Setelah terkuak fakta bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam, sekarang pantas kita bertanya, seperti apa suasana Lebaran di masa pemerintahan Majapahit? Nyatanya, sekeras apa pun saya berusaha, saya tetap tidak berhasil menemukan catatan yang menggambarkan suasana Lebaran di era dynamic duo Patih Gaj Ahmada dan Sultan Ay Amwuruk.
Alhasil, daripada susah-susah berkutat dengan naskah-naskah kuno yang belum pasti kebenarannya dan tidak ada jaminan di masa depan tidak akan diputarbalikkan orang lain, saya memilih untuk mencatat hal-hal unik yang terjadi di Lebaran tahun ini, sekitar 650 tahun setelah kepergian Sang Mahapatih yang katanya baru mau buka puasa kalau sudah berhasil mempersatukan Nusantara.
Mula-mula adalah mudik, kebiasaan yang entah sudah ada sejak Majapahit atau malah lebih kuno lagi. Jika mengingat betapa luas daerah yang berhasil dipersatukan Sang Mahapatih, bukan tidak mungkin kebiasaan itu dimulai atau setidaknya marak di era beliau. Dan mengingat kala itu transportasi darat belum digemari seperti sekarang, saya pikir mungkin selain bersumpah untuk mempersatukan Nusantara, beliau juga menjanjikan tol laut kepada rakyatnya.
Hal lain yang unik yang menyertai kebiasaan mudik adalah kebiasaan membagikan uang kepada anak-anak. Kebiasaan ini juga sudah tua walaupun seberapa tuanya, saya tidak tahu pasti pula. Yang unik dari kebiasaan membagikan uang untuk anak-anak adalah munculnya istilah “uang baru tapi lama” dan “uang baru edisi baru”. Seumur hidup saya yang belum tua-tua amat ini, baru kali ini saya dengar istilah demikian.
Sepengamatan saya, tidak ada anak-anak yang merindukan gambar Tuanku Imam Bonjol di lembaran lima ribuan atau sempat-sempatnya nanya agama para pahlawan yang wajahnya tercetak di uang yang mereka terima. Mungkin mereka justru lebih paham pepatah uang tidak punya agama. Atau mungkin karena mereka belum jadi anggota parpol saja ….
Selain mudik dan uang salam tempel, hal lain yang juga dipikirkan rakyat adalah hidangan Lebaran. Saya sempat membaca teks berjalan di televisi tentang imbauan Bu Susi untuk mengganti hidangan Lebaran dengan ikan. Dengan berat hati saya terpaksa melaporkan bahwa rakyat Indonesia, khususnya di sekitar rumah mertua saya, masih lebih memilih menenggelamkan ketupat dan daging ayam ke dalam kuah opor mereka. Mungkin karena ikan dan opor memang bukan pasangan ideal. Mohon kebijaksanaan Ibu Susi untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan soal ini. Jangan sampai wilayah Klaten, Delanggu, dan sekitarnya hilang dari peta karena ditenggelamkan hanya karena persoalan ini. Mohon dimaafkan lahir batin, Bu.
Setelah mudik, bagi-bagi uang, dan makan-makan adalah hiburan. Televisi masih jadi primadona. Di tahun-tahun yang lalu orang sering bercanda bahwa bulan puasa ditandai dengan mulai maraknya iklan sirup di televisi, dan lebaran sudah sah manakala film-film Warkop DKI sudah muncul. Ini sebenarnya mirip dengan perayaan Natal, bedanya hari raya umat kristiani ditandai dengan pemutaran Home Alone.
Tahun ini sedikit berbeda. Dari promosi-promosi film akan tayang, saya tidak melihat film-film Warkop ada dalam daftar. Saya malah melihat jajaran film-film nasional lain, mulai dari yang bergenre komedi, drama, sampai religius. Ini membahagiakan. Akhirnya kita bisa lepas dari yang baju merah.
Ketika bangun di pagi Lebaran, seperti biasa saya melihat sebagian besar stasiun televisi menyirarkan langsung salat Id dari Masjid Istiqlal. Kalau dipikir-pikir, target penonton siaran itu kan justru lagi shalat Id semua. Mungkin cuma di hari Lebaran televisi bareng-bareng menyiarkan sesuatu yang sama bukan untuk mengejar rating. Cuma karena kebiasaan.
Pada sesi khotbah yang disampaikan khatib Bapak Quraish Shihab, saya sempat mendengar sekilas sejarah dan etimologi kata iblis. Kata beliau, kata iblis berasal dari diabolos yang artinya ‘orang yang memfitnah, yang memecah belah’. Iblis, kata beliau lagi, memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.
Ketimbang teringat kepada orang-orang yang memfitnah Pak Quraish bahkan di detik-detik menjelang Idulfitri, saya malah teringat Patih Gaj Ahmada. Soalnya, berkebalikan dengan iblis, beliau ini justru mau mempersatukan Nusantara di bawah slogan bhinneka tunggal ika.
Dari sini saya semakin yakin, Mahapatih Gaj Ahmada memang beragama Islam, UGM memang harus ganti nama, dan orang yang bertanya “Kapan nikah?” di Lebaran tahun ini adalah orang yang tidak mau belajar dari sejarah.