Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Cerbung Berbalas Fiksi

Liner Note Serius

Dea Anugrah oleh Dea Anugrah
19 November 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Baca cerita sebelumnya di sini.

Saya tak menyukai para selebritas. Ketika Ardyan Erlangga dari Vice Indonesia, yang sering menumpang tidur di kantor kami, menyampaikan temuan koleganya di Amerika Serikat tentang “kemungkinan” pengaruh sebuah novel obskur karangan penulis Indonesia terhadap Freddie Mercury dan David Bowie, saya cuek saja sambil diam-diam, di bawah meja, menggaruk buah-buahan saya buat menghalau bosan, tetapi Sabda Armandio mendengarkan dengan antusias. Ia berulang kali mengatakan, “Terus, terus?” sambil menuangkan anggur merah ke gelas-gelas kami.

“Terus, apa pentingnya?” pikir saya. Kabar kecil tentang orang-orang besar punya kesamaan yang begitu mencolok dengan Tuhan: ada di mana-mana, tetapi tidak berguna. Hanya rekaman tentang orang-orang sepele, yang dilupakan dan terpelanting bahkan dari tempat seremeh catatan-catatan kaki, yang menarik perhatian saya. Barangkali saya merasa sedang bercermin, atau barangkali sekadar bersimpati, kepada mereka. Barangkali saya membenci kebesaran karena tak dapat melihat diri saya dalam setiap gambarnya.

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat 

Bagi Dio, dua baris puisi Catetan Th. 1946 itu tak terpisahkan, tetapi saya selalu berhenti pada “tenggelam beratus ribu.” Tenaga kata-kata itu membuat asam urat saya kambuh. Banyak orang yang membaca buku puisi saya, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, menilai saya sebagai pribadi yang relaks, yang senang melucu-lucukan kesedihan dan penderitaan. Tahu apa mereka? Berjarak betul mereka itu. Asal tahu saja, saya lebih serius ketimbang Marcel Thee dan JRX yang dijadikan satu kemudian dikalikan empat.

Beberapa hari lalu, sehabis sebuah diskusi di toko buku Post, saya menyerang Hikmat Darmawan, orang berambut mullet dari Bandung yang mengatakan, “Beni Satryo lumayan jenaka dan relaks and he’s wow, tetapi sayang sekali tak cukup berani merelaksasi kehidupan beragama masyarakat Indonesia.” Dia mungkin berpikir waktu itu saya sedang coba-coba berlagak akrab, padahal saya mengoleskan misil alias minyak silit ke punggungnya.

Cukup soal itu. Sekarang, saya ingin mengatakan bahwa saya gembira dan sangat menghargai inisiatif Dio dan kawan kami Dea Anugrah—yang kini terbaring di rumah sakit karena demam berdarah dan dengan berat hati mengizinkan saya menggantikannya menulis untuk rubrik ini—buat menggali dan mengabadikan renik-renik kehidupan orang-orang sepele, termasuk Gapi Raja Itam dan Frans Ferdinandus Janurombang dari grup musik Axaxas. Saya tahu mereka melakukan itu karena mengendus pengaruh Arthur Harahap pada lagu-lagu Axaxas, tapi tetap saja. Perhatian kepada kaum kusam, meski dengan alasan berbeda, tetaplah keberpihakan.

Sila baca lebih jauh tentang Axaxas di sini dan dengarkan teaser album-mini mereka di sini.

Gapi dan Frans memang menarik, tetapi musik Axaxas, terus terang saja, buruk sekali. Saya sampai menangis waktu mendengarkannya buat pertama kali. Tetapi keburukan yang menakjubkan itu ampuh. Karena Axaxas, untuk sesaat, saya bisa lebih mencintai diri dan selera saya sendiri. Karena Axaxas, mendoan mbik-mbik, kudapan favorit saya, bahkan terasa lebih nikmat.

“Mendoan mbik-mbik itu apa, Ben?” tanya Dea tak lama setelah ia pulang dari Purwokerto, kota tempat saya tumbuh besar. Dia mendengar istilah itu di sana.

“Itu lho, De. Tempe yang, kalau digigit, bunyinya ‘Mas!’” jawab saya.

 

Salam,

Beni Satryo, penyair bernapas pendek dan penyelia Radio Cap Ayam

Baca cerita berikutnya di sini.

Terakhir diperbarui pada 26 November 2018 oleh

Tags: beni satryoberbalas fiksiCatetan Th. 1946cerpenMendoan
Iklan
Dea Anugrah

Dea Anugrah

Artikel Terkait

10 Tanda Kamu Harus Segera Meninggalkan Purwokerto MOJOK.CO
Esai

10 Tanda Kamu Harus Segera Meninggalkan Purwokerto Detik Ini Juga Sebelum Stres

3 Juni 2024
Purwokerto Terbuat dari Tumpukan Salah Paham MOJOK.CO
Esai

Purwokerto Itu Bukan Kota dan Bukan pula Kecamatan, tapi Sebuah Daerah yang Terbuat dari Tumpukan Salah Paham

3 Januari 2024
Museum BRI Purwokerto
Liputan

Dikenal Merakyat, BRI Ternyata Bermula dari Bank Priayi di Purwokerto

27 November 2021
Beda Cara Mangan Mendoan, Beda Artine: Kowe sing Endi? MOJOK.CO Mendoan, Gorengan Paling Enak di Dunia Itu, Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda
Kilas

Mendoan, Gorengan Terenak di Dunia Itu, Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda

1 November 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Suzuki Satria Pro: Bukti Suzuki Selalu Berhasil Bikin Produk Gagal MOJOK.CO

Suzuki Satria Pro Si Buruk Rupa: Bukti Suzuki Tidak Pernah Gagal Menciptakan Produk Gagal dan Entah Kenapa Mereka Masih Bangga dengan Kegagalan

12 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Safari Nur Hannafi (22) (merah), kapten tim futsal UNY MOJOK.CO

Gemuruh, Mentalitas, hingga Kaki Pincang di “Musim Nol” Campus League 2025

11 November 2025
Derita Mahasiswa S3 Sebelum Gila, Tertawakan Diri Sendiri Dulu

Mahasiswa S3 Tertawa di Koridor Kampus Bukan karena Bahagia, tapi Menertawakan Nasibnya Sebagai Pabrik Akademik dan Nasib Jurnal Ditolak 5 Kali

14 November 2025
Jadi ojol di Malang disuruh nyekar ke Makam Londo Sukun. MOJOK.CO

Driver Ojol di Malang Pertama Kali Dapat Pesanan Bersihin Makam dan Nyekar di Pusara Orang Kristen, Doa Pakai Al-Fatihah

16 November 2025
Gaji pertama membuat beberapa orang menangis MOJOK.CO

Momen Terima Gaji Pertama bikin Nangis dan Nyesek di Antara Perasaan Lega

14 November 