MOJOK.CO – Singkatan dari apa sih kata “MD” dalam nama Mahfud MD? Apa jangan-jangan karena blio dari Madura gitu ya, terus jadi pakai MD gitu?
Dalam semesta nama-nama orang terkenal, singkatan pada nama sering memberi kesan keren. JK Rowling misalnya. Atau kalau mau orang terkenal dalam negeri ada Addie MS, Fariz MR, bahkan sampai Puthut EA pun ikut-ikutan.
Kesan keren itu juga muncul ketika kita menyebut nama seorang Mahfud MD, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang “nyaris” menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2019 kemarin. Uniknya, karena kesan keren sudah muncul dari model nama singkatan gituan, orang-orang cenderung tidak peduli singkatan “MD” itu sebenarnya apa sih?
Kalau kamu mencoba mencari nama asli blio di Wikipedia atau literatur lainnya, nama yang tercantum ya cuma Mohammad Mahfud MD doang. Tak ada penjelasan “MD” di sini singkatan dari apa.
Karena tak ada penjelasan secara terang, beberapa orang sempat menduga bahwa nama ini sebenarnya singkatan dari “Menistry of Defence” alias Menteri Pertahanan. Ini lumrah saja, soalnya seperti yang kita juga sama-sama tahu, Mahfud MD memang pernah menjadi Menteri Pertahanan pada 2000-2001 era Presiden Gus Dur.
Di sisi lain, ada juga yang menduga kalau “MD” di sini artinya adalah gelar akademik. Medical Doctor atau Doctor of Medicine. Ini gelar yang sangat mentereng sekali. Sama menterengnya dengan jabatan “Profesor” seperti milik Mahfud MD sekarang. Maklum, soalnya MD ini merupakan gelar akademik tertinggi bagi dokter dan ahli bedah.
Selain singkatan jabatan di masa lalu dan gelar akademik, lebih gampang sebenarnya kalau gelar “MD” sebenarnya untuk menjelaskan asal-usul sosok yang akan jadi menteri di era Presiden Jokowi ini. Karena Mahfud MD lahir di Sampang, 13 Mei 1957, dan Sampang itu ada di Madura, bisa jadi “MD” ini maksudnya adalah Madura.
Tapi, tenang, tiga dugaan itu tak ada yang valid. Si empunya nama pernah menjelaskan ketika wawancara dengan Deddy Corbuzier pada 2018 dalam program Hitam Putih, bahwa penjelasan nama “MD” itu tak serumit yang dipikirkan orang.
Begini ceritanya.
Di Madura, ada jenis nama-nama yang umum dipakai orang tua untuk memberi nama anaknya. Salah satunya adalah nama Mahfud. Nah, karena nama ini umum sekali di Madura, Mahfud MD yang masih berusia 12 tahun bertemu dengan dua orang teman sekelas yang namanya sama persis saat Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Pamekasan. Sebuah sekolah setingkat SMP.
Tentu saja hal ini bikin urusan presensi jadi ribet. Ada tiga Mahfud dalam satu kelas, dan guru Mahfud MD, Pak Asbun Nawawi, kebingungan kalau mau manggil tiga siswanya ini. Akhirnya dibikin kesepakatan, masing-masing Mahfud diberi penanda.
Ada Mahfud A, Mahfud B, dan Mahfud C. Kebetulan Mahfud MD dapat yang B.
Hanya saja ketika dipikir-pikir lagi, seminggu kemudian si guru merasa pemberian kode ini kesannya jelek. Kayak kode angkot saja ya kan? Akhirnya dipilih pembeda dengan melabeli nama bapak masing-masing. Kira-kira jadi begini percakapannya.
“Nama bapak kamu siapa?” tanya Pak Asbun Nawawi, ke Mahfud A.
“Musyafa’, Pak,” kata
“Oh, berarti namamu Mahfud Musyafa’,” kata Pak Asbun Nawawi.
“Bapak kamu siapa namanya?” tanya Pak Asbun, kali ini tanya ke Mahfud MD muda.
“Mahmodin, Pak,” jawab Mahfud MD muda.
“Lalu siapa nama bapakmu?” tanya Pak Asbun ke Mahfud C.
“Hasan Basri, Pak.”
Akhirnya tiga siswa PGA di Pamekasan pada tahun 1971 itu punya nama baru. Mahfud Musyafa’, Mahfud Mahmodin, dan Mahfud Hasan Basri. Nama yang hanya berlaku di dalam kelas saja.
Sayangnya, Mahfud MD muda merasa kalau nama “Mahmodin” ini kesannya kok kayak kampungan gitu. Kesannya ndeso mungkin. Sudah nama Mahfud di Madura cukup pasaran, ditambah Mahmodin lagi.
Nah, biar tetap merasa keren—ya maklum, blio saat itu kan masih masa puber—Mahfud MD berinisiatif menyingkat nama di belakangnya menjadi nama yang kita kenal sekarang. Dari Mahmodin jadi MD.
Masalahnya, nama yang sebenarnya cuma sebagai pembeda di kelas ini terbawa sampai lulus sekolah setingkat SMP itu. Nama di ijazah ternyata keblabasan sampai tertulis “Mohammad Mahfud MD”.
Wajar saja, soalnya saat itu, tahun 1974, ijazah sekolah masih ditulis manual pakai tangan. Hal tersebut terus berlanjut ke tingkat setara SMA, kuliah, dan sampai sekolah doktornya.
Karena rumit mengganti nama di ijazah, Mahfud MD akhirnya lebih memilih mengganti namanya sendiri di akta kelahiran. Menyesuaikan dengan nama di ijazahnya. Nama itulah yang kemudian dikenal luas oleh kita semua.
Kisah semacam ini seolah merupakan manifestasi nyata dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang sangat terkenal, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
BACA JUGA Mahfud MD Akui Pernah Tolak Tawaran Gerakan #2019GANTIPRESIDEN atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.