Saya kira, tidak ada instansi di negeri ini yang mencintai perdamaian lebih dari Instansi Bhayangkara Negara. Bahkan seandainya Mojok satu hari nanti kepingin menerbitkan buku lagi, saya usulkan untuk mengangkat tema tentang korps berbaju coklat itu. Kalau buku pertamanya laris manis karena disesaki dengan satir yang mengundang gelak tawa, saya yakin buku kedua itu nanti juga akan mendulang sukses yang sama karena dipenuhi dengan cerita haru perdamaian warga dari seluruh negeri dengan oknum polisi dari berbagai kesatuan yang menguras air mata.
Adlun Fikri Singoro pasti sedang beruntung ketika di satu hari yang cerah-ceria, di Ternate, kendaraannya ditilang, dan salah satu anggota korps baju coklat itu menawarinya perdamaian. Dasarnya Adlun—entah karena sok idealis atau memang cuma sedang terkena sindrom akhir bulan khas mahasiswa: bokek—Adlun menolak tawaran baik itu. Mahasiswa keblinger. Adlun pasti sudah termakan jargon jadoel: “Kami cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.”
Sia-sia dia belajar Antropologi di Universitas Khairun Ternate kalau tidak bisa memetakan perilaku manusia, khususnya dari golongan bhayangkara itu.
Ada, setidaknya, tiga kesalahan mendasar yang dilakukan Adlun Fikri dengan pilihan sikapnya itu. Pertama, menolak tawaran damai dari petugas. Adlun pasti lupa bahwa negara ini adalah—meminjam istilah mantan aktivis yang baru-baru ini meroket, Fadjroel Rachman—negara halalbihalal, negara maaf-memaafkan. Bukan negara hukum seperti kata orang-orang. Lihatlah bagaimana persoalan-persoalan pelanggaran HAM di negara ini mau diselesaikan dengan cara minta maaf, alih-alih mengadili dan menghukum mereka yang bersalah.
Kesalahan kedua Adlun, dia merekam tawaran damai dari petugas tadi dengan telepon genggamnya. Aduh, mahasiswa Antropologi macam apa ini? Ini zamannya selfie. Rekaman video adalah lompatan yang terlalu jauh ke depan. Mestinya Adlun Fikri mengajak petugas tadi selfie bareng. Tidak bawa duit, tapi tongsis bawa kan, Dlun?
Dan yang terakhir, yang paling fatal, adalah mengunggah video tersebut ke Youtube. Ampun dah. Kapan sih Adlun ini terakhir nonton tivi? Kalau ada persoalan dengan petugas, semestinya Adlun menghubungi kantor berita televisi ikan terbang untuk segera disambungkan dengan pejabat polisi yang sedang ngopi-ngopi cantik di acara Halo Polisi. Di sana, barulah Adlun boleh curhat sepuas-puasnya. Soal ditanggapi atau tidak, itu lain soal. Eh, ngomong-ngomong, acara itu masih ada gak sih?
Masih ingat dengan bule Belanda yang mengunggah video damainya dengan anggota polisi di Bali, kan? Adlun harusnya bisa belajar dari kasus itu. Bule londo itu sebenarnya sudah benar dengan menerima tawaran damai sang oknum, tapi ya itu, kesalahan fatalnya adalah mengunggah video tadi ke Youtube. Coba itu bule gak buru-buru balik ke Belanda, nasibnya saya pastikan setali tiga uang dengan Adlun Fikri sekarang.
Adlun Fikri—juga bule londo tadi—harus tahu bahwa satu-satunya yang boleh mengunggah video ke Youtube adalah anggota polisi itu sendiri. Contohnya, Norman Kamaru. Kalau kemudian beliau diberhentikan dengan tidak hormat, dan banting setir jadi tukang bubur, itu bukan karena Norman menggunggah video joget India-nya ke Youtube, melainkan karena lupa ngajak komandannya syuting sinetron.
Catat, ya: Mengunggah video ke Youtube tidak pernah salah kalau dilakukan oleh polisi!
Kalaupun acara Halo Polisi tadi sudah tidak ada, bukankah sekarang sudah ada acara yang lebih heroik sebagai penggantinya? Itu lho, yang judulnya ’86’. Adlun Fikri seharusnya mengirim rekaman videonya ke sini. Gara-gara acara ini, saya yang waktu sekolah dulu dengan mantap menjawab jalesveva jayamahe waktu ditanya semboyan angkatan laut, dan dengan ragu menjawab gemah ripah loh jinawi sebagai semboyan polisi, akhirnya tahu kenapa saya cuma dianggap setengah benar oleh guru saya.
Saya akhirnya tahu kalau semboyan polisi ternyata: lapan-anam. Ya gara-gara acara itu tadi.
Makanya nonton tivi, Dlun.
Menimpakan kesalahan seluruhnya ke pundak Adlun Fikri tentu tidak adil. Korps kepolisian juga seharusnya membenahi dirinya. Supaya tulisan ini tidak terkesan main-main, maka di titik ini saya ingin mengusulkan Korps Kepolisian Republik Indonesia agar melakukan reformasi dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan tiga poin terpenting—untuk mengimbangi tiga kesalahan Adlun Fikri—yang harus direformasi oleh polisi adalah:
Satu, membekali seluruh petugasnya dengan kamera supaya tidak lagi didului oleh warga yang mengunggah video ke youtube seenaknya; Dua, mengumumkan bahwa pangkat tertinggi di kepolisian adalah brigadir (briptu boleh, bripka boleh) mengingat anggota-anggota yang berprestasi rata-rata berpangkat brigadir seperti (mantan) Briptu Norman Kamaru, Brigadir Dewi Sri Mulyani ‘di situ kadang saya sedih’, dan—pastinya—Briptu Eka Frestya; Terakhir, mengangkat Briptu Eka Frestya menjadi Kapolri.
Bagaimana, sepakat?
Lapan-anam, Ndan!