyak uang itu penting. Tentu dengan cara yang baik, tidak mencuri nilai tambah atau hasil korupsi. Uang halal yang kamu peroleh dengan kerja keras. Jika punya banyak, kamu bisa membawa kebahagiaan bagi dirimu dan orang lain.
Belakangan, hal yang saya sesali mungkin uang yang saya miliki tidak banyak. Saya tidak bisa membantu seperti dulu lagi. Di Jakarta dulu, saya punya gaji besar. Tapi ya tiap bulan tetap merasa kurang. Foya-foya, merasa akan mati muda, tak peduli pada diri sendiri jadi penyebabnya.
“Lha itu salah kamu sendiri nggak punya perencanaan finansial.”
Betul. Punya pemahaman dan pengetahuan soal perencanaan finansial itu penting. Apalagi untuk generasi sandwich yang terjepit dua atau lebih kebutuhan.
Sayangnya, seperti yang terlihat saat ini dari bagaimana saya membiayai orang tua, dua keponakan, satu adik, dan kadang kerabat lain, kami tak pernah diajari tentang itu. Mungkin beberapa dari kita bisa memutus mata rantai kemiskinan dengan perencanaan finansial, tapi yang lain tidak. Kami dikejar kebutuhan, hari ini harus kerja apa supaya besok bisa makan apa.
“Lalu ini soal uang dong?”
Benar. Saat saya punya banyak uang, mampu membiayai orang tua, dua keponakan, satu adik, dan kadang kerabat lain, saya bisa fokus pada perencanaan finansial. Uang berlebih tadi bisa dipakai untuk investasi di reksadana, emas, atau kripto. Atau mungkin beli tanah dan jika beruntung sukuk ritel. Tapi kan tidak, saat ini uang habis untuk biaya hidup, kirim uang ke rumah, dan jika bernasib mujur bisa bayar uang konseling ke psikolog.
“Uang terus dari tadi?”
Lha iya. Saat pandemi, punya uang itu menyelamatkan nyawa. Dulu, kita harus bayar Rp1 juta sekali PCR, harus beli vitamin, dan makan sehat. Generasi sandwich yang punya uang memiliki kemungkinan selamat melewati pandemi lebih tinggi daripada yang tidak. Saat itu, beberapa dari kita nggak punya kerja, nggak punya tabungan dan relasi, hidup sendiri di perantauan. Maka, saat punya uang, fokus kita hanya pada usaha bertahan hidup.
Saat ini, cara kita memperlakukan uang, kesehatan, waktu luang, dan apa yang kita anggap kebutuhan dasar bisa sangat berbeda antara satu sama lain. Ada yang merasa punya Rp1 miliar bisa bahagia, ada pula yang merasa tak punya utang sudah sangat membahagiakan. Sebagai generasi sandwich yang mesti menanggung banyak orang, punya uang itu setidaknya menyelesaikan separuh masalah.
Generasi saya kerap harus bertahan sendirian. Kami mesti memilih, memprioritaskan diri atau orang lain. Sesederhana misalnya, jika saya lulus kuliah lalu melanjutkan sekolah, berarti harus rela melihat orang tua menderita karena tak punya pemasukan. Langsung bekerja setelah kuliah berarti harus mengorbankan mimpi untuk bisa meraih pendidikan lebih tinggi.
Tentu ada satu dua yang mujur dan bernasib gemilang mendapatkan beasiswa, menemukan kerja paruh waktu sembari kuliah, menghidupi keluarga, sanak famili, sembari menggapai mimpi. Tapi berapa banyak yang bisa mencapai ini? Kerap hidup jadi seperti lotere, beberapa harus bernasib ringsek agar yang lain bisa mujur.
“Jadi punya uang bisa bikin kita bahagia?”
Ya tidak selalu. Bagi saya, punya uang banyak itu menyelamatkan. Misalnya, jika sakit, kamu bisa mengakses layanan kesehatan bermutu dan dokter terbaik. Jika sedih dan cemas, kamu bisa menemui psikolog/psikiater terbaik. Jika bosan dan ingin menghibur diri, kamu bisa pergi liburan ke tempat paling indah.
Punya uang memberimu pilihan. Terkadang, punya pilihan dalam hidup itu adalah kemewahan tersendiri. Makanya, generasi sandwich nggak butuh dukungan moral. Kami butuh uang. Uang yang banyak.
Meski demikian, meski punya banyak uang, kecemasan dan depresi itu universal. Orang paling kaya bisa saja ingin mengakhiri hidup karena depresi dan punya uang nggak nyelesain rasa kosong di dada.
BACA JUGA Repotnya Jadi Generasi Sandwich, Nggak Ngutangi Salah, Nagih Utang Juga Salah! Dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.