MOJOK.CO – Dualisme kepemimpinan hasil KLB Partai Demokrat adalah topik politik terpanas bulan ini. Jika ditanya apa yang sedang terjadi, yang sedang terjadi adalah pepatah Prancis, “Sejarah berulang.”
Di era Orde Baru, PDI yang diakui oleh Istana adalah PDI versi Soerjadi, bukan PDI versi Megawati. Di era SBY, PKB yang diakui oleh Istana adalah PKB versi Cak Imin, bukan PKB versi keluarga Wahid. Dan di era Jokowi, Golkar pun pernah terbelah dua, versi Agung Laksono dan versi Nurdin Halid. Tapi Golkar akhirnya mampu islah dan bersatu kembali di bawah Setya Novanto, dengan lampu hijau Istana tentunya
Setelah Papa Novanto dicokok KPK, Golkar akhirnya tetap solid di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, juga dengan lampu hijau Istana. Setelah Golkar, PPP pun terkena masalah yang sama karena sedari awal kader-kader PPP membagi dukungan ke dua calon presiden kala itu. Para pendukung Romy ada di barisan Jokowi dan barisan Suryadharma Ali memang sedari awal sudah mesra dengan Prabowo.
Kesamaan di ujung cerita untuk semua partai tersebut adalah yang berhasil meyakinkan Istana akhirnya menjadi partai bertahan. Selama masa Orde Baru, PDI versi Megawati adalah partai bawah tanah, sampai terjadi peristiwa Juli 1996. Di era SBY, Cak Imin menjadi tokoh yang akhirnya dipegang oleh SBY dan dipercaya duduk di kabinet. Hasilnya, PKB versi Cak Imin adalah PKB yang berlaga di pemilihan selanjutnya.
Begitu pula dengan Golkar, yang memang tak pernah terbiasa di luar kekuasaan. Siapa pun kubu yang bersitegang di dalam Golkar, pada akhirnya yang berhasil menjadi soulmate Istana akan menjadi pemilik partai. Dialah Airlangga Hartarto di hari ini. Hal yang sama dialami oleh PPP saat versi Romy adalah yang diakui rezim Jokowi, sebelum Romi dicokok oleh KPK dan tampuk kekuasaan berlanjut kepada figur PPP lain yang duduk di dalam kabinet.
Pun di era SBY, Jusuf Kalla juga berhasil menduduki Golkar setelah menjadi wakil SBY di Istana. JK keluar dari konvensi capres dari Partai Golkar tahun 2004 untuk langsung mendampingi SBY di pemilihan presiden. Tak terelakkan, dukungan Golkar pada calon presiden hasil konvensi ketika itu, Wiranto, terpecah. Wiranto terbukti kalah di laga pemilihan presiden, JK berjaya. Tak lama setelah menjabat wakil presiden, JK berhasil menduduki posisi ketua umum, sampai digantikan oleh Aburizal Bakrie yang kemudian membuat Surya Paloh keluar dari Golkar dan mendirikan Nasdem.
Juga di era SBY, pernah ada upaya untuk sedikit menggoyang PDIP dengan mendukung Alm. Taufiq Kiemas menjadi ketua MPR di periode kedua kepresidenan SBY. Tapi upaya tersebut diyakini bukanlah bagian dari strategi pecah-belah SBY terhadap PDIP. Banyak yang memandang upaya itu sebagai langkah strategis SBY untuk berbaikan dengan Megawati, karena di pemilihan 2014, SBY sudah tidak bisa lagi berlaga di dalam pemilihan presiden. Setidaknya, SBY berhasil mengajak Megawati bersama menyambut kedatangan Obama kala itu, sebagai simbol perdamaian kedua figur, walaupun bersifat sangat taktis-temporal ketimbang strategis.
Jadi, dalam kerangka historis, apa yang dialami oleh Partai Demokrat sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelum terjadi KLB versi Moeldoko dan Marzuki Alie, goncangan yang dialami oleh Partai Hanura dan Berkarya juga dimaknai oleh banyak pihak sebagai peristiwa yang menyiratkan pengambilalihan partai dari pendiri atau tokoh utamanya, yang digadang-gadang didukung secara diam-diam oleh Istana, minimal orang-orang tertentu di Istana. Seperti Wiranto di Hanura dan Tommy Soeharto di Berkarya.
