Terpaksa belanja
Ketika harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan, masyarakat, terutama kelas menengah tetap terpaksa membelanjakan uang mereka dengan mengorbankan konsumsi kebutuhan non-esensial. Contoh barang non-esensial ya pakaian, gadget, hiburan, makan di restoran, dan sejenisnya.
Jadi, di sini ada relokasi pengeluaran. Sebelumnya secara khusus untuk barang non-esensial/pokok, dialihkan hampir seluruhnya kepada barang pokok saja. Total konsumsinya tetap naik karena harga kebutuhan pokok mendorong belanja tetap tinggi.
Tapi, bioskop masih ramai, tuh? iPhone masih banyak yang beli. Tiket konser masih banyak yang justip.
Pertanyaannya, transaksi itu volumenya berapa persen kalau kita membandingkannya dengan total seluruh transaksi masyarakat Indonesia? Data Susenas BPS menyebutkan kalau persentase-nya nggak lebih dari 2% saja. Inilah yang namanya lipstick efek. Terlihat mencolok dan mewah, tapi pada dasarnya bobrok.
Argumen lainnya adalah data dari BI yang menyebutkan kalau penjualan ritel itu tumbuh, tapi lebih tinggi di barang kebutuhan pokok daripada diskresioner. Kesimpulannya, pertumbuhan konsumsi memang positif secara kuantitatif, tapi nggak berbanding lurus dengan kualitas konsumsinya. Ya karena nggak cukup untuk mendorong peningkatan kualitas hidup. Sudah makin skeptis sama data BPS?
Mengenai Kontribusi Manufaktur
Konon, dari sisi produksi, industri manufaktur masih menjadi motor utama pertumbuhan. Kontribusinya sebesar 18,67% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nah, benarkah angka tersebut diimbangi dengan implikasi yang signifikan di sektor riil?
Sekarang, kita bisa menjadikan Purchasing Managers Index (PMI) untuk melihat kinerja manufaktur. Ini tuh indikator yang menggambarkan sehat atau enggaknya pabrik-pabrik di Indonesia.
Indikator ini diperoleh dari survei ke para manajer di perusahaan manufaktur (industri pengolahan). Misalnya, ke pabrik makanan, tekstil, elektronik, dan sebagainya.
Kalau nilai PMI di atas 50, artinya pabrik-pabrik sedang naik (banyak pesanan, banyak produksi). Kalau di bawah 50, artinya sebaliknya. Mudahnya, PMI ini semacam “rapor bulanan” yang memberi tahu apakah dunia industri sedang sibuk atau justru lagi sepi.
Nah, PMI Indonesia menurut S&P Global dari bulan April hingga Juni tuh cuma 49. jadi, ya nggak tembus 50. Artinya, kinerja manufaktur kita buruk.
Penyebabnya karena turunnya pesanan baru, baik domestik maupun mancanegara, output permintaan menurun, tekanan harga input atau biaya produksi tinggi, dan efisiensi tenaga kerja. Kalau seperti ini, bisa diartikan pertumbuhan PDB manufaktur boleh jadi nih malah ditopang oleh subsektor tertentu saja. Misalnya, makanan-minuman, sementara mayoritas industri padat karya masih lesu.
PHK dan efisiensi
Indikasi lain dari banyaknya orang mempertanyakan implikasi sektor manufaktur setelah munculnya data BPS adalah PHK dan efisiensi besar-besaran. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan kalau dari Januari hingga Juni 2025 terjadi PHK sebanyak 42.385 orang.
Angka ini meningkat 32,1% jika kita membandingkannya dengan periode sama di 2024 (32.064 orang). Dari jumlah tersebut, sektor manufaktur mencatat 22.671 PHK. Itu jadi yang tertinggi di antara sektor lainnya seperti perdagangan dan pertambangan.
Bahkan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun bilang kalau efisiensi dan restrukturisasi, termasuk PHK, telah meluas dan bukan sekadar musiman. Mereka memperingatkan bahwa tren ini mengarah ke masalah struktural perlahan, bukan sekadar dampak sesaat. Di sini, kita harus kritis sama data BPS.
Fenomena ini seolah menunjukan terkait tekanan dari penurunan permintaan, meningkatnya biaya produksi, dan disrupsi global terhadap industri manufaktur itu sendiri. Jadi balik lagi, kontribusi 54% itu kayak pepesan kosong. Angka cantik yang tak punya makna signifikan dari kondisi sektor riil.
Kritis kepada BPS
Dari dua indikator ini saja kita sudah bisa mengambil benang merah bahwa data pertumbuhan 5,12% dari BPS ini tak berarti bahwa ekonomi kita baik-baik saja. Bahkan lebih ekstrem, pertumbuhan ini hanya kosmetik yang mempercantik tampilan luar tapi tak punya makna apa-apa dari segi kesehatan ekonomi dalam negeri.
Tapi kalau para buzzer pemerintah ini tetap ngeyel soal prestasi pertumbuhan 5% sesuai data BPS, saya jadi ingin memberikan sedikit kutipan dari seorang ekonom Indef, Didik J. Rachbini. Dia bilang begini:
“Pertumbuhan ekonomi 5% bukanlah prestasi. Itu angka biasa-biasa saja bagi negara berkembang sebesar Indonesia. Selama tidak ada terobosan struktural, kita akan terus stagnan di angka tersebut.”
Jadi ya nggak usah bangga karena itu semacam batas bawah. Ada istilah yang namanya struktur “inelastisitas pertumbuhan.” Maksudnya, konsumsi domestik yang besar dan relatif stabil (lebih dari 50% PDB) membuat ekonomi Indonesia tidak mudah anjlok dalam resesi global, tapi juga sulit melesat di atas 6%.
Yah gimana, orang konsumsi masyarakat yang menopang pertumbuhan. Sudah begitu, negara memeras rakyat memakai pajak berlipat-lipat tapi nggak membarenginya dengan fasilitas dan kebutuhan dasar yang layak.
Pada akhirnya saya ingin mengatakan. Ya beginilah ekonomi Indonesia.
Angka BPS bisa saja dipoles meski saya tidak menuduh, statistik bisa didandani, tapi yang selalu diabaikan adalah dompet rakyat tetap saja tipis dengan suara serak para korban PHK yang makin sering terdengar.
Pemerintah boleh tepuk dada di hadapan investor. Seolah-olah negeri ini punya stamina maraton. Padahal mungkin cuma lari-lari kecil di tempat sebatas supaya kelihatan bergerak.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA UMKM Tulang Punggung Ekonomi Adalah Jargon yang Bikin Saya Muak karena Menjadi Wujud Kegagalan Pemerintah Menyediakan Lapangan Kerja dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












