MOJOK.co – Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni selama kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (teknik-sosial, politik, dan budaya). Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul kalau yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas baru dalam masyarakat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama, serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.
Pengantar redaksi:
Selama Ramadan, Mojok akan menyajikan karya tulisan dari tokoh bangsa Indonesia yang tayang setiap hari. Tulisan-tulisan ini sudah berusia lebih dari 40 tahun. Namun, karya mereka masih relevan hingga saat ini. Terutama bisa menjadi bahan renungan selama bulan puasa.
Tulisan kali ini merupakan karya Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau Tan Malaka yang juga dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia. Selamat membaca.
Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis (Revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (Revolusi Proletar 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi, yakni perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan (quantity) berubah menjadi peralihan sifat (quality), sesuai dengan hukum dialektika.
Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme asli, sedikit demi sedikit berganti menjadi peralihan besar dan cepat, melompat atau meletus menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga perekonomian sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000) manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara sekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis asli menjadi perekonomian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi berturut-turut dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosialis mendorong pula kepada perubahan bentuk negara budak berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara sosialis (ditaktor proletariat).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.
Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu? Marx dan Engels menjelaskan semua bukti yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu digerakkan oleh kekuatan produksi (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat, dan mesin. Dengan perubahan dan beralihnya kekuatan produksi ini, maka berubah-beralih pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri terhadap musuh yang berupa manusia biadab dan binatang buas.
Makanan yang utama adalah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar serta ganas itu.
Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu dengan sendirinya mendorong kepada pemilikan bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal!). Pemilikan bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia atas manusia atau satu kelas atas kelas lainnya.
Semua anggota masyarakat bersama-sama memiliki alat dan hasil produksi. Tak ada yang tak berpunya. Tak ada pula pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat penindas yang istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam masyarakat itu”. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan lagi batu melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat untuk produksi. Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan sederhana) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah timbul pembagian pekerjaan (division of labour) antara golongan peternak, petani, dan tukang.
Seorang anggota masyarakat di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya pagi berburu, petang mengembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani, dan tukang, masing-masing golongan melakukan pekerjaan sendiri-sendiri. Dengan begitu, kepandaian dan keahlian kerja kian bertambah.
Hasil pun terus bertambah. Dalam keadaan demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri kemudian antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan yang mempunyai pakaian berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula kemungkinan bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak serta alat, jatuh terkumpul di tangan beberapa orang yang berpunya.
Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas kelas budak yang kebanyakan adalah tawanan perang atau keturunan tawanan itu atau orang yang berhutang tetapi tidak sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil seperti pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga, dan hasil. Kelas yang kecil, yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas yang besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering beralih menjadi perjuangan semakin menghebat dengan bertambah tajamnya pertentangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya diatas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. Timbul dan tumbuh tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara budak, dengan serdadu, reserse, polisi, jaksa, penjara, dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah baik. Bajak besi dan jentera buat menenun berkembang. Peternakan, pertanian, dan pengusaha susu buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulai timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping pertukangan. Keluarga raja dan ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi masih boleh diperjualbelikan. Budak-slave bertukar menjadi budak-serf (lijfeigene).
Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi alat dan hasil. Budak-serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (implements) untuk digarap. Dengan demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggup memegang sisa pajak itu buat hidupnya sendiri beserta keluarganya. Sebab itu pula maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik feodal ada juga milik perseorangan oleh petani dan tukang alat beserta hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan.
Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di zaman budak-serf hampir tidak beda dengan zaman budak-slave. Demikian juga pertentangan dan perjuangan antara kelas ningrat dengan kelas budak-serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu usaha manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini negara dengan perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat dan coraknya sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas yang lain.
Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas digerakkan dengan tangan di masa manufaktur dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan mudah bisa diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik di zaman manufaktur cuma bisa memusatkan 1000 orang kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik dan ratusan ribu dalam satu perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran. Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai oleh kapitalisme zaman sekarang.
Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah awalnya undang-undang demokratis (compulsory education). Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah sekali buat seorang kapitalis mendapatkan buruh buat dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.
Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan melenyapkan perusahaan kecil. Karena penindasan dan pelenyapan itu, tidak setiap warga memiliki hak milik sendiri. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, perkebunan besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang.
Sebagian besar penduduk menjadi melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi borjuis dari tanahnya ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis.
Mereka “merdeka” juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan harga semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta benda dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya.
Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua lusin orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke tangan yang memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi dengan cara kerja bersama. Pertentangan selusin dua lusin orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat dan hasil produksi dengan sebagian besar rakyat yang bekerja membantung tulang tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi.
Pertentangan ini sangat berbahaya di masa krisis ekonomi. Di masa inilah negara kapitalis beserta birokrasi, militer, polisi, kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan dirinya sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri di tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada lagi pertentangan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara kerja yang berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia Pertama. Di sana sekitar 150 juta manusia pada masa Perang Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak Perang Dunia II, dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya.
Alat produksi penting dan hasilnya dimiliki secara bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut aturan :”Siapa yang tidak bekerja tidak akan dapat makan”. Dengan adanya revolusi di Rusia, timbulah kekuasaan baru, negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar sebagai kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan penjara proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan imperialis di luar Rusia.(*)
*)Salah satu karya Tan Malaka di tahun 1948 dalam buku “Pandangan Hidup.” Artikel yang berjudul “Tumbang dan Timbulnya Negara” ada dalam bab, Konsep Negara.
Penulis: Tan Malaka
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sekali Lagi: Bukan Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah! Tetapi Banyak Bicara, Banyak Bekerja! dan analisis ilmiah lainnya di rubrik ESAI.