Memang Wiranto dan Hanura adalah bagian dari pemerintahan Jokowi, tapi keberadaannya di kabinet periode pertama acap kali dipertanyakan. Dan terbukti di periode kedua, nama Wiranto sudah tak bercokol lagi di kabinet, walau Luhut tetap bertahan. Sementara Tommy jelas-jelas adalah figur yang tidak diinginkan oleh partai penguasa, terutama PDIP, karena sejarah panjang yang tak perlu diceritakan lagi.
Peristiwa-peristiwa kepartaian semacam itu memperjelas positioning parpol di Indonesia. Parpol adalah aktor utama dalam perwujudan representasi politik demokrasi karena memang konsepsi idealnya demikian. Tapi parpol di Indonesia bukanlah representasi utama suara pemilih. Parpol di Indonesia adalah kavling suara para oligark politik, yang merepresentasikan kepentingan ekonomi politik dan kehausan kekuasaan. Parpol adalah perwakilan kepentingan Teuku Umar, Cikeas, Hambalang, Cendana, dan beberapa oligark kecil. Itulah yang terjadi.
Para oligark ini tidaklah statis, tapi dinamis. Yang menguasai Istana hanya satu, tapi biasanya didukung oleh satu atau dua oligark lainya, dengan konsesi-konsesi yang hanya bisa dirasakan pakai perasaan, tapi sulit dibuktikan secara faktual. Satu atau dua oligark akan berada di luar, mempersiapkan diri sembari menunggu giliran untuk masuk gelanggang, lalu menang. Itulah yang sedang dijalankan oleh SBY dan Cikeas, yakni sedang bersiap-siap untuk melanjutkan estafet kekuasaan SBY yang terputus di tahun 2014, ke tangan AHY, yang diperkirakan akan berlaga di tahun 2024 dan 2029.
Persiapan untuk AHY tentu akan mengganggu, bahkan mengancam, persiapan Puan Maharani, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, Airlangga Hartarto, dan bahkan Gibran Rakabuming. Di mana posisi Moeldoko? Moeldoko baru sedang merintis menjadi salah satu oligark yang diakui selevel dengan oligark mapan lainya. Jika Moeldoko hampir sukses, Gatot Nurmantyo adalah contoh hampir gagalnya, yang juga pernah berjuang menyejajarkan diri sebagai salah satu oligark.
Beberapa tahun di Istana sebagai Kepala Staf Kepresidenan ternyata tak membuat namanya muncul di jajaran kabinet Jokowi jilid II. Jadi dengan menjadi ketua umum Partai Demokrat versi KLB Sumut, setidaknya kini posisi Moeldoko sudah selevel dengan SBY. Kini Moeldoko adalah ketua partai, walaupun posisinya masih magang, sampai keputusan pengadilan ditetapkan.
Tapi setidaknya, munculnya Partai Demokrat versi Moeldoko dan AHY akan mengacaukan fondasi politik Cikeas. Rencana strategis untuk mengantarkan AHY ke Istana pun boleh jadi kini sangatlah terancam. Terlepas dari kepentingan politik personal Moeldoko, setidaknya langkahnya akan sangat disenangi oleh Puan Maharani, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan termasuk Gibran, karena akan menghilangkan potensi perlawanan dari tokoh sekaliber AHY di tahun 2024. Dan bagi Jokowi, jika AHY tamat, daya tawar Gibran akan jauh lebih besar ketimbang daya tawar AHY di tahun 2024 atau 2029, yang berarti sangat bagus untuk trah Jokowi, yang juga sedang membangun basis keoligarkiannya sendiri.
Jadi pendek kata, bagi masyarakat umum, biarkan sajalah para oligark ini, baik yang lama maupun yang baru, atau calon oligark lain yang belum muncul, bertarung sesuka hati mereka. Siapa pun pemenangnya, kenikmatan pertama tetaplah menjadi milik oligarki, bukan milik rakyat banyak. Walaupun dari sejarah pertengkaran partai yang pernah terjadi peluang AHY mendadak menjadi tipis, sebenarnya siapa pun pemenangnya, baik oligark baru besutan Istana yang bekerja sama dengan komprador-komprador Partai Demokrat, ataupun oligark lama dari Cikeas, hasilnya tak jua akan mengubah keadaan rakyat.
Jadi, tonton sajalah. Sesekali kasih tepuk tangan, teriakan uuuuuu, acungan jempol atau jari tengah, boleh juga sembari makan popcorn, tapi secukupnya saja, layaknya penonton. Itu lebih baik.
BACA JUGA Moeldoko Terpilih Sebagai Ketum Partai Demokrat Versi KLB, Geger Geden Dimulai dan esai-esai Ronny P. Sasmita lainnya.