Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Politik
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Politik
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Beranda Esai

Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina?

Kokok Dirgantoro oleh Kokok Dirgantoro
20 Juli 2016
0
A A
Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? MOJOK.CO

Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? MOJOK.CO

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Saya sejatinya kerap heran mengapa masyarakat di negeri ini gemar menyudutkan Cina. Kendati Cina yang dimaksud di sini adalah warga keturunan yang sudah lebih dari tujuh turunan tinggal di Nusantara.

Sekitar enam sampai tujuh tahun lalu, saya bersama klien melakukan sidak pembangunan jalan tol di konsesi ruas yang dimilikinya. Saya duduk depan sebelah supir, di belakang duduk Project Manager (PM) dan Dirut jalan tol. Ketika mobil tiba di dekat lahan yang sudah melalui proses pematangan lahan dan siap masuk masa konstruksi, tampak ada enam orang sedang duduk-duduk

PM meminta sopir berhenti dekat enam orang yang jelas juga pekerja di jalan tol tersebut. Dia pun segera turun, sementara saya menurunkan kaca mobil untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

PM: “Heh, bajingan kalian semua! Malah seenaknya duduk duduk. Sudah berapa hari telat konstruksinya?”

(Marah dengan muka serius)

Pekerja: “Apa maksudmu? Kita lagi bicara ngatur pasokan buat konstruksi!”

Baca Juga:

pilkada 2024

Manuver Anak-anak Jokowi di Pilkada 2024

25 Januari 2023
ganjar pranowo pilpres

Survei LSI: Ganjar Pranowo Unggul Ditopang Fans Jokowi 

25 Januari 2023

(1 orang berdiri, diikuti 5 lainnya).

Pembicaraan kian panas terkait target penyelesaian konstruksi dasar. Suplai timbunan, batu split, dan lain sebagainya. Saya cukup was-was dengan keselamatan PM. Mata saya refleks mencari spot di mana banyak balok kayu atau batu. Saya juga menyelipkan anak kunci di sela-sela ruas jari kepalan untuk berjaga-jaga. Ketika saya hendak turun, klien saya yang tidak turun mobil menahan.

“Sudah, tidak usah turun. Cara komunikasi di lapangan saat deadline ketat memang seperti itu. Aman kok,” kata Pak Dirut. Dan benar, tak lama PM balik ke mobil dengan langkah santai.

“Beres, Bos, yang tahapan di seksi ini bisa terkejar sesuai jadwal,” ujar PM dengan enteng.

Itu adalah pengalaman yang saya temui di pembangunan infrastruktur. Kalau mau jujur, beberapa tahun lalu pula saya pernah berkomunikasi sekasar itu ke tim saya untuk mempertahankan kualitas kerja.

Itulah komunikasi di lapangan yang kondisinya sungguh kejam. Yang pasti, kita akan bisa kelola risiko keributan di proyek ketika kita saling mengenal satu sama lain. Mengerti bahasa, mengerti teknis, dan menyepakati tenggat.

Alhamdulillah, sekarang saya bisa sedikit lebih lembut. Sedikiiit banget, ya sekitar satu sampai dua persen laaahhh perubahannya.

Kita tahu, Indonesia tengah mengejar pembangunan infrastruktur di segala bidang. Bandara, kereta api, pelabuhan, bendungan, pembangkit listrik, jalan, dan sebagainya. Listrik 35 ribu MW dan transmisinya saja bakal menelan Rp1.100 triliun, satu bendungan besar bisa menghabiskan Rp5-7 triliun, dan bakal ada 49 bendungan besar. Ruas jalan tol per km bisa menghabiskan investasi di atas Rp45 miliar.

Semua dilakukan untuk menurunkan biaya logistik yang sudah 26-28% atas PDB. Beban yang harus dipikul masyarakat dan terefleksi dalam ketimpangan harga komoditas di seluruh Indonesia. Berikutnya adalah untuk menyerap tenaga kerja. Proyek-proyek infrastruktur tersebut menyedot quarry nasional berupa pasir, batu, semen, baja, sekaligus tenaga kerja yang luar biasa banyak.

Itulah pembangunan infrastruktur. Pendanaan tak cukup. Investor asing harus diundang dari berbagai negara. Rp7-8rb triliun terlalu berat untuk dipikul BUMN dan swasta nasional.

Nah, salah satu negara yang cukup banyak mengerjakan proyek-proyek pembangkit listrik dan infrastruktur lainnya di remote area adalah Cina. Sebab itulah, cukup valid memang jika banyak pekerja dari Cina yang datang ke pelosok untuk bekerja. Hal ini yang kerap menjadi perdebatan di linimasa media sosial; tentang mengapa membuka lowongan pekerjaan untuk negara lain padahal pengangguran di dalam negeri banyak.

Kembalilah baca artikel ini dari atas.

