MOJOK.CO – Banyak orang suka “sejarah”, tetapi banyak juga yang tidak suka “pelajaran Sejarah”. Sekilas keduanya mirip. Sekilas.
“Segala sesuatunya berantakan di rumah Oblinskii.”
Begitu kata orang Rusia mengutip dari novel Tolstoy Anna Karenina untuk menggambarkan dunia sosial mereka yang kacau balau.
Ada kisah istri yang mogok bicara saat aib perselingkuhan terbuka, pembantu rumah tangga yang mendadak minta berhenti bekerja, serta anak-anak yang berlarian kian kemari tanpa ada yang mengatur.
Kekacauan serupa, berlaku ketika wacana mata pelajaran Sejarah tidak diwajibkan di tingkat SMA dan dihilangkan di tingkat SMK beredar luas di masyarakat.
Dokumen yang bocor ke media massa, guru-guru Sejarah yang merasa terancam kehilangan jam mengajar, siswa yang duduk di sekolah menengah, dan ribuan orang yang kehilangan satu-satunya milik mereka yang berharga: kisah bersama dalam rumah Indonesia.
Apa yang salah?
Banyak orang suka sejarah, tetapi banyak juga yang tidak suka pelajaran Sejarah.
Kondisi ini berlaku bagi saya pribadi sebagai orang tua yang harus meladeni pertanyaan putri saya yang duduk di sekolah menengah tentang persoalan dalam pelajaran Sejarah.
Sering kali saya menjerumuskannya dengan jawaban keliru. Akhirnya putri saya mengambil langkah bijak untuk lebih mempercayai algoritma jawaban mesin pencari Google dibanding ayahnya. Bertahun-tahun belajar sejarah tetap bukan menjadi jaminan nilai yang baik dalam mata pelajaran Sejarah.
Keramaian di media sosial terkait pernyataan publik tentang pelajaran Sejarah mengingatkan ini.
Jika apa yang disebut sebagai pemahaman terhadap sejarah dimaksud sebagai kemampuan seseorang mengingat tanggal, nama, dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, dapat dikatakan banyak orang di Indonesia tidak paham sejarah.
Sebaliknya, jika pemahaman sejarah adalah kemampuan melihat pola dan proses perubahan, apresiasi terhadap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada masa lalu, serta membuat kaitan antara pengalaman besar negerinya dengan pengalaman pribadi dan keluarga kecilnya, kebanyakan orang menyukai sejarah.
Hal ini setidaknya seperti dibuktikan oleh ribuan orang yang turut menandatangani petisi penolakan penghapusan status wajib untuk mata pelajaran Sejarah di tingkat SMA.
Lalu apa yang salah?
Guru-guru Sejarah di Indonesia telah terbiasa dengan norma umum multitasking mengajar Olahraga pada pagi hari, dilanjutkan dengan Matematika, dan diakhiri dengan pelajaran Sejarah ketika siswa sudah berpikir untuk segera lari berhambur keluar meninggalkan ruang kelas.
Begitu juga dengan para siswa yang terbiasa melihat guru yang itu-itu saja di depan kelas meski dalam sehari mereka mengikuti beberapa mata pelajaran berbeda.
Apabila guru-guru Sejarah merasa cemas dengan wacana penghapusan mata pelajaran Sejarah, semuanya bisa dimaklumi. Pundi-pundi mereka, apalagi mereka yang menyandang status honorer, sangat ditentukan jumlah jam mereka mengajar. Wacana yang beredar menjadi ancaman yang menipiskan kantong mereka. Aroma “perjuangan kelas” yang nyata tercium di luar kelas tempat guru mengajar.
Setiap anak di Indonesia sudah terbiasa dengan norma umum yang berlaku di masyarakat dan termasuk juga dunia pendidikan untuk menjadi orang sukses serta—syukur alhamdulillah—menjadi kaya raya dan berkuasa.
Meski ada ribuan kata berbunga, pada akhirnya tujuan orang tua mengirimkan anak-anak ke sekolah adalah untuk memenuhi harapan agar kelak anak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di dalam masyarakat.
Sukses di lapangan pekerjaan dengan imbalan material dalam kehidupan sehari-hari adalah indikator utama dunia pendidikan kita.
Jadi, ketika orang memasuki jurusan Sejarah, Sastra, Bahasa, dan Filsafat setelah lulus sekolah menengah, mereka bergerak melawan norma utama masyarakat. Mau jadi apa kelak?
Realitas ini terbukti pada akhir masa kuliah sebagai mahasiswa sejarah. Dari puluhan mahasiswa yang sama-sama belajar di jurusan sejarah, hanya satu dua orang yang tetap bersinggungan dengan dunia sejarah.
Selebihnya kembali pada norma umum menjadi pengusaha sukses, bankir, pialang saham, atau mencoba-coba usaha startup memanfaatkan setiap kesempatan yang didapat. Semuanya kembali berjalan normal sesuai laku zaman kapitalisme digital sekarang ini.
Ya, kenormalan adalah sesuatu yang kita sukai.
Pertaruhan besar
Namun memang orang tidak hidup sekadar dengan roti semata. Tidak adil menilai keresahan yang muncul dari kalkulasi ekonomi semata. Setiap kita memiliki narsismenya sendiri yang didapat melalui segala kisah (baik) tentang dirinya. Begitu juga bangsa.
Pengalaman dan aspirasi bersama pada masa lalu adalah cermin terbaik melihat diri sendiri dan sekaligus pembanding dengan bangsa lain.
Seperti kita, orang-orang Amerika Serikat memiliki kesadaran sejarah yang biasa saja. Namun negeri itu telah mewajibkan siapapun—saya maksud imigran—yang hendak menjadi warga negaranya untuk lulus ujian Sejarah Amerika. Ini prinsip yang tidak bisa ditawar.
Jadi, penjual hot-dog, supir taksi, penyapu jalanan, buruh-buruh pekerja kasar dengan upah murah dan mereka yang bekerja di lapis bawah dalam sektor pekerjaan yang umum tersedia bagi pekerja migran, adalah orang-orang yang sebelumnya telah dipaksa belajar sejarah.
Setiap bangsa memang memiliki pertaruhannya sendiri dengan masa lalu mereka. Loyalitas kewargaan dan patriotisme adalah standar utama di dalam kasus ini.
Oleh karena itu, wajar jika banyak yang merasa terusik, dan banyak yang melihat kebanggaan diri terpanggang dalam pragmatisme zaman. Sejarah adalah satu-satunya pakaian yang melekat ketika kita becermin dan membandingkan diri dengan orang lain.
Ketika ini pun akhirnya hilang, lalu apa lagi yang bisa dibanggakan?
Beruntung, segala sesuatu adalah kesalahpahaman belaka. Begitu katanya. Pada akhir cerita, rumah tangga Oblinskii pun berangsur normal.
BACA JUGA Kekonyolan Para Penguasa dalam Sejarah Indonesia dan tulisan Andi Achdian lainnya.