Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pak Din Syamsuddin Sebaiknya Mencintai Sunda Wiwitan

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
25 Agustus 2017
A A
Sunda Wiwitan, Sunda, Ciung Wanara.MOJOK.CO

Ilustrasi - Ciung Wanara, Simbol Rakyat Melawan Tirani Tanpa Kekerasan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Semua bermulai ketika masyarakat Baduy Dalam meminta supaya agama nenek moyang mereka, Selam Sunda Wiwitan, dimasukkan ke dalam kolom agama di KTP. Iya, agama nenek moyang, agama yang di pelajaran IPS dulu dinamai animisme dinamisme.

Nah, gara-gara itu persoalan kemudian muncul.

Ternyata, nggak semua orang sepakat bahwa konsep ketuhanan masyarakat Baduy layak disebut agama. Termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin.

“Menurut saya itu bukan agama,” kata Pak Din, “bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah.”

Baiklah, bisa dimaklumi jika Bapak Din meragukan Sunda Wiwitan sebagai din. Soalnya standar agama versi belio adalah: “Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya. Kalau kepercayaan-kepercayaan masyarakat, apalagi ada akar pada agama tertentu, itu tidak bisa dipahami sebagai agama.”

Tapi oke, kita ikuti aturan main Pak Din. Sebenarnya apa sih Sunda Wiwitan?

Kalau kita mau baca-baca, salah satunya artikel Ira Indrawardana berjudul Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, yang-bukan-agama-menurut-Pak-Din ini usianya jebul sudah sangat tua. Bahkan jauh lebih tua daripada agama Islam atau Kristen—dua agama terbesar di dunia dan di Indonesia.

Lha piye, usia Sunda Wiwitan diduga sudah ada sejak 2000-3000 tahun sebelum masehi je. Periode di mana Gajah Mada jadi kromosom aja belum.

Ebuset, apa-apaan ini? Islam baru ada pada abad ke-7, Kristen kalau ngikutin kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih juga di tahun nol. Belagu bener ini Sunda Wiwitan main dulu-duluan.

Dari sini, kalau mau main akar-akaran, siapa yang lebih dulu mengakar di Nusantara juga udah kelihatan tho?

Kalau dikatakan akar mereka sama dengan agama yang ada di Indonesia ya enggak juga. Lha wong mereka ada lebih dulu.

Lagipula kalau mereka ada akar dengan agama tertentu, bukankah itu bisa malah semakin berbahaya? Ingat yang terjadi dengan Lia Eden. Halah, jangankan Lia Eden, yang sesama Islam kayak penganut Syiah aja bisa dibantai.

Tapi, sebelum ngomong jauh ke mana-mana kita harus membatasi dulu, apa itu “Sunda” dalam Sunda Wiwitan. Ya gimana, untuk menjelaskan secara ilmiah kan kita perlu kajian epistomologisnya juga. Namanya juga ilmiah. Biar sesuai aturan main.

Hal ini penting soalnya kata “Sunda” itu bisa dimaknai dalam banyak kategori. Secara filosofis, Sunda berarti bodas (putih), bersih, dan … ya pokoknya yang baik-baiklah. Secara etnis, kita tahu etnis Sunda. Dan bisa juga secara geografis, yang berarti penamaan suatu wilayah berdasarkan peta zaman dulu.

Iklan

Kita mengenalnya sekarang dengan istilah “Sunda Besar” untuk nyebut Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan, dan “Sunda Kecil” untuk nyebut pulau-pulau kecil sebelah timur Pulau Jawa. Dari Pulau Bali, Lombok, Flores, Pulau Roti, dan seterusnya.

Artinya, Sunda Wiwitan tidak bisa hanya dimaknai sebagai agamanya orang-orang suku Sunda saja, melainkan juga kepercayaan orang-orang yang berada di “wilayah” Sunda.

Di sisi lain, kata Wiwitan memiliki dua arti. Pertama, “wiwitan” sebagai asal mula, di mana Sunda Wiwitan bisa dimaknai sebagai Sunda Asal atau Sunda Asli. Artinya secara literal dimaknai sebagai keyakinan orang Sunda awal. Kedua, Wiwitan juga bisa dimaknai sebagai wit-witan atau pepohonan. Hal ini tercermin dari pandangan orang Baduy Dalam yang memelihara keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitar.

Sunda Wiwitan mempercayai Tuhan sebagai Hyang Maha Tunggal Esa. Ada kepercayaan satu kekuasaan tunggal yang dinamai Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa). Ya, lumayan sama seperti yang ada di Pancasila sila pertama.

