MOJOK.CO – Sebagai seorang tokoh yang gerakan ambil nafasnya pun hati-hati sekali, “curhat” SBY di YouTube belakangan perlu direken betulan sama Jokowi.
Ibarat musafir menemukan oase di tengah padang gurun, mungkin itulah yang dirasakan rakyat Indonesia ketika menonton video berjudul “SBY Ngobrol Santai Perkembangan Terkini” di kanal YouTube channel Susilo Bambang Yudhoyono.
Rakyat yang belakangan cukup dikecewakan dengan berbagi kebijakan Jokowi, rasanya menemukan sosok yang dapat mengerti perasaan mereka. Yah, paling tidak untuk barang sejenak.
Sebentar, sebentar, kamu tidak percaya dengan apa yang saya katakan? Hm, pasti itu karena kamu belum menonton video berdurasi 25 menit 11 detik di channel Susilo Bambang Yudhoyono (oke, nama channelnya emang nggak kreatif) tersebut.
Dalam video itu, berbeda dengan gaya Jokowi yang suka spontan dan kadang harus berpikir sejenak sebelum mengatakan sesuatu, SBY dalam mencurahkan isi hatinya lebih formal dan tenang dalam menyusun kata-kata. Suara yang keluar pun terdengar rapi, teratur, dan dalam.
Tak lupa, publik disegarkan kembali dengan gestur-gestur SBY saat berbicara. Mulai dari melipat tangan di dada, memegang satu bagian dada dengan telapak tangan (menunjuk ke hati), dan juga beberapa kali membetulkan posisi duduknya. Sangat memorable.
Meski bertajuk “ngobrol santai”, rasa-rasanya tayangan tersebut nggak santai-santai amat.
Iya dong, marwah mantan presiden RI harus dijaga dengan benar. Nggak mungkin kita berharap Pak SBY pakai kaos oblong, ngangkat kaki di atas kursi, rambut acak-acakan ala fakboi, rokok di tangan. Tidak, tidak, hilangkan imajinasi liarmu itu.
Dengan rambut tertata klimis dan outfit rapi, SBY memberikan banyak penjelasan. Terutama, tentang tuduhan akun-akun bodong yang mengatakan bahwa Cikeas dan Demokrat adalah dalang aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berlangsung beberapa hari lalu.
Baiklah, kita patut mengapresiasi kemunculan SBY di tengah hiruk pikuk pemberitaan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terlebih, sudah sembilan bulan, menurut pengakuannya, SBY tak pernah berurusan dengan politik praktis.
Tentu hal ini dapat kita pahami. Salah satu penyebabnya, adalah kepergian mendiang Ibu Ani Yudhoyono. Selain itu, SBY juga sedang menyelesaikan sebuah memoir yang menceritakan perjalanan kisah pribadi, keluarga, maupun kariernya di bidang militer dan politik.
Sebagai seorang tokoh yang gerakan ambil nafasnya pun memiliki arti, tentu setiap statement beliau perlu dimaknai secara politis. Statement yang tentunya nyambung dengan sikap Partai Demokrat tersebut, dapat dimaknai sebagai kode keras (semi curhat) dari pihak oposisi bagi Pemerintahan Puan Maharani Jokowi saat ini.
Apa saja kode keras tersebut? Ini dia beberapa di antaranya.
Pertama, jurus “saya prihatin”
Mereka yang pernah hidup di era pemerintahan SBY, pasti sudah sering mendengar beliau mengucapkan kata-kata sakti, “Saya prihatin.” Kata-kata tersebut diucapkan saat ada bencana, atau kasus yang menjerat politisi/petinggi negara, maupun saat dirinya dihujat dan dimaki para lawan politik.
Laku prihatin sejatinya perlu juga dimiliki oleh presiden dan para pembantunya, terutama pada era pandemi saat ini. Lebih baik prihatin pada nasib rakyat, daripada hanya perhatiin nasib investor.
Ya memang sih, suara keras itu kalah dengan potensi uang deras. Semua orang tahu itu. Tahu kok.
