MOJOK.CO – Seorang perempuan takut menghubungi teman dekatnya yang sudah hijrah. Pasalnya, dia yang masih penuh dosa, takut diterima lagi sebagai teman.
TANYA
Halo Mbak Au, saya mau curhat.
Saya Maemunah. Jadi, saya punya teman dekat sejak SMA, dan hubungan kami berlangsung hingga awal perkuliahan. Seiring berjalannya waktu, kesibukan dan prioritas kami mulai berbeda. Sehingga kami jadi jarang punya waktu untuk bertemu atau bahkan menyapa via chat. Sekalinya ingin mengetahui kabar dia, saya hanya melihat dari update-an story dia, maupun teman SMA kami yang sedang bersamanya. Hal ini membuat jarak komunikasi kami semakin jauh karena tidak mengetahui kabar secara langsung dari orangnya.
Sampai saat wisuda, dia akhirnya mengunggah foto wisuda dengan menggunakan toga di akun Instagram-nya, hal ini cukup mengagetkan karena selama ini dia belum pernah memposting foto di akun Instagram-nya sama sekali. Kemudian pikiran saya mulai beramsumsi hal-hal yang mungkin memotivasi dia untuk akhirnya meng-upload foto. Mungkin ini saat yang tepat untuk menjadi persona baru, mungkin momentum wisuda menjadi titik awal untuk karir selanjutnya, dan segala kemungkinan lain. Namun saya memutuskan untuk tidak memberi respon secara langsung kepada, bahkan saya mengurungkan niat untuk menekan tombol ‘like’.
Sampai akhirnya dia mulai memosting foto-foto dengan menggunakan busana syari, dan mem-follow akun-akun ‘hijrah’. Hal ini semakin membuat saya gelisah, karena pencitraan ‘ukhti syari’ yang sering saya nyinyiri sebagai riset di dunia nyata ini, benar benar dialami oleh teman saya sendiri. Bahkan saya ragu untuk menjalin silaturahmi lagi karena perbedaan pola pikir dan perilaku ini.
Dan setiap kali saya mencoba memberanikan diri untuk menanyakan kabar, saya selalu tertahan dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah dia masih melakukan aktivitas duniawi? Apakah dia benar-benar mengikuti kajian sepanjang waktu tanpa diselingi hiburan di indo.xxi? Apakah dia benar-benar menggunakan kulkas halal? Apakah jika kami bertemu kembali akan menambah dosanya karena saya masih penuh dengan dosa dan kesalahan?
Sekarang kami berada di satu kota yang sama dan sudah hampir satu setengah tahun kami belum bertemu kembali. Setiap kali saya ingin mulai mengumpulkan niat untuk bertemu, pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul kembali, apa yang perlu saya lakukan ya Mbak? Xixi :3
JAWAB
Halo juga Maemunah. Iya, saya baca dan saya mau jawab. Wqwq~
Mae, langsung saja, ya. Betul memang, menjaga dan merawat pertemanan itu tidak mudah. Apalagi kalau jaraknya sudah berjauhan. Hmmm, ini udah mirip-mirip pacaran jarak jauh gitu, lah. Pasti hubungan tersebut bakal dibumbui dengan yang namanya prasangka.
Dari ceritamu itu, kamu berpikir sedang merasa takut. Kamu takut kalau ternyata, dengan segala perubahannya itu, dia tidak bisa menerimamu lagi sebagai teman. Padahal, ketakutanmu itu belum terbukti apa-apa dan cuma sekadar memenuhi pikiranmu aja. Kamu menganggap dia tidak bisa menerima kamu. Padahal, sebetulnya, justru kamu sendiri yang masih belum bisa menerima dia. Iya, kan?
Kamu takut di-judge sama temanmu yang hijrah itu. Padahal kamu sendiri, diam-diam men-judge segala perubahannya. Kamu menganggap ketika dia memilih jalan hijrah, maka dia akan begini, begitu, dan seterusnya. Padahal, mah, kamu ketemu dia aja belum. Kamu hanya memperhatikannya sekelumit saja, Mae. Sekelumit dari aktivitasnya di media sosial, yang tak cukup untuk disimpulkan apa-apa.
Yang sedang kamu alami ini, namanya proyeksi. Kamu menganggap dia akan sulit menerima kamu dengan keputusan jalan hidupnya saat ini. Padahal sebetulnya, kamu sendiri yang masih kesulitan menerima dia dengan jalannya yang hijrah. Otakmu masih dipenuhi dengan prasangka dan judge tentang hidupnya.
Seperti yang entah kamu sadari atau tidak, itu jelas-jelas kamu sebutkan sendiri dalam ceritamu. Bahwa kamu, diam-diam sering nyinyir dengan hijrah dan pencitraan ‘ukhti syari’. Intinya, kamu sebetulnya masih kecewa sama dia dan belum bisa menerima segala perubahannya.
Mae, mungkin memang karena jarak, aktivitas, pergaulan yang berbeda, membuat pola pikir kalian pun juga ikut berbeda. Apalagi hal ini diperparah dengan jarangnya kalian berkomunikasi. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk memberanikan diri untuk menanyakan kabarnya saat ini, terlebih dulu. Cukupkan segala pikiran burukmu tentang, “apa yang bakal dia pikirkan tentangmu”. Mencoba menerka-nerka hal-hal semacam ini, tidak akan membuat pergerakan apa-apa. Yang ada, cuma bikin kamu capek-capek sendiri.
Kalaupun dengan hijrah dia tidak lagi fokus dengan aktivitas duniawi, nggak nontonin indo.xxi lagi, pakainya kosmetik, hijab, dan kulkas halal. Terus masalahnya di mana, Maemunah?
Toh, kebutuhanmu sama dia sekadar berusaha menjalin silaturahmi lagi, kan? Kalaupun dia melakukan segala perubahan itu. Ya, itu biar jadi urusan dia sendiri aja. Lha wong, kamu juga nggak ikutan urun modal apapun dengan jalan hijrahnya.
Kalaupun dia ternyata nggak mau temenan sama kamu lagi karena bergaul dengan kamu itu penuh dosa. Yaudah. Lagi-lagi itu jadi urusan dia, yang sok mengeksklusifkan dirinya, seolah nanti waktu mati, bisa ngubur dirinya sendiri.
Udahlah, Mae, hidup ini udah rumit, jadi nggak usah semakin memperumit hidupmu sendiri. Tinggal, tanya kabar aja kok pikirannya ke mana-mana. Ini cuma tinggal mencet-mencet hape, loh. Kalau nggak ada kuota, pakai wifi gratisan juga bisa. Toh, kamu nggak perlu pakai merpati dan menunggu satu dekade untuk menerima jawaban dari dia.