Pastinya bukan George Orwell. Lupa saya siapa yang mengisahkannya. Alkisah, ada seekor kerbau yang tiba-tiba mengamuk di sebuah kampung. Kerbau itu milik semua penghuni kampung itu. Semua warga lalu berembuk mencari jalan keluarnya.
Sekelompok warga bersikeras untuk menembak mati kerbau itu. Kampung ini harus dikembalikan kepada asal sejarahnya yang paling awal. Semurni-murninya. Hanya itu caranya, begitu argumen mereka.
Kelompok lain berpendapat bahwa kerbau itu dijinakkan saja, didekati baik-baik, sedikit demi sedikit mesti bisa. Bagaimanapun, keberadaan kerbau itu merupakan bagian dari perjalanan hidup dan identitas kampung itu. Membunuh kerbau itu memang menjanjikan ketenangan instan, tapi akan ada bagian dari cita rasa kampung ini yang hilang.
Tanpa bermaksud menyatakan Islam sebagai kerbau, begitulah ilustrasi yang memikat hati saya untuk menggambarkan ontran-ontran saat ini tentang “kebenaran” Islam.
Kelompok pertama merepresentasikan kaum Wahabi Salafi, kelompok kedua mewakili kelompok moderat. Suka tak suka dengan ilustrasi ini, begitulah nyatanya nuansa keberislaman kita kini, kan?
Dengan slogan memurnikan Islam (purifikasi), kembali kepada ajaran salafus shalih (Islam era sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in lebih dari seribu tahun lalu), dan kembali kepada Al-Quran dan Sunah Nabi, kaum Wahabi Salafi Indonesia bersikukuh, bahkan bersikeras, lewat pelbagai media, dari panggung dakwah hingga medsos yang sekuler, bahwa tiada jalan lain untuk menjadi muslim kaffah kecuali mengikuti mereka. Maksudnya, menjadi bagian dari slogan-slogan yang mereka genderangkan. Di luar kelompok mereka: ahlul bid’ah.
Apa itu ahlul bid’ah?
Buat Wahabi Salafi, definisinya sudah jelas mutlak secara tekstual dalam hadis ini: segala sesuatu yang baru (diadakan) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat balasannya neraka. Titik.
Dengan kata lain, siapa pun yang tidak turut mengibarkan panji pemurnian Islam (bersama mereka), kembali kepada ajaran salafus shalih (bersama mereka), dan kembali kepada Al-Quran dan Sunah Nabi (bersama mereka), adalah calon-calon penghuni neraka. Sebab biang kekacauan kampung itu adalah kerbau tadi, maka satu-satunya jalan untuk mengembalikan kedamaian kampung itu adalah membuang kerbau itu. Titik.
Dalam konteks kampung itu sebagai bangsa kita yang majemuk, penghakiman mutlak demikian jelas memicu problem. Minimalnya secara sosial kultural. Para sesepuh yang punya ikatan batin dengan kerbau itu jelas menolak pandangan tersebut. Mereka yang sudah biasa secara turun-temurun melakukan tawashul, ziarah kubur, tahlilan, mauludan, hingga perayaan hari besar Islam takkan begitu saja meninggalkannya. Sebab, kerbau itu bagian dari identitas hidup mereka.
Jika direnung-renungkan, dikembalikan kepada tujuan rembukan untuk menyelesaikan urusan kerbau itu, dua-duanya jelas hanyalah pendapat. Dua-duanya secara ontologis sama derajatnya. Pandangan, pemahaman, aliran, dan tafsiran, mau dari kelompok pertama ataupun kelompok kedua (sebut saja NU), jelas sama-sama sekadar pemikiran. Begitu mestinya status asali sebuah pendapat.
Kaum Wahabi Salafi mau berkhotbah bagaimanapun perihal genealogi kesalafan mereka, kaum Nahdliyyin juga memilikinya. Pendapat yang mana yang benar atau salah, jelas tak ada yang tahu pasti skornya. Jika maksa, tanya jurinya: Gusti Allah ….
Kalau Wahabi Salafi merujukkan genealogi pendapatnya pada generasi salaf Imam Hambali dan Ibnu Taimiyah yang notabene pembela Aswaja, turun ke sini melalui Muhammad bin Abdul Wahab, lalu terus ke generasi Syekh Nasiruddin al-Albani, Syekh bin Baz, Syekh Utsaimin, Syekh Fauzan, terus ke sini melalui Khalid Basalamah, begitupun Nahdliyyin.
Nahdliyyin merujukkan dirinya pada generasi salaf Imam Syafi’i dan Imam Asy’arie yang notabene Aswaja, terus ke sini melalui ulama-ulama Mekkah hingga ke Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Maimun Zubair, Gus Dur, dan selainnya.
Catat tebal, ya: keduanya ternyata sama-sama merujuk kepada generasi salaf.
Maka, dapat dinyatakan bahwa NU dan kelompok-kelompok lainnya tidaklah lalu kurang salafinya secara geneaologis hanya karena tidak melabeli dirinya sebagai NU Salafi, Muhammadiyah Salafi, Ikhwanul Muslimin Salafi, Tarbiyah Salafi, Al-Irsyad Salafi, dll. Formalitas palabelan Salafi pada kelompok Wahabi, secara maknawi, perbandingannya tidaklah lebih dari mau ada sebutan yayang atau tidak antara Agus dan Kalis, mereka tetap sejoli secara de facto.
Bukankah tanpa menyebutkan syar’i kepada jlbab, ia tidak lalu berkurang kesyariahannya? Sebaliknya, mau segahar apa pun Anda menyebut Muzammil Hasballah sebagai “imamku” di IG-nya, tetap saja ia hanya milik Sonia?
Gitu aja kok repot ….
Sayangnya, kita memang generasi repot. Generasi berisik. Persis gaya para fans di medsos yang iyig betul pada pseudo-idolanya melalui hestek #PatahHatiNasional #PatahHatiInternasional #PatahHatiDuniaAkhirat, padahal begitu log out dari media sosial, detik itu pula mereka ternyata masih saja sendiri atau suaminya adalah Edi dan istrinya adalah Diana.
Ihwal “repot” inilah yang menjadikan hal sederhana tadi begitu rumit karena berkawat kuat dengan gebyar perasaan: perasaan paling benar, perasaan paling sesuai dengan Salafus Shalih, perasaan paling mengikuti tuntunan Al-Quran dan Sunah Nabi, dan perasaan lebih murni dari es degan murni.
Namanya perasaan ya jelas iyig. Sulit objektif. Sulit dipertanggungjawabkan parameternya secara metodologis-akademis.
Walhasil, sepanjang gaya berislam iyig baper-baper demikian terus dirayakan, akan repot teruslah hubungan cinta kita. Mana mungkin kita bisa ngakak bareng bila di depanku kau tega berkata wajah istriku bid’ah dan wajah istrimulah yang sesuai tuntunan Al-Quran dan Sunah Nabi?
Padahal, di balik semua perbedaan itu, kita sama-sama mafhum lho bahwa jalan terlelaki untuk membahagiakan istri adalah telur bebek dicampur Sprite. Just try ….