Kedua, tabayun dong
SBY sudah kenyang pengalaman dituduh menggerakkan massa untuk menggoyang Pemerintahan Megawati, eh, Jokowi. Contohnya, beliau menceritakan dalam video curhat santainya itu, pada tahun 2016 SBY pernah dituduh menjadi dalang aksi 4 November, yang juga dikenal dengan gerakan 411. Suatu tuduhan yang begitu serius.
Sampai-sampai, beliau harus bertabayun langsung face to face dengan Presiden Jokowi. Di sini SBY sebenarnya sedang nyentil pemerintah dan anggota DPR yang terhormat. Daripada bersuudzon bahwa rakyat mengalami disinformasi tentang Omnibus Law dan belum membaca isi UU tersebut, apa susahnya bertabayun lebih dulu?
Misalnya, Pak Jokowi blusukan lagi kayak dulu ketika masih gubernur atau wali kota. Tanyain warganya di jalan, setuju nggak dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, sembari berdialog dengan “bahasa rakyat”.
Atau kalau nggak ada waktu selo, Jokowi bisa minta tolong Gibran yang lagi sibuk di lapangan.
Bran, Gibran, bapakmu boleh nggak sekalian nitip pertanyaan? Mumpung kamu sekarang masih semangat-semangatnya mau blusukan yaaa kan?
Ketiga, pengalaman adalah guru terbaik
Beberapa kali dalam video itu SBY mengatakan, “Saya kan pernah jadi Presiden,” atau, “Saya kan pernah mengalami…”.
SBY mengatakan, dirinya dan Partai Demokrat bukannya menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR ini, tapi lebih ke mencari potensi suara rakyat untuk pilkada memperhatikan bagaimana keluhan suara rakyat.
Saat berkuasa dahulu pun, SBY mengharapkan berbagai peningkatan di bidang ekonomi. Namun, kebijakan-kebijakan yang dibuatnya tidak hanya menguntungkan satu dua pihak, tapi semua elemen masyarakat.
Dari pernyataan tersebut, SBY sebenarnya ingin mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Oleh karena itu, ini kode keras bagi Pemerintahan Jokowi agar bertanya pada orang yang berpengalaman.
Hawong AHY saja bisa jadi Ketua Umum Demokrat berkat pengalaman SBY kok. Apa nggak sangar itu? Yang punya pengalaman siapa yang jadi ketua siapa. Hambok ya Jokowi itu mau untuk belajar dari presiden pendahulunya ini.
Ya minimal, bisa menimba ilmu tentang ilmu membangun politik dinasti atau ilmu membangun candi.
Keempat, ngobrol santai bareng lebih baik daripada ngomong sendiri
Pada 9 Oktober 2020, Jokowi pernah menjelaskan tentang disinformasi yang ada di masyarakat perihal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sayangnya, penjelasan tersebut dilakukan hanya melalui pidato satu arah saja (monolog).
Sedangkan pada 11 Oktober 2020 (seperti keterangan di channel YouTube Susilo Bambang Yudhoyono), SBY mengadakan acara ngobrol santai. Dari cara dua video ini hadir, ada perbedaan yang mencolok dan seharusnya bikin Jokowi muhasabah alias evaluasi diri.
Bila dulu SBY suka tampil sendirian, kali ini dia berbeda. Blio menggunakan format perbincangan dua arah (dialog). Dan ini cukup baru. Bukan seperti gaya SBY yang kita kenal dari dulu.
Walaupun sepertinya yang bertanya dalam video hanya satu orang dan kelihatan settingan, tetap saja SBY ingin memberi pelajaran bagi para penguasa, bahwa kalau mau bicara itu, baiknya lebih mengutamakan dialog. Bukan satu arah doang.
Rakyat itu perlu didengar, diberi kesempatan untuk bertanya dan bicara. Bukan cuma diperas tenaganya, dikeruk sumber daya alamnya, lalu dikasih kartu pra-kerja seolah itu bisa selesaikan semua masalahnya.
Jadi Pak Jokowi, tolong plis kasih tahu juga itu Mbak Puan Maharani dan Ibu Megawati, kami ini juga manusia. Bukan statistik angka yang hanya berguna kalau sedang ada pilkada buat suara partai kalian saja.
BACA JUGA 4 Alasan Puan Maharani Adalah Ketua DPR RI Terbaik Sepanjang Sejarah dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.