Sejak dulu Kiai Kholil selalu memakai sarung dan tak pernah terbiasa mengenakan celana. Sampai usia sepuhnya kini, Kiai Kholil pun masih konsisten selalu memakai sarung di acara-acara apa saja, baik acara formal maupun non formal. Rapat kampung, kondangan, sampai silaturahmi ke kerabat atau saudara.
Bukan bermaksud sok alim atau bagaimana, urusan memakai sarung di segala kondisi ini sudah kadung jadi kebiasaan. Dan yang namanya kebiasaan, tentu agak sulit untuk diubah. Namun, ada yang berbeda ketika Kiai Kholil didatangi oleh putranya Gus Mut pada pagi itu.
“Kenapa harus pakai celana sih, Pak?” tanya Gus Mut kepada bapaknya sedikit bingung.
“Ya nggak apa-apa, kan sekali-kali Bapakmu ini pengen keren juga,” kata Kiai Kholil.
Gus Mut dimintai tolong oleh Kiai Kholil yang ingin meminjam celana. Tak ada angin tak ada hujan, tentu Gus Mut heran, kenapa bapaknya tiba-tiba ingin sekali memakai celana panjang? Tak bertanya lebih lanjut, Gus Mut pun segera mencarikan celana yang pas untuk bapaknya.
“Oh, iya, sekalian nanti Bapak minta diantar ke Universitas Islam yang dekat Balai Kota itu ya?” pinta Kiai Kholil ke Gus Mut.
Gus Mut yang tadinya hendak pergi, berhenti sejenak.
“Kok tumben ngisi ke kampus, Pak?” tanya Gus Mut.
“Iya, ini Pak Rektor kan kenalan Bapak dari dulu. Beberapa hari lalu minta Bapak ngisi kuliah umum soal keberagaman dan toleransi,” kata Kiai Kholil.
“Wah, keren. Bapak sekarang diakui dunia pendidikan formal nih,” goda Gus Mut.
“Sudah sana, ambilin celanamu sambil panasin mobilnya sekalian,” perintah Kiai Kholil ke putranya.
Tak berselang lama Gus Mut datang sambil membawa celana.
“Pilih yang mana ini, Pak?” tanya Gus Mut sambil menenteng beberapa jenis celana.
“Nggak usah milih. Yang kira-kira muat aja,” kata Kiai Kholil yang disambut tawa putranya.
“Berarti yang ini. Yang udah agak kusam ini,” kata Gus Mut sambil memberikan celana lamanya.
Kiai Kholil pun mencobanya sejenak, mencoba meyakinkan diri apakah dirinya masih pantas atau tidak memakai celana panjang.
“Wah, bapakku ternyata keren juga kalau celana. Sudah kayak dosen beneran,” goda Gus Mut, “Eh, sebentar, Pak, memangnya Bapak sudah punya sepatu?” tanya Gus Mut lagi.
Sebagaimana tak memiliki stok celana panjang, Kiai Kholil baru ingat bahwa dirinya juga tidak punya sepatu. “Oh iya, Mut. Aku lupa, aku kan nggak punya sepatu,” kata Kiai Kholil jadi khawatir.
Gus Mut cuma terkekeh saja mendengar bapaknya seperti anak kecil yang akan berangkat sekolah pertama kali. “Ya sudah, ada sepatuku kok Pak di dalam mobil, nanti pakai itu aja,” kata Gus Mut.
Keduanya lalu berangkat menuju Universitas Islam yang dimaksud. Di dalam perjalanan, Gus Mut masih bertanya-tanya kenapa bapaknya saat itu repot sekali Cuma mau kasih kuliah umum. Padahal biasanya, jika mengisi acara-acara pengajian di mana pun tempatnya, Kiai Kholil selalu berpakaian apa adanya. Biasa pakai sarung, ya pakai sarung saja. Biasa pakai sandal selop, ya sudah, sandalan saja terus.
Hampir tidak ada ceritanya Kiai Kholil memakai baju resmi ketika ketemu Bupati atau kepala institusi lain di kantor-kantor pemerintahan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan Gus Mut selama nyetir.