Pembangunan infrastruktur dengan super deadline, apalagi di remote area, tentu tak lepas dari caci maki di lapangan. Kata-kata “kebun binatang” bakal bertaburan untuk melecut semangat dan energi para pekerja. Ini bukan pekerjaan bidang hospitality yang adu manis satu sama lain. Atau politik kantor yang cuma modal nyinyir-nyinyiran dan beradu konsep di atas kertas. Ini infrastruktur dasar yang sungguh kejam komunikasinya. Dunia keras yang tidak semua orang mampu menghadapi.

Saya tak bisa membayangkan jika seluruh proyek infrastruktur yang menjadi program pemerintah, seluruhnya harus dikerjakan dan dibiayai anak negeri. Entah kapan selesainya. Atau seorang investor Cina membangun pembangkit di pelosok harus memperkerjakan orang Indonesia untuk proyeknya. Sudah pasti ada kendala bahasa dan susah sekali untuk melecut dengan kata-kata kasar, karena bakal ada benturan budaya, atau malah bahkan kerusuhan.

Rasanya hal seperti ini terjadi di seluruh dunia. Seperti, misalnya, bagaimana sesama kulit hitam biasa saling sapa: “Hey yo, what’s up my nigga…” lalu tos satu sama lain. Bayangkan kalau orang kulit putih yang menyapa dengan cara demikian ke orang kulit hitam, kerusuhan rasial bisa terjadi. Dalam konteks tersebut, dunia memang tidak ideal, dan kita harus menghadapinya.

Saya melihat jumlah angka TKA (Tenaga Kerja Asing) asal Cina yang kemarin diposting akun Twitter Kemenaker. Jumlahnya sekitar 20 persen dari total TKA berbagai negara. Jumlah totalnya hanya 70rb. Sangat tidak signifikan dibandingkan jumlah TKI Indonesia di seluruh belahan dunia, apalagi dengan jumlah angkatan kerja. Namun demikian, justru saya melihat, TKA Cina ini sangat membantu pembangunan infrastruktur dasar cepat selesai untuk beberapa kasus.

Masalah pendatang haram, tentu sudah pasti ada. Dari bertahun-tahun lalu (tidak cuma era Jokowi) Indonesia sudah sering mendeportasi banyak pekerja, termasuk dari Cina. Tahun-tahun ke depan, Kemenaker dan imigrasi pasti akan kian sibuk karena Cina akan banyak membangun infrastruktur di Indonesia.

Sudah barang tentu pendatang haram akan mendompleng. Aturan musti diperketat, hukum musti ditegakkan. Yang pasti, 10 juta TKA Cina adalah jumlah yang sungguh berlebihan.

Terlepas dari itu semua, saya sejatinya kerap heran mengapa masyarakat di negeri ini gemar menyudutkan Cina. Kendati Cina yang dimaksud di sini adalah warga negara Indonesia keturunan Cina yang mungkin sudah lebih dari tujuh turunan tinggal di Nusantara.

Pasca 1965, banyak warga keturunan Cina dituduh simpatisan Komunis. Ketika komunis sudah habis dan 1998 kerusuhan, keturunan Cina lagi yang dipersalahkan. Saat ini pun banyak yang terus mengobarkan kebencian rasial terhadap keturunan Cina. Salah satu yang paling sering didengungkan: koruptor BLBI adalah keturunan Cina.

Saya coba ingatkan, satu konglomerat jahat membutuhkan banyak pihak untuk merealisasikan niat jahatnya. Banyak oknum eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat hukum dan sebagainya terlibat. Satu pengusaha jahat (keturunan Cina atau tidak) membutuhkan ratusan bahkan ribuan antek pribumi. Apakah antek-antek ini tak memikul dosa yang sama?

Setiap ada tender yang menang Cina, selalu dinyinyiri “apa-apa kok Cina”. Lalu karyamu apa? Mampu membangun pembangkit listrik skala 100 MW di pelosok? Mampu membangun 4×100 MW pembangkit tenaga batu bara sekaligus mengamankan supply-nya? Apa yang sudah kamu lakukan?

Jika memang banyak pengangguran yang tak bekerja, mengapa tak mendorong pengangguran mengubah nasibnya dengan mendesak pemerintah memasukkan tenaga lokal bekerja membangun infrastuktur di pelosok dan bersaing dengan TKA dari berbagai negara?

Boro-boro bersemangat wirausaha untuk mengurangi pengangguran, paling para pengangguran itu cuma pilih numpang hidup ke orang tua sembari cari wifi gratisan untuk nyinyiri pemerintah yang tak sanggup mencarikannya pekerjaan.

Malu sama tukang cendol yang hidup mandiri. Tapi ya begitulah. Lewat media sosial, orang yang tiap hari kerjanya cuma jadi kacung kampret bisa bergaya sangat vokal dan peduli dengan negerinya. Dikira nasib rakyat bisa berubah hanya dengan gerakan jempol.