Hanya saja, bagi mereka, dzat Tuhan itu ada di mana-mana, sebab Tuhan tidak bisa dipisahkan dari ciptaan-Nya. Itu kenapa penganut Sunda Wiwitan begitu menghargai alam sekitarnya.

Bagi mereka, semua adalah dzat Tuhan, sehingga semua perlu dihormati sebaik-baiknya. Termasuk manusianya, alamnya. Barangkali itu yang bikin orang-orang ini begitu santun dan merkewuhi karena sikap takzimnya kepada sesama.

Kalau kepercayaan masyarakat Baduy Dalam ini dianggap tidak bertuhan sama sekali, ya nggak tepat. Mereka bertuhan kok, cuma cara memahami Tuhannya saja yang beda dengan agama resmi pemerintah.

Jika ada kelemahan dari Sunda Wiwitan, barangkali karena Sunda Wiwitan tidak mengenal syiar atau berdakwah; menyebarluaskan atau punya misi tertentu untuk menjaring penganut sebanyak-banyaknya seperti agama impor di Indonesia. Sunda Wiwitan mah woles aja. Ada yang mau ya boleh, nggak ada yang mau juga nggak apa-apa. Toh mereka bisa tetep eksis tanpa perlu jualan agama.

Masalahnya, justru sikap woles inilah yang bikin orang-orang macam Pak Din nggak merasa bahwa kepentingan penganut Sunda Wiwitan sebagai hal yang perlu dipenuhi. Buat apa? Agama nenek moyang mah nggak usah dipedulikan. Barangkali dalam pandangan Pak Din, Sunda Wiwitan cuma cagar budaya yang bisa dibanggakan ke negara luar sebagai bukti keanekaragaman Indonesia.

Tidak ada yang salah dengan agama nenek moyang kita. Yang salah justru kita yang tidak mau menghargai kepercayaan mereka.

Hal yang mungkin luput dari perhatian Pak Din adalah Islam sendiri juga hadir di Mekah pada abad ke-7 sebagai upaya “pengenalan kembali” agama nenek moyang. Agama nenek moyang kota Mekah yang sudah berabad-abad dilupakan dengan pembangunan berhala-berhala di sekitar Kakbah.

Keberadaan Nabi Muhammad adalah upaya agar kepercayaan orang-orang di Mekah kembali ke agama nenek moyang. Nenek moyang yang bernama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Yang menemukan mata air zam-zam dan yang membangun Kakbah. Jadi, jika hanya karena alasan agama Sunda Wiwitan adalah agama nenek moyang dan karena itu jadi tidak layak dianggap resmi, memangnya agama Islam bukan?

Memang betul, Sunda Wiwitan tidak sebesar agama-agama yang diakui di Indonesia. Ritus agamanya juga tidak masuk dalam nalar agama-agama besar. Tapi Sunda Wiwitan bisa jadi adalah representasi bagaimana kita menghargai apa yang sudah dimiliki oleh bangsa ini.

Menolak kehadiran mereka dalam sistem administrasi negara sama saja mengingkari bagaimana jargon iklan Maspion yang selalu muncul dalam jeda tayangan televisi kita:

Cintailah ploduk-ploduk En-do-ne-sa!

Lha wong pipa sama kompor aja bisa kita cintai, masa agama nenek moyang nggak?

Terakhir diperbarui pada 26 Agustus 2017 oleh

Tags: Baduy DalamDin SyamsuddinSelam Sunda WiwitanSundaWunda Wiwitan
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Sunda Wiwitan, Sunda, Ciung Wanara.MOJOK.CO
Histori

Ciung Wanara, Simbol Perlawanan Rakyat Menghadapi Tirani Tanpa Kekerasan

23 Oktober 2025
Tasikmalaya Bikin Malu: Santri, tapi Fitnah Hindia Memuja Setan MOJOK.CO
Esai

Saya Malu Menjadi Orang Tasikmalaya, Kota yang Menolak Hindia karena Tuduhan Pemuja Setan tapi Membiarkan Oknum Kiai Cabul ke Santriwati

17 Juli 2025
Jadi Karyawan Alfamart Kendal 10 Tahun, Nekat Kerja di Bogor karena Terobsesi FTV, Berakhir Patahkan Mitos Nikahi Perempuan Sunda.MOJOK.CO
Ragam

Kerja Alfamart di Kendal 10 Tahun, Nekat Resign Pindah Kerja di Bogor karena Terobsesi FTV sampai Nikahi Perempuan Sunda

18 Mei 2024
Kisah kerupuk kaleng sunda menguasai orang Jogja sejak 1930-an
Geliat Warga

Kisah Kerupuk Kaleng Sunda Menguasai Lidah Orang Jogja Sejak 1930-an 

10 September 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.