“Memang kenapa sih, Pak? Kok mau-maunya repot begitu? Sampai pinjem celana sama sepatu segala,” tanya Gus Mut yang masih belum mendapat jawaban sama sekali dari tadi.
“Ya ini kan acara bukan pengajian, melainkan kuliah umum. Dan yang namanya kuliah ya setahu Bapak ya harus resmi. Kalau acaranya pengajian di kampus, ya mungkin bapakmu ini bakal sarungan seperti biasa, tapi ini kuliah. Ya harus menyesuaikan sama acaranya, bukan semata-mata karena tempatnya,” kata Kiai Kholil.
Tak berselang lama, mobil Kiai Kholil memasuki halaman Universitas Islam. Keadaan sangat lain, dari sejak gerbang sampai memasuki ruang auditorium sebagai tempat acara, suasana kampus malah seperti pondok pesantren.
Pasalnya, hampir semua pegawai dan pejabat kampus yang sudah bersiap menyambut Kiai Kholil malah memakai sarung dan sandal selop semua.
“Lah, ini bener kampus? Kok kayak pesantren begini ya, Pak?” tanya Gus Mut heran sambil masih celingak-celinguk bingung.
Kiai Kholil tak kalah bingung. “Ini kita salah tempat atau bagaimana sih, Mut?”
Usai turun dari mobil Kiai Kholil disambut seseorang yang sudah dikenalnya.
“Oh, Pak Rektor,” kata Kiai Kholil kaget.
“Pak Kiai, Alhamdulillah. Sebuah kehormatan,” kata Pak Rektor sambil berusaha mengecup tangan Kiai Kholil—meski buru-buru ditarik oleh Kiai Kholil.
Kiai Kholil terkejut dengan busana yang dikenakan oleh semua orang yang ada di kampus. Lebih terkejut lagi karena Pak Rektor yang menyambutnya saat itu mengenakan sarung, baju batik, dan sandal selop. Busana yang biasa dikenakan Kiai Kholil kalau mengisi pengajian.
Di sisi lain, Pak Rektor dan hampir semua pejabat kampus yang ikut menyambut terkejut dengan dandanan Kiai Kholil. Memakai baju batik, celana panjang, dan sepatu pantofel. Bahkan butuh waktu bagi setiap orang yang berada di lapangan depan auditorium menyadari bahwa yang baru saja datang Kiai Kholil.
“Ya Allah Gusti, ternyata saya salah kostum ya?” kata Kiai Kholil sambil terkekeh melihat semua orang di sekitarnya memakai sarung dan sandal selop.
Pak Rektor tertawa.
“Bukan cuma panjenengan saja yang salah, Pak Kiai. Kita semua sama-sama salah kostum. Kami berusaha menyesuaikan diri dengan Kiai Kholil dengan sarung dan sandal selopnya, eh, malah kami kalah karena Kiai Kholil malah pakai celana panjang dan sepatu pantofel yang biasa kami kenakan,” kata Pak Rektor.
“Aku kan menyesuaikan acaranya, Pak Rektor. Namanya saja kuliah umum. Masa ada kuliah kok yang ngajar pakai sarung sama sandal selop?” kata Kiai Kholil.
“Lah, berarti, mahasiswa dan pejabat kampus yang salah ini, karena semua peserta kuliahnya malah pakai sarung dan sandal selop semua,” kata Pak Rektor yang disambut senyum lebar Kiai Kholil.
“Waduh, kalau begini, hilang sudah saya mau ngomong apa nanti waktu kuliah umum,” kata Kiai Kholil.
Pak Rektor terkejut mendengarnya dan khawatir, “Lah kok bisa, Pak Kiai?”
“Ya untuk apa ngomongin toleransi dan keberagaman orang-orang yang sudah ngerti—bahkan sampai mempraktikkannya dari hal-hal kecil kayak begini?”
*) Diinspirasi dari kisah nyata KH. Ahmad Mustofa Bisri dengan Dr. KH. Abdul Ghofur Maemoen.