MOJOK.CO – Sungguh brengsek, ada saja oknum dosen beberapa universitas di Malang yang menjadi mafia nilai dan suka menipu mahasiswanya. Brengsek!
Minggu lalu, saya membaca sebuah tulisan dari Sara Salim tentang gratifikasi dosen Universitas Brawijaya Malang yang nitip makan ke mahasiswa semester akhir tapi tidak mau bayar. Adalah Mojok yang memuat tulisan tersebut. Fenomena seperti ini sebenarnya sudah banyak terjadi. Namun, banyak mahasiswa universitas di Malang tidak berani speak up saja.
Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa jalur beasiswa. Nah, ada saja dosen yang memanfaat status ini dengan bersikap seenaknya. Mahasiswa tidak bisa apa-apa karena takut kehilangan bantuan.
Oleh sebab itu, saya juga ingin membagikan cerita tentang “borok dosen” pengajar-pembimbing yang ada di beberapa universitas di Malang. Untuk mengetahui keburukan dosen, saya dan teman-teman ngopi melakukan survei.
Harapan saya dan teman-teman itu sederhana. Kami ingin hati dosen pengajar mendapat ketukan kesadaran bahwa yang mereka lakukan adalah salah.
Oknum dosen sebuah universitas di Malang malas mengajar dan kebanyakan memberi tugas
Fenomena ini menjadi “camilan” bagi mahasiswa yang tidak berkualitas. Mahasiswa macam ini dengan bangga menyambut kekosongan kelas karena dosen tidak masuk. Mereka bersorak-sorai karena mempunyai banyak sekali jam kosong. Mereka akan main-main, ngopi, ngegame, dan berpacaran.
Kami menemukan fenomena ini dari Miko (23 tahun, nama samaran). Dia kuliah di salah satu universitas di Malang. Kata Miko, ada beberapa dosen yang malas mengajar dengan bermacam alasan di luar nalar. Untuk mengisi kelasnya, dosen hanya memberikan tugas.
Masalahnya, soal dari tugas-tugas itu berasal dari bahan yang belum dipelajari mahasiswa. Maka, mau tidak mau, mereka hanya mengandalkan buku dan Google sebagai “mata pencaharian” mengisi jawaban.
“Hampir setiap ada kelas beliau hampir tidak pernah masuk dengan seratus alasan, dan mengabarinya selalu mendadak. Kesel cok!” Kata Miko.
Bahkan, untuk mendata presensi tidak pernah di buku presensi. Dosen tersebut hanya mengandalkan presensi Google Classroom. Padahal, dosen tersebut sangat rajin menandatangani presensi kehadiran mengajar setiap hari. Sayang seribu sayang, pihak universitas di Malang itu tidak menanamkan formula yang efektif untuk memantau kinerja dosen tersebut. Benar-benar makan gaji buta.
Saya dan teman-teman mengira, bahwa mungkin saja dosen ini nyambi di universitas lain di Malang. TAPI NYATANYA TIDAK. Beliau hanya mengajar satu kampus saja. Padahal, mereka mendapatkan upah untuk melayani mahasiswa, tapi nyatanya cuma mau gajinya, tapi nggak mau kerja. Lebih menyebalkan lagi adalah kalau meminta tanda tangan KRS, sangat jarang di lingkungan kampus, maunya di luar. Sekalian di luar Malang sana! Di Nepal, misalnya. Biar jauh sekalian!
Ada saja dosen universitas di Malang yang suka menipu
Persoalan lain datang dari Fitri (24 tahun, tentu saja nama samaran). Saat ini, Fitri masih kuliah, juga di Kota Malang. Fitri mengatakan bahwa dosen di kelasnya suka menipu. Alasannya beragam. Mulai dari istrinya sakit, lagi nggak enak badan, dan bahkan ada pertemuan di luar kota sebagai utusan kampus.
Ah, alasan seperti ini klasik sekali. Sayangnya, ada saja mahasiswa yang malas dan sudah kehilangan marwah. Alasan-alasan klasik dari dosen di Malang itu sangat membantu mereka. Mereka menganggap dosen tersebut sangatlah keren dan mereka mengagungkannya.
“Hampir setiap ada kelas beliau selalu bilang istrinya sakit, lagi nggak enak badan, dan lagi meeting di luar kota. Sudah begitu, dia tidak memberikan tugas sama sekali,” kata Fitri. Ini menunjukan bahwa dosen tersebut sudah melanggar kode etik. Saya menyebutnya “dosen tidak berkualitas”.
Dosen yang menghindar dari kejaran mahasiswa semester akhir
Menjelang akhir perkuliahan, mahasiswa harus menyusun skripsi. Mulai dari menentukan tema, menyusun judul, hingga mencapai bab 3. Inilah masa-masa depresi dan menjengkelkan bagi semua mahasiswa akhir. Semakin menderita karena mereka sulit sekali menemui dosen pembimbing universitas di Malang.
