Well, John misses the point soal krisis keuangan 2008. Cina sudah nyaris mengikuti pattern negara kapitalis sampai 2008. Di era Hu Jintao, kebebasan pers dan berekspresi mulai terlihat. Tapi krisis 2008 mengubah segalanya. Setelah krisis finansial global, mereka mendapati sistem kapitalisme ternyata cacat dari dalam.
Saat pertemuan SED (Society for Economics Dynamic) di Annapolis, Merryland, Amerika pada 2008, Wang Qishan, salah satu tangan kanan Xi yang kemudian dipakai untuk eksekusi kampanye antikorupsi, menyampaikan kekecewaannya kepada Hank Paulson, yang kala itu masih menjabat sebagai secretary of state era Bush Yunior.
“You were my teacher, but now here I am in my teacher’s domain, and look at your system, Hank. We aren’t sure we should be learning from you anymore“, ucap Wang.
Dialog tersebut ditulis sendiri oleh Hank Paulson dalam buku semi biografinya, “On the Brink of Collapse“, terbit 2009 lalu. Ya, di sanalah titik the turning point of Cina.
Kembali ke keseimbangan
Jadi, pada akhirnya, semua akan kembali kepada posisi semula. Cina tentu akan kembali kepada sosialisme. Tapi, itu bukanlah hal baru tentunya. Deng Xiaoping adalah communist believer. Tak ada yang meragukannya. Deng telah bersama Mao selama bertahun-tahun. Pembasmian gerakan mahasiswa pada 1989 (Tiananmen Square Massacre) adalah perintah langsung dari Deng, setelah Zao Ziyang menolak memberlakukan martial law pada 1989.
Yang dilakukan Deng dalam konteks kebijakan ekonomi adalah pragmatisme politik. Selama kapitalisme bisa membuat orang mereka kaya, ya why not. Tapi untuk menjadi democratic state, saya yakin jawaban Deng adalah no. Dan Xi adalah perpaduan Mao, Deng, dan Emperor of Ming Dynasty. Tak ada demokrasi di sana.
Nah, jika track-nya kembali ke gaya lama, maka kembali kepada kelemahan masing-masing di satu sisi dan meruncingnya perbedaan kepentingan ekonomi politik antara dua kubu di sisi lain. Pepatah lama akan berlaku kembali. “Masalah pada sosialisme adalah sosialisme itu sendiri. Dan masalah pada kapitalisme adalah para kapitalis itu sendiri.”
Jadi, sangat bisa dipahami mengapa salah satu pemikir New Dealer yang juga dianggap sebagai salah satu anggota brain trust FDR, Raymond Moley, profesor politik Columbia University kala itu mengatakan bahwa FDR menyelamatkan Amerika dari para kapitalis, bukan dari sosialis (konteksnya Great Depression).
Perang?
Lantas, kalau Cina kembali kepada sosialisme-komunisme-marxisme, apakah mereka akan berperang dengan Amerika? Menurut profesor dari Harvard University, Graham Allison, Cina dan Amerika ditakdirkan untuk berperang. Judul bukunya beberapa tahun lalu berbunyi Destined for War menjelaskan pandangan Graham.
Asumsi dasarnya adalah Thucydides Trap. Raising power biasanya akan berperang dengan super power. Tapi, menurut mantan PM Australia, Kevin Rudd, masih banyak jalan agar keduanya tidak berperang. Judul bukunya yang terbit beberapa bulan lalu memberi gambaran mengapa kesimpulannya demikian, yakni Avoidable War (2022). Interdependence economy menjadi alasan utamanya.
Tapi apa saja teorinya, tulis editorial majalah The Economist beberapa waktu lalu, perang atau tidak, semua akan tergantung pada satu orang, yakni Xi. Isi kepala Xi adalah penentu apakah Cina akan berperang atau tidak dengan Amerika dan dunia Barat. Kalau Xi, misalnya, bersikeras dan memaksa untuk keluar dari pakem “status quo” (misalnya memaksa menganeksasi Taiwan atau menguasai sepenuhnya Laut Cina Selatan), maka pada ujungnya akan ada peperangan.
Hitam dan putih dunia bukan di tangan Tuhan
Karena itu, salah seorang kawan saya belum lama ini berkelakar bahwa katanya, doa para pecinta damai hari ini semestinya berbunyi “Semoga Tuhan selalu membimbing Xi Jinping.”
Dan dengan iseng saya menanggapi, “Bukankah sudah sejak lama di Cina, Tuhan dilarang?”
Kemudian kami pun terbahak nyaris bersamaan, karena hitam putih dunia ada di tangan Xi, bukan di tangan Tuhan.
BACA JUGA Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? Dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno