MOJOK.CO – Belakangan ini jenis kelamin dalil sering tak lagi diletakkan dengan tepat di kursinya. Kacau balaulah urusannya. Tujuan syariat pun bubrah.
Suatu hari, saya membuat status begini:
Ya Allah, sekarang ini kok saya susah sekali ya untuk menemukan orang yang mau utang tanpa agunan, tanpa bunga, dan bayarnya seselonya. Ini pastilah tanda dari makin kokohnya iman di hati umat.
Ya Allah, sekarang ini juga kok sulit sekali ya untuk menemukan pemilik modal yang tak entengan memberikan pinjaman lunak, tanpa agunan, tanpa bunga. Ini pun pasti merupakan tanda dari hunjamnya iman di hati umat.
Dan, bajigur!
Waktu berselang, ada beberapa orang yang tak kenal babar pisan mengirim pesan di inbox. Mereka mengajukan pinjaman lunak, tanpa agunan, tanpa bunga, dan mengembalikan dengan selonggarnya. Seketika saya sangat terharu: ini sungguh jenis ukhuwah Islamiyah yang telah lama hilang….
Apa jawaban saya kemudian?
Diam. Dibaca tok. Persis wasapanmu ke bribikanmu. Saya meniru sebuah pepatah Arab saja: as-sukutu salamun. Diam itu menyelamatkan.
Ayolah, dedek-milenial-muhajirin-anti-riba, ngertiin dong bahwa status saya itu satire.
Kenyataannya jelas adalah kebalikannya. Kita ini tak lagi hidup di era Salafus Sahlih, lho, tapi di suatu zaman pokoke nesu sik nek ditagih utange. Kredonya begini: jika dengan nesu utang tak jadi ditagih, mengapa harus tak nesu? Mdrccte.
Bahkan, atos-atosan ini telah lazim diawali sejak lecel nembung utang. Mulanya baik banget. Pakai assalamu ‘alaikaum, kaifa haluk, masya Allah, subhanallah, dan Allah Allah lah pokoknya.
Lalu, mulailah adegan nestapa dideraikan. Soal ada dusta di dalamnya, sante bae, wong udah pakai asma Allah kok. Berikutnya, jika Anda yang ditembungi mulai pasang gelagat enggan, sang calon peminjam auto pasang mimik atau chat kecut.
Entah tudingan pelit, perhitungan, tak percayaan, sekalinya dimintai tolong angel, kacang lupa kulitnya, hingga semua orang bakal mati dan duitmu tak bakal dibawa. Mdrccte.
Baru calon saja sudah begitu gaharnya, bayangkan bila telah jadi petahana utang.
Saking ngunu-kui-lah babakan utang-piutang itu, saya pribadi sampai punya kesimpulan begini: hari ini jika kita memutuskan memberikan pinjaman, setengahnya udah kudu diikhlasin sejak detik pertama uang diberikan. Setengahnya lagi kudu siap digalaki bila memutuskan tak memberikan pinjaman. Genap 100% babak belur to?
Kok bisa begini amat ya?
Secara sosial, fenomena ini sudah sahih kita sebut ongkos relasi sosial. Biaya ramah tamah yang hiihh. Secara spiritual, lain lagi, yakni akibat dijungkir-balikkannya kursi dalil.
Yang mestinya dalil A dipegang pemberi utang, kini digenggam peminjam. Yang harusnya dalil B dikekepi peminjam, kini dipakai pemilik uang.
Dengan kata lain, jenis kelamin dalil tak lagi diletakkan dengan tepat di kursinya. Kacau balaulah urusannya. Tujuan syariat pun bubrah.
Begini contohnya.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Rasulullah Saw dengan sangat benderang dhawuh: “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang meringankan pinjamannya dan mengikhlaskannya lebih utama….”
Dalil ini ditujukan kepada pemilik uang. Sebaliknya, ada dalil serumpun yang ditujukan kepada peminjam: “Sebaik-baik kalian ialah orang yang menyegerakan menyelesaikan pinjamannya….”
Keduanya jelas hadis shahih. Artinya, mutlak berlaku sebagai hukum.
Kenyataannya, kini, keduanya dibolak-balik. Kerap betul si peminjam menggenggam dalil pertama: “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang meringankan pinjamannya dan mengikhlaskannya lebih utama….”
Sehingga ia leyeh-leyeh aja sama kewajibannya membayar, seolah mengharapkan pemberi pinjaman lupa, atau sungkan nagih, dan akhirnya yaweslah.
Tentu saja, pemilik uang kzl bats. Apalagi, tragisnya, acap peminjam itu entengan saja posting plesiran, kulinaran, belanjaan, dan yaaa segala kebangsatan lah.
Lalu, di detik yang sama, pemilik uang memegang dalil ini: “Sebaik-baik kalian ialah orang yang menyegerakan menyelesaikan pinjamannya….”
Wujudnya kemudian ialah nagih ndak keruan, siang malam, dengan segala macam cara yang luar biasa, seolah ini hari terakhir sebelum kiamat. Tentu pula di dalamnya ada hasrat besar pada laba, alias bunga, sehingga utang-piutang tak lagi berada di derajat asalinya sebagai ta’awun (tolong-menolong).
Sudah pasti, chaos melimpah ruah bagai bah. Lagi-lagi, sebab jenis kelamin dalil tak dipakai dengan benar.
Syariat utang-piutang sebagai relasi tolong-menolong antarmuslim tandas sudah. Yang punya uang ambisus pada profit. Sebodoh urusan babak-belurnya peminjam. Si peminjam pun sebisa mungkin ra urusan sama kewajibannya membayar utang.
Begitupun pada tamsil dalil relasi lelaki-perempuan. Jika terjadi praktik pelecehan seksual, misal pelakunya adalah lelaki, para lelaki berkecenderungan menyalahkan si perempuan dengan dalih tak menutup aurat dengan rapat. Tak berhijab. Tak pakai jilbab syar’i. Halah.
Sebaliknya, kubu perempuan, plus SJW lanangannya, tak kalah gahar menyergap para lelaki sebagai monster ngacengan, berotak selangkangan, atau lemah iman. Masak iman tumbang hanya karena melihat ketek? Hiihhh.
Kasus gelut beginian jika dikembaikan kepada dalilnya dalam Al-Quran, terang petanya, jenis kelaminnya.
Para lelaki diperintahkan-Nya menundukkan pandangan dan kaum perempuan diperintahkan-Nya menundukkan pandangan dan tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak serta tidak menghentakkan kakinya agar memicu gemerincing perhiasannya.
Kewajiban syar’i bagi lelakinya ialah sesederhana jaga matamu. Ojo jelatatan! Selesai.
Umpama di depanmu lewat perempuan yang tak berhijab, kelihatan keteknya, niscaya takkan terjadi keterjengatan apa-apa pada dirimu bila dirimu tetap menundukkan pandangan. Alias merubuhkan naluri syahwatinya.
Jadi, mau ada perempuan berpenampilan bagaimana aja, sebodohlah. Ndak akan mengguncang aminmu, karena imanmu bagus.
Urusan perempuan itu pamer aurat dan bahkan bergestur pating mleding kayak jemuran kesaut angin kencang adalah urusannya sama Allah. Bukan urusanmu—tentu kecuali ia anggota keluargamu, ya. Sekali lagi, urusanmu ialah jaga mata, tahan acungan!
Di sisi lain, kewajiban syar’i bagi perempuan ialah tiga hal di atas, yang berinti pada jangan pamer aurat. Titik.
Bila Anda telah melakukannya, dan masih saja ada mata bedes lanang yang jelalatan padamu atau melucahimu, hal tersederhana ialah abaikan, tinggalkan.
Jika hendak melawan, ya silakan. Selanjutnya, ihwal tidak menjaganya si lelaki kepada pandangannya sehingga melakukan lucahan, itu secara spiritual adalah urusannya dengan Allah.
Relasi sosial lelaki-perempuan niscaya akan baik-baik saja jika kedua dalil ini digenggam dengan tepat berdasar jenis kelaminnya. Dari kedua dalil tersebut kita juga memahami bahwa harmoni relasi itu menjadi tanggung jawab kedua pihak. Tak bisa sebelah saja.
Namun karena kini cenderung tak dipakai lagi, rawanlah terjadi lucahan-lucahan itu. Si lelaki lagi-lagi menyalahkan sandangan perempuan—padahal itu bukan ranahnya—dan di perempuan menyalahkan mata lelaki—padahal itu pun bukan ranahnya.
Dalil-dalil beginian cukup banyak dalam khasanah Al-Quran dan Hadis. Ada lagi, misal, dalam hal tamu-bertamu. Ada pula dalam hal sabar. Bahkan juga termasuk dalam hal berdakwah, lho.
Mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan (amar ma’ruf nahi munkar), ada dalilnya. Namun, batasannya adalah jangan sampai memicu perpecahan dan permusuhan. Sederhananya, ketegangan. Ini dalil buat tukang da’i. Sebaliknya, buat yang didakwahi, ada pula dalilnya untuk dipegang.
Jika tukang da’i semata memegang dalil nahi munkar, remuklah urusan sosial berikutnya. Jika yang diajaki menggunakan dalil “hidayah semata karunia Allah”, bablaslah peluangnya untuk menuju kemaslahatan. Kacau.
Sebagai awalan, demi kebaikan kita sendiri, mulai sekarang mari belajar meninggalkan kebiasaan lama memasang popok di kepala, sambal teri di mata, dan sempak dengan sisi berjaring-jaring di wajah.