Percakapan Pertama
X : Wah, dulu mereka sekadar ribut di medsos, tapi sekarang sudah mulai pada sweeping ke mal-mal. Kalau ada orang Islam yang pakai topi Sinterklas, langsung “ditindaklanjuti”.
Y : Lha emangnya kenapa? Nggak boleh? Bukannya mereka sedang mencari kalau ada juragan toko yang memaksa karyawan muslim pakai atribut yang bukan bagian dari keyakinan Islam? Nggak usah kacamata akidah-akidahan, deh. Mau kacamata hak asasi dalam beragama, pemaksaan dalam memakai atribut semacam itu juga terlarang, kan? Ya kan? Ya kan?
X : Nggg … bukan itunya, sih. Maksudku, apa beneran itu sungguh-sungguh demi mencegah adanya pemaksaan? Kalau iya, apa besok waktu Lebaran mereka pada sweeping juga di stasiun-stasiun TV?
Y : Emange ada apa di stasiun TV?
X : Lah kan para host-nya kalau pas Lebaran juga pada pakai baju koko. Padahal mereka banyak juga tuh yang bukan muslim. Muslim disuruh pakai topi Sinterklas nggak boleh. Kalau non-muslim disuruh pakai baju koko masak boleh?
Y : Lo, ya bedaaaaaa! Baju koko kan cuma baju Melayu. Kebetulan jadi sering dipakai orang muslim. Nggak ada tuh hadis Nabi memerintahkan agar umat Islam memakai baju koko!
X : Topi Sinterklas emangnya nggak gitu, pooo? Itu juga bukan termasuk ajaran Kristen. Nggak ada ritual di gereja yang mensyaratkan pemakaian topi Sinterklas, keleees. Bahkan sebagai bagian dari kisah Bible pun bukan. Sebenarnya itu topi sudah ada di dongeng Eropa kuno sejak jauuuh hari sebelum Yesus lahir. Cuma, ya, kebetulan seiring tradisi Eropa, perayaan Natal memunculkan cerita Sinterklas, lelaki gendut berewokan berbaju hangat merah-putih lengkap dengan topi kontroversial gituan, bersama keretanya yang ditarik rusa-rusa kutub. Itu, tuh, ekspresi budaya, bukan ritual ajaran agama.
Y : Ya tapi, Kak ….
X : Tapi apa? Kalau muslim pakai topi Sinterklas nggak boleh, non-muslim pakai baju koko boleh?
Y : Mmm … anu. Kalau muslim pakai topi Sinterklas, kan, bisa mengganggu keimanannya. Kalau non-muslim pakai baju koko, siapa tahu itu akan jadi jalan hidayahnya ….
X : Omaigat …. Kowe ki pancen ….
Percakapan Kedua
X : Kenapa, sih, cuma topi Sinterklas aja pada dilarang-larang? Ribet amat.
Y : Looo, kan sudah jelas-jelas agama melarang kita menyerupai orang kafir. Itu topi Sinterklas atribut Natal, to? Pura-pura bego ih kamu. Ayolah, buka mata! Tanyakan pada hatimu!
X : Lah, berarti kita nggak boleh main Facebook, dong? Emangnya yang bikin Facebook orang Islam? Zuckerberg itu Yahudi! Kita main Facebook, berarti kita meniru orang Yahudi?
Y : Argumenmu itu basi! Udah sering tuh dipakai sama orang-orang liberal. Makanya, ngaji dulu tentang hadlarah dan madaniyah. Dari situ kita akan bisa membedakan antara produk budaya dan teknologi yang bersifat umum dan yang memuat ideologi tertentu. Namanya Facebook, komputer, mobil, HP, itu jelas semuanya umum saja. Tidak ada muatan pandangan hidup di dalamnya. Tapi, kalau topi Sinterklas, meskipun dia produk budaya, di dalamnya tetap ada muatan ideologi Nasrani. Bedakan sama Facebook, dong!
X : Ooo, gitu. Ya, ya, paham. Lha terus, itu kenapa kamu demen banget sama sepakbola? Sepakbola cikal bakalnya dari ritual pemujaan setan, lo! Itu lebih parah ketimbang topi Sinterklas! Mana kamu tergila-gila sama MU pula. Pakai kaos cap MU ke mana-mana. Emangnya simbol MU setan bawa garpu gede gitu kau pikir simbol restoran? Itu simbol iblis, tau! Lucifer! Kamu menyerupai orang musyrik pemuja setan!
Y : Astagfirullah! Tolong, ya, kamu. Tolong. Kalau mau diskusi ya diskusi aja. Tapi, tolong jangan menyinggung-nyinggung soal MU. Jangan sekali-kali!
X : Oh … maafkan aku. (Terdiam)
Y : Ganti aja contoh lain, yang lebih aman dari potensi konflik horizontal.
X : Hmmm … baeklah. Kita pakai contoh lain. Ini saja. Kamu tahu croissant, kan? Roti croissant yang bentuknya mirip bulan sabit itu? Kenapa itu nggak kalian haramkan?
Y : Lah, emang kenapa? Itu roti bukan dari daging babi. Selama pembuatannya nggak pakai babi, nggak pakai alkohol, ya halal, lah! Jangan coba mengharamkan apa-apa yang sudah dihalalkan Allah, dong!