Satu hal lagi yang saya sungguh sulit mengerti. Membangun dengan uang APBN ada keterbatasan. Menggunakan PMN untuk BUMN agar bisa mendapat proyek infrastruktur yang strategis dan pay back period cepat juga tak mudah.

Hal ini lantas dinyinyiri: Harusnya APBN untuk rakyat miskin. Menarik investor untuk membangun infrastruktur pun juga dianggap menjual negara dan tak memberikan anak negeri kesempatan. Lalu apa sih yang diinginkan sebetulnya? Diam-diam sim salabim abra kadabra semuanya tersedia?

Saya juga concern dengan pembangunan infrastuktur, dan tak seluruhnya saya setuju. Saya menuliskannya beberapa kali, namun saya mendukung pembangunan infrastruktur menjadi the name of the game dalam satu dekade mendatang. Tentu dengan berbagai catatan, terutama menimimalisasi pelanggaran HAM dan alih fungsi lahan tanpa solusi berkelanjutan.

Kelucuan-kelucuan kian dahsyat ketika seseorang bertanya ke saya apakah utang-utang era Jokowi ini akan seperti BLBI era Megawati? Wow, sungguh pertanyaan yang sungguh vokal lagi kritis.

Biasanya, saya menjawab pertanyaan tersebut dengan balik bertanya: Sejak kapan BLBI ada di era Megawati? BLBI itu berapa triliun sih? Tunai atau bentuknya obligasi? Namun, bukannya mendapat jawaban yang meyakinkan, suasana justru mendadak senyap dan berakhir dengan klise yang dangkal itu:

Orang tersebut menuduh saya neolib atau antek Jokowi.

Life.

BACA JUGA Sebenarnya Keturunan Cina itu Orang Indonesia atau Bukan? dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 27 Februari 2021 oleh

Tags: cinaIndonesiainfrastrukturjokowineolibpekerjatenaga kerja asing
Kokok Dirgantoro

Kokok Dirgantoro

Artikel Terkait

pilkada 2024
Kotak Suara

Manuver Anak-anak Jokowi di Pilkada 2024

25 Januari 2023
ganjar pranowo pilpres
Kotak Suara

Survei LSI: Ganjar Pranowo Unggul Ditopang Fans Jokowi 

25 Januari 2023
Cak Nun Salah, Jokowi Bukan Firaun karena Firaun Tidak Setuju UU Cipta Kerja MOJOK.CO
Esai

Cak Nun Salah, Jokowi Bukan Firaun karena Firaun Tidak Setuju UU Cipta Kerja

21 Januari 2023
uu pprt mojok.co
Kotak Suara

Jokowi Desak RUU PPRT Disahkan, Mandek 19 Tahun Lamanya

20 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Antara Sastra, Sejarah, Tionghoa, dan Papua

Antara Sastra, Sejarah, Tionghoa, dan Papua

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak yang Dihujat Warganet - MOJOK.CO

Suara Hati Pak Bukhori, Penjual Nasi Minyak Surabaya yang Dihujat Warganet

24 Januari 2023
PO Haryanto Bikin Perjalanan Cikarang Jogja Jadi Menyenangkan MOJOK.CO

PO Haryanto Sultan Bantul Bikin Perjalanan Cikarang-Jogja Jadi Sangat Menyenangkan

27 Januari 2023
Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina? MOJOK.CO

Mengapa Kita Selalu Nyinyir dengan Cina?

20 Juli 2016
Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Suara Hati Petani di Gunungkidul Karena Monyet yang Marah Kena JJLS

Suara Hati Petani di Gunungkidul karena Monyet yang Marah Kena JJLS

26 Januari 2023
warung madura mojok.co

Tiga Barang Paling Laris di Warung Madura Menurut Penjualnya

27 Januari 2023
kecamatan di sleman mojok.co

5 Kecamatan Paling Sepi di Sleman yang Cocok untuk Pensiun

27 Januari 2023

Terbaru

jumat curhat mojok.co

Polda dan Polres Gelar ‘Jumat Curhat’ untuk Wadah Uneg-uneg Warga

1 Februari 2023
remaja ktd sumedang

Siswi di Sumedang yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan Boleh Kembali Sekolah

1 Februari 2023
500 Triliun Anggaran Kemiskinan Cuma Dipakai Rapat dan Studi Banding Doang?

500 Triliun Anggaran Kemiskinan Cuma Dipakai Rapat dan Studi Banding Doang?

1 Februari 2023
kemiskinan di diy mojok.co

Pakar UGM Mempertanyakan Garis Kemiskinan di DIY

1 Februari 2023
wali kota semarang

Wali Kota Perempuan Pertama Kota Semarang Langsung Dapat PR dari Megawati

1 Februari 2023
awal bulan puasa mojok.co

Muhammadiyah Tetapkan Awal Bulan Puasa 23 Maret, Bagaimana Cara Penentuannya?

1 Februari 2023
bacaleg pks

PKS Terima Bacaleg Non-Kader, Banyak Juga yang Non-Muslim

1 Februari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Pojokan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In