Terkadang, mereka harus menunggu berjam-jam di depan ruangan dosen pembimbing. Bahkan mereka sampai seharian tanpa mendapat kabar.
Kirana (24 tahun, bukan nama asli) masih aktif sebagai mahasiswa universitas di Malang. Dia juga mengalami nasib serupa. Nahasnya, Kirana sempat depresi dan memutuskan pulang kampung untuk menenangkan diri.
“Aku hampir setiap hari mengemis minta ACC judul. Saya WA dosen, tapi tidak dibalas. Kadang cuma dibaca saja,” tutur Kirana.
Tidak hanya itu, Kirana sempat membuat janji untuk ketemu esok harinya demi ACC judul. Namun, janji hanya sebatas janji. Dosen tersebut sampai 4 kali mengingkari janji. Tertekan, Kirana kesal dan selalu menangis di kampus. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk pulang kampung demi menenangkan diri.
Ini bisa saja sebagai bentuk penghindaran. Penerapan aktivitas Tri Dharma terkait Pendidikan dan Pengajaran tidak diterapkan sama sekali. Dosen malah melanggar dengan seenak jidatnya. Mending mundur saja daripada makan gaji buta.
Selain Kirana, ada juga Ahmed (26 tahun). Dia adalah mahasiswa semester akhir, satu universitas di Malang sama Kirana. Ahmed memilih “jalan pintas” untuk memuluskan perjalanan skripsinya. Dia melakukan gratifikasi supaya dosen mau mempercepat skripsinya. Dan cara itu sangat ampuh. Untuk bayaran awal sampai bab 3, Ahmed menghabiskan uang sekitar 3 juta rupiah.
“Aku sudah malas bolak-balik kampus. Toh ujung-ujungnya nggak bakal ketemu dosen itu. Aku sogok aja tiga juta. Pehh, langsung ACC”, ucap Ahmed. Apakah hanya kekuatan rupiah yang bisa memuluskan jalan skripsi semua mahasiswa universitas di Malang?
Dosen mafia nilai yang gemar mempermainkan mahasiswa
Mafia tidak hanya ada di dunia kriminalitas. Di sebuah universitas di Malang ada juga mafia. Dia adalah dosen yang yang melakukan penggelapan berkewajiban.
Kami menemukan dosen mafia nilai yang masih aktif di dunia kampus. Peran ini sangat terikat dengan istilah gratifikasi.
Bagi mahasiswa yang tidak terlalu pintar dan jarang masuk, tentu akan mendapatkan nilai yang buruk. Nah, untuk meningkatkan indeks prestasinya, para mahasiswa akan menyogok dosennya dengan dua cara, yaitu money dan body.
Kami mendapatkan info terkait fenomena ini dari Tania dan Daniel, mahasiswa universitas di Malang dan tentu saja bukan nama asli. Jadi, mereka adalah mahasiswa yang jarang masuk kelas karena alasan bekerja. Makanya, mereka jadi jarang mengumpul tugas. Akibatnya, mereka mendapat IPK yang terbilang jelek. Daniel, adalah mahasiswa yang tidak lolos SNBT dan memilih “jalan ninja” dengan menyogok pihak kampus agar dirinya bisa lolos.
“Biyen iku, aku gak lolos SNBT. Aku menggok dalan liyane. Ta mbayar kampuse, wis sampe saiki iso mblebu”, kata Daniel.
Kejadian berbeda terjadi kepada Tania, yang tidak pernah melihat nilainya. Alasanya, ada oknum dosen yang menahan nilai tersebut. Padahal, Tania sudah melunasi semua biaya.
Usut punya usut, ternyata Tania belum membayar “uang buku dan modul” milik dosen. Harganya kisaran Rp500 ribu untuk 4 buku paket. Mendengar informasi itu, Tania segera “melunasi” kewajiban membeli buku paket milik dosennya. Nah, lucunya, sampai sekarang, Tania tidak pernah melihat bentuk dan model buku itu. Uangnya benar-benar lenyap.
“Dosen meminta mahasiswa untuk membeli bukunya. Harganya kisaran Rp500 ribu, tapi sampai sekarang bukunya tidak pernah kami pegang. Sudahlah, intinya nilai keluar dan cepat-cepat lulus”, kenang Tania.
Jadi, dari beberapa kisah mahasiswa universitas di Malang, kita bisa menyimpulkan bahwa ada saja dosen yang menempuh jalan busuk untuk mendapatkan keuntungan. Iya, tidak semua dosen punya borok seperti itu. Sebagian dosen di Malang benar-benar menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagi yang brengsek, mending cepat sadar dan bertobat, deh.
Penulis:
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sudah Tahu Gratifikasi, Dosen Pembimbing di Universitas Brawijaya Masih Titip Makanan ke Mahasiswa Skripsi dan Nggak Bayar dan kisah brengsek lainnya di rubrik ESAI.