X : Bukan soal bahannya, Om. Tadi, kan, katamu kita harus membedakan mana produk budaya yang memuat ideologi dan mana yang enggak. Croissant itu bukan sembarang roti, to? Lihat saja sejarahnya. Roti itu dibikin pada mulanya untuk merayakan kegagalan pasukan muslim dari Kekhalifahan Ottoman yang tidak berhasil menaklukkan kota Wina pada tahun 1683. Jadi bentuk bulan sabit pada croissant itu secara khusus merujuk pada simbol Islam dan tujuannya untuk mengejek Islam! Kurang ideologis gimana, coba?
Y : Ah, kamu pasti kebanyakan baca eram*slim dot kom, tuh.
X : Weee, ngasal. Itu cerita justru berasal dari orang Barat sendiri, Alfred Gottschalk. Dia menuliskannya pada buku Larousse Gastronomique, terbit tahun 1938. Belakangan, Alan Davidson mengutip ulang kisah itu pada Oxford Companion to Food yang terbit tahun 1999. Jadi orang Kristen Barat sendiri mengakui kalau croissant itu roti buat menistakan umat Islam! Kenapa nggak diharamkan?
Y : Oh, hmmn … gitu, ya. Baru tahu. Tapi, kalau cuma gitu, sih, solusinya gampang.
X : Apa?
Y : Pas mau makan croissant, potong dulu jadi dua. Atau di-unyet-unyet dibentuk lurus. Jadi bentuknya bukan lagi bulan sabit.
X : Rupamu ….
Percakapan Ketiga
X : Ngapain juga kalian sensi banget sama topi Sinterklas? Iman kalian rapuh amat, cuma lihat topi aja takut murtad. Padahal, kan, itu cuma topi kan, ya? Nggak ngaruh ke hati, laaah.
Y : Ooo, gitu, ya. Lha, terus kamu sendiri kenapa suka sewot tiap kali lihat ada gambar orang merokok? Dikit-dikit minta di-blur, dikit-dikit minta di-blur.
X : Looo, kalau rokok mah bedaaaa! Gimana kalau anak-anak menontonnya? Apa mereka nggak jadi terpengaruh sama tampilan visual rokok, terus tergiur buat ikut-ikutan merokok? Ini anak-anak, lo! Mikir dooong, mikir!
Y : Apa bedanya kalau gitu sama topi Sinterklas? Anak-anakku juga bisa tergiur, kan, lihat topi Sinterklas lucu-lucu gitu. Bisa-bisa mereka kepikiran kalau perayaan Natal tuh seru banget, asyik banget, meriah banget. Gimana kalau terus mereka tertarik pindah Kristen, ha?
X : Aduuuh kamu tuh, ya. Kalau topi mah, ya, cuma topi. Nggak ada bahaya-bahayanya buat kesehatan. Kalau rokok jelas-jelas bahaya buat kesehatan! Baca, tuh, laporan dari LSM ini, LSM itu. Bahayanya jelas. Masak mau kamu bandingin sama topi??? Itu otak apa dengkul?
Y : E e e … kamu bisa aja bilang rokok bahaya dan topi nggak bahaya. Tapi, itu karena kamu liberal sekuler, jadi selalu berpikir kesehatan badan lebih penting ketimbang kesehatan iman. Ini buat keamanan dan kesehatan iman anak-anak kami! Jadi mestinya kalau kamu cemas lihat gambar rokok, kamu cemas juga lihat topi Sinterklas!
X : Alaaaaaa, udah, ah! Palsu! Bilang aja kamu mau ngebelain rokok, cari-cari pembenaran macam biasanya. Dibayar berapa sih kamu sama perusahaan rokok?
Y : Huuu … template ….
Percakapan Keempat
X : Topa topi topa topi. Cuma sama topi aja kok takutnya setengah mati lo. Itu mah cuma aksesori, cuma atribut, cuma pakaian. Parno amat, sih, kamu.
Y : Ow, jadi kalau cuma sama pakaian nggak perlu anti-antian, ya?
X : Ya enggak, laaah. Yang kita takuti itu tindakan, bukan pakaian. Tindakan-tindakan yang intoleran, yang tidak mau mendukung hidup saling berdampingan, yang selalu berpikir bahwa di dunia ini hanya boleh hidup satu macam manusia saja. Harusnya setiap identitas tidak perlu dipermasalahkan selama pemakai identitasnya mau hidup bertetangga dengan saling menjaga kenyamanan.
Y : Hmmm, gitu ya. (Manggut-manggut). Tapi, ngomong-ngomong, kenapa sih kalau sama orang berjubah kamu benci setengah mati? Bukannya jubah juga cuma pakaian?
X : Lo kalau jubah beda dong! Muslim Indonesia tuh harusnya bangga dengan identitas Nusantara! Islam adalah Islam, bukan Arab. Kita bisa jadi muslim yang baik tanpa harus kearab-araban!
Y : Lha topi Sinterklas juga budaya Eropa tuh. Pohon Natal-nya juga bukan ajaran Kristen, tapi tradisi yang bermula dari Jerman di abad ke-16. Kalau orang Islam Indonesia nggak boleh kearab-araban, kenapa orang Kristen Indonesia mesti keeropa-eropaan?
X : Aaah, bodo amat, ah! Udah lebih dari seribu kata nih, entar dibilang kepanjangan sama redaktur Mojok!