Doa
Di bagian tengah Pulau Halmahera, terdapat sebuah pulau berpasir putih yang luas nan indah. Kokoya, begitu masyarakat setempat menyebut pulau itu. Seisi pulau dipenuhi kebun kelapa, pisang, dan ubi. Kebun itu milik dua sahabat karib, Pak Pendeta dan Pak Haji.
Suatu hari keduanya hendak menuju pulau untuk mengangkut kopra yang telah dipanen dan akan dijual kepada seorang juragan di ibu kota kabupaten. Menggunakan perahu semang kecil, mereka membelah lautan menuju Pulau Kokoya.
Tiba di pulau, Pak Pendeta dan Pak Haji langsung menaikkan karung-karung berisi kopra ke atas perahu. Tidak hanya kopra, pisang dan ubi ikut diangkut hingga penuh seisi perahu. Setelah semuanya sudah dimuat, keduanya langsung berangkat menuju ibu kota kabupaten.
Dalam perjalanan, naas, tiba-tiba terjadi badai. Hujan, gelombang tinggi, dan petir melanda. Karena takut tenggelam, Pak Pendeta kemudian berdoa dan menutup dengan kata “Heleluya!”
“Woi, Pak Pendeta! Itu halilintar, bukan haleluya!” timpal Pak Haji.
Pak Pendeta hanya mesem-mesem. Gelombang makin meninggi, angin bertiup kencang. Pak Haji mulai ikut khawatir. Ia takut tenggelam karena muatan begitu banyak. Pak Haji lalu berdoa sekuat-kuatnya.
“Ya Allah, lindungi kami. Hamba mohon selamatkan kami. Beradalah di samping kami, Ya Allah. Dampingi kami di sini.”
Mendengar itu Pak Pendeta langsung protes kepada Pak Haji.
“Woi, Pak Haji, ngana ini, muatan so banyak begini, hampir tenggelam, ngana mohon tambah penumpang. Jangan sudah akan kita tenggelam!”
Ke Jakarta, Duduknya di Belakang
Suatu hari Pak Haji berangkat ke Jakarta atas undangan dari Kementerian Agama. Ini adalah kunjungan pertama beliau ke Ibu Kota dengan menggunakan transportasi burung besi alias pesawat terbang. Dulu, ketika berangkat ke Tanah Suci, ia masih menumpang kapal laut. Kalau berangkat ke kota-kota terdekat di Maluku, biasanya hanya naik kapal Umsini punya Pelni.
“Para penumpang diharap segera naik ke pesawat karena sebentar lagi pesawat akan berangkat,” bunyi pengumuman dari pengeras suara.
Para penumpang termasuk Pak Haji bergegas naik ke tangga pesawat. Setelah masuk kabin, Pak Haji langsung rebutan tempat duduk dan menempati kursi paling depan, kelas eksekutif.
Seorang penumpang yang merasa memiliki kursi tersebut berdiri di dekat Pak Haji.
“Pak, ini tempat duduk saya.”
“Ah, sembarangan saja, saya sudah duluan duduk di sini. Anak, kamu tidak pernah naik kapal kah? Siapa cepat dia dapat tempat.”
Si penumpang lalu memanggil pramugari dan mengadukan soal ini. Pramugari lalu mendatangi Pak Haji.
“Selamat pagi. Boleh saya lihat boarding pass Bapak?”
Pak Haji lalu menunjukan boarding pass-nya.
“Tempat duduk Bapak di belakang, pada kursi nomor 45C. Ini tempat duduk orang lain, Pak. Terima kasih.”
“Ah, tidak bisa. Saya sudah duluan duduk di sini, masak disuruh pindah ke belakang. Enak saja. Emangnya kamu siapa?”
“Saya pramugari di pesawat ini, Pak.”
“Apa itu pramugari?” tanya Pak Haji.
“Saya bertugas untuk melayani seluruh penumpang yang terbang dengan pesawat kami, Pak”
“Adooo, ternyata cuma pelayan saja mau atur-atur saya.”
Kehabisan akal, si pramugari lalu memanggilkan sang pilot. Pilot pesawat itu lalu menuju ke kursi yang diduduki Pak Haji.
“Kamu siapa lagi?”
“Saya pilot di pesawat ini, Pak”
“Apa itu pilot? Mau apa kamu?”
“Saya petugas yang menerbangkan pesawat ini, Pak. Oh ya, saya hanya mau pastikan bahwa tempat duduk Bapak benar.”
“Oh, kamu cuma sopir ternyata. Tadi pelayan, sekarang sopir yang mau atur-atur tempat duduk saya.”
Mendengar perdebatan yang tak kunjung selesai itu, seorang penumpang asal Halmahera mendekati Pak Haji untuk mencoba menjelaskan.
“Pak Haji tujuan mau ke mana kah?”
“Saya mau ke Jakarta, anak.”
“Oh kalau ke Jakarta itu tempat duduknya di belakang. Kalau duduk di sini nanti diturunkan di Tidore.”
“Ooo, bagitu. Kalian semua tidak bilang dari awal sih.”
Ada Jembatan tapi Sungainya Mana?
Setelah melewati penerbangan selama empat jam dari Ternate, akhirnya pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Para penumpang turun dari pesawat lalu menuju tempat pengambilan bagasi. Suasana bandara yang ramai dengan penumpang dari berbagai daerah, tentu saja Pak Haji bingung-bingung, beda dengan bandara Ternate.
“Mau ke mana, Pak?” tanya seorang sopir taksi seraya menawarkan jasa transportasi.
“Ke kantor Kementerian Agama.”
“Ayo, saya yang antar saja, Pak.”
Pak Haji pun mengiyakan dan si sopir langsung membopong tas pakaian milik Pak Haji ke dalam mobil. Mobil lalu melaju keluar parkiran bandara.
“Sudah berapa kali ke Jakarta, Pak?”
“Saya baru pertama kali ini, Mas.”
“Oh begitu, mau saya ajak jalan-jalan keliling Jakarta?”
“Boleh sekali, kebetulan saya ingin lihat-lihat.”
Saat melintasi flyover, Pak Haji tiba-tiba menyeletuk.
“Orang Jakarta ini pintar-pintar bodok lagi e.”
“Wah, emangnya ada apa, Pak?”
“Lah ini, orang Jakarta buat jembatan tinggi-tinggi dan panjang-panjang padahal tidak ada sungai di bawah.”
Kaos Bola yang Gambar Kucing Balompat
Sudah seminggu ini Pak Haji di Jakarta mengikuti kegiatan dari Kementerian Agama. Setelah selesai kegiatan, Pak Haji berniat belanja oleh-oleh buat sanak saudara di Halmahera. Pak Haji teringat sahabat baiknya, Pak Pendeta. Pak Haji lalu menelepon.
“Halo, Pak Pendeta, apa kabar? Kita ada balanja oleh-oleh untuk ngoni di kampung nih. Ngana mau pesan oleh-oleh apa?”
“Eee, Pak Haji, baik sekali e. Iyo, kebetulan saya punya cucu ini ada mau-mau beli kaos bola.”
“Aa kaos bola yang model bagimana? Nanti saya beli.”
“Kaos bola yang itu, di bagian dada ada gambar kucing balompat tu.”
“Hah? Kucing balompat?” tanya Pak Haji penuh heran.
“Iyo, pokoknya yang ada gambar kucing balompat.”
Pak Haji kemudian bertanya kepada para pedagang pakaian di pasar. Barulah ia paham, ternyata yang dimaksud Pak Pendeta dengan kaos bola bergambar kucing melompat di dada adalah jersey merek Puma.