MOJOK.CO – Setelah ngekos di kamar 3×3 meter, nebeng di rumah mertua, dan 5 tahun ngontrak rumah. Saya akhirnya bisa beli tanah dan bangun rumah di Jogja.
Sewindu yang lalu saya pernah mengajak mantan pacar saya naik motor keliling Jogja. Salah satu tujuannya adalah untuk mengunjungi sebuah perumahan yang sedang dibangun di sebelah timur Bandara Adisutjipto.
Yah lihat-lihat dulu, siapa tahu lokasinya cocok untuk dijadikan tempat tinggal kami setelah menikah nanti, pikir saya waktu itu.
Sayangnya, semangat dan rasa percaya diri saya langsung ambrol saat petugas pemasaran menyebutkan nominal harga rumah di perumahan tersebut.
Kesombongan saya juga langsung sirna setelah menyadari bahwa saldo tabungan saya selama ini ternyata ndak nyampai seperempat dari harga rumah yang kami kunjungi. Dikhianati saldo tabungan hasil kerja keras bagai kuda itu sungguh menyakitkan. Jingan.
Ingatan tentang kejadian “memalukan” tersebut masih membekas dengan jelas dalam benak saya hingga saat ini. Pagi tadi, kenangan tersebut tiba-tiba muncul ketika saya sedang nyirami tanaman di taman belakang rumah saya dan istri di kaki Gunungapi Merapi.
Yup, kalian ndak salah baca. Enam tahun berlalu, akhirnya kami dimampukan untuk dapat bangun rumah sendiri di Jogja setelah melalui lika-liku ngekos di kamar ukuran 3×3 meter, nebeng di rumah mertua, dan 5 tahun ngontrak rumah.
Oh iya, sebelum dituduh macem-macem, perlu saya sampaikan bahwa kami berdua tidak terlahir dengan sendok emas di mulut. Keluarga kami ya orang biasa pada umumnya. Bukan juragan tanah yang anak-anaknya belum lahir aja udah dikasih jatah masing-masing satu petak tanah, misalnya.
Jadi kami berdua ini benar-benar berjuang dari nol putul, tentu saja diiringi oleh doa restu dari orang tua masing-masing.
Tulisan ini dibuat tentunya semata-mata karena honor Tuhan. Selain itu, kami juga ingin berbagi pengalaman dengan anak muda lainnya yang sedang berjuang untuk mampu punya rumah sendiri. Yah, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Dalam mencapai tujuan untuk punya rumah sendiri, ini beberapa strategi dan rahasia yang telah kami berdua lakukan sebelum usia kami ke-30 tahun.
#1 Menyadari urgensi punya rumah
Waktu saya masih bujang, memiliki rumah adalah sesuatu yang tidak urgen sehingga saya memilih ngekos sambil ngumpulin uang. Pun saat awal menikah, ngontrak rumah itu hal yang biasalaaah bagi pasangan muda.
Kalau memang uangnya belum cukup untuk beli atau bangun rumah, ya udah sih ndak usah gengsi dan maksain harus punya rumah saat itu juga. Toh kita bukan Rafathar yang tajir sejak lahir. Apalagi lihat harga tanah dan rumah di Jogja yang ngidap-idapi gitu harganya.
Lagian tanah dan rumah itu “pulung” kalau kata orang Jawa. Sudah punya uang pun belum tentu mampu beli kalau memang bukan jodohnya. Beneran deh.
Saya dulu juga gitu, sudah ada cukup uang, diniati dan menyempatkan waktu keliling Sleman, kok ya ndak ada yang cocok. Pas lagi ndak nyari kok ndilalahnya ada yang ngabari kalau sedang BU alias Butuh Uang karena anaknya mau daftar sekolah.
Oh iya, kalau misalnya beli tanah atau rumah, jangan lupa dicek dulu status hukumnya di lembaga terkait. Pinjam aja sertifikatnya njuk bawa ke Badan Pertanahan Nasional misalnya.
Jangan sampai kagol seperti kenalan istri saya. Lihat harga tanah lumayan miring di lokasi yang dia incar, tanpa fafifu langsung transfer, eh ternyata tanahnya adalah tanah sengketa. Blaik.
#2 Meneguhkan niat dan menentukan skala prioritas
Waktu awal menikah dan masih ngontrak, kami sudah ketat menyisihkan sebagian pendapatan yang untuk alokasi tempat tinggal. Mumpung kebutuhan belum banyak dan anak-anak juga masih balita.
Belum dapat tagihan uang gedung, SPP, atau study tour sama pihak sekolah anak. Saatnya mengencangkan ikat pinggang dan fokus untuk mampu punya rumah sendiri sebelum mereka tumbuh besar, hehehe.
Berbagai macam pengeluaran kami catat dan memangkas beberapa pos yang menurut kami ndak begitu penting. Selain itu, kami juga berusaha untuk selalu memasak sendiri, membawa bekal, mengurangi jajan, nongkrong, ngopi, dan kegiatan sejenis. Istri juga bodo amat kalau diserang sama SJW bidang perbekalan.
Lha gimana, sekali nongkrong misalnya habis 150 ribu. Itu setara dengan harga satu lonjor besi diameter 13 mm dan satu sak semen atau setara upah tukang harian plus bonus lembur je. YOLO sih YOLO, tapi nggak boros juga kali. Rumangsanya uang tinggal nggunting?
Pola pikir itu pula yang banyak membantu kami dalam usaha mengatur pengeluaran dan menumpuk pundi-pundi rupiah untuk alokasi tempat tinggal. Yah setidaknya itu terbukti mampu membuat kami berpikir berjuta-juta kali tiap mau checkout barang-barang kebutuhan sekunder atau tersier yang ndak penting-penting amat. Hahaha.
#3 Menentukan metode punya rumah
Apakah mau beli rumah atau mau beli tanah njuk dibangun sendiri? Kalau beli rumah, pastikan kualitas bangunannya seperti apa. Apalagi kalau rumah bekas.
Jangan sampai kalian seperti tetangga baru saya di Sleman, udah beli rumah bekas dengan harga ndak masuk akal, masih harus memperbaiki sana sini, eh sampai sekarang juga belum bisa ditempati.
Kalau dalam kasus kami, kami memilih membeli sebidang tanah terlebih dahulu sebelum dibangun rumah dua tahun setelahnya. Ingat, dua tahun hiatus baru bisa bangun rumah. Jadi ndak langsung babibu, nafas dulu sebentar sobaaat. Mbangun sendiri itu menurut itung-itungan kami juga jatuhnya jaaaaauuh lebih terjangkau.
Oh iya, kalau mau ulet nyari dan gak berpatokan harus dalam ring road, sebenarnya di Jogja itu masih dapat ditemukan tanah yang terjangkau, cuma terkadang luasnya itu lho bikin minder. Harga satu juta per meter misalnya, dikalikan seribu meter aja udah jadi 1 miliar.
Kalau yang begini tentu saja kalian perlu siasat khusus. Misalnya dengan membeli secara berkelompok untuk kemudian dikapling-kapling sesuai kesepakatan. Gitu.
Sebelum membangun rumah, sebisa mungkin gunakanlah jasa arsitek dan sipil secara bersamaan untuk mendesain rumah dan menghitung anggaran. Jangan seperti saya, jalan sendiri-sendiri.
Digambarin dulu sama arsitek kenalan istri, dikasih jendela buanyak, sirkulasi udara mantap sehingga ndak perlu pakai AC. Pas dihitung biayanya sama ahli sipil, lha kok biaya kusennya membengkak. Rencana kusen dengan kayu jati tua pun hanya mimpi. Hiks.
Bangun rumah juga ndak harus langsung jadi sesuai desain awal. Seadanya dana dulu saja disesuaikan dengan kebutuhan. Model rumah tumbuh istilahnya.
Percayalah, kalau bangun rumah langsung besar padahal anggota keluarga ndak nyampai jumlah jari di telapak tangan kanan, capek le membersihkan. Apalagi yang punya rumah sifatnya pemalas seperti kami.
#4 Jangan mudah percaya
Sebelumnya kita harus sepakat bahwa rumah itu ndak murah. Barang ndak murah dan susah ngedapetinnya tentu saja harus ngati-ngati. Jangan sampai udah susah-susah ngumpulin uang, eh “dikerjain” sama kenalan, makelar, kontraktor, atau pengembang. Ndak usah jauh-jauh, kami adalah contohnya, hahaha.
Mau bangun dengan tukang sendiri atau minta bantuan kontraktor, silakan saja, yang penting harus ada bukti hitam di atas putih. Saat penandatanganan kontrak, wajib membawa saksi mata yang tidak punya hubungan darah.
Jadi kalau apesnya harus sampai ke pengadilan, ndak akan kesulitan nyari saksi untuk melengkapi bukti-bukti tertulis yang saya sampaikan tadi.
Selain itu, dalam pengerjaannya juga jangan hanya pasrah bongkokan tapi harus selalu diawasi. Emangnya mau rumahmu yang seharusnya pakai besi diameter 13 mm njuk diganti ukuran 8 mm?
Atau pondasi yang harusnya 1,5 m tapi cuma digali 80 cm? Uang semua lho itu. Orang kok ya mau-mau aja dikerjain, ckckck
Pada akhirnya mau punya rumah pada usia berapapun itu sebenarnya ndak masalah. Orang tua saya juga baru mampu punya rumah sendiri saat saya kelas 4 SD. Itu aja di dekat perbatasan Banyumas dan Cilacap, di lokasi yang jauh dari hingar bingar kota.
#5 Kerja jadi “TKI” ke luar negeri berkali-kali
Yah, ini rahasia terakhir saya kenapa bisa beli tanah lalu bangun rumah di Jogja.
Harus diakui, saya bukan kriteria pekerja di Jogja sepenuhnya, yang kerja sesuai UMR atau yang lumayan beruntung bisa dapat gaji 2-3 kali UMR Jogja.
Rahasia saya bisa bangun rumah adalah, saya bertahun-tahun perlu merantau ke luar negeri beberapa kali, sekaligus memperketat pengeluaran selama tinggal di sana. Sampai akhirnya ketika harus “balik” ke Jogja, saya ada cukup tabungan untuk bisa beli tanah lalu nyicil bangun rumah pelan-pelan.
Minimal itu bikin saya ndak terus-terusan ngarepin menang undian rumah dari Mirota Kampus yang udah jadi semacam foklor di Jogja.
BACA JUGA Tips Punya Rumah bagi Pasangan yang Baru Menikah dan tulisan Bachtiar W. Mutaqin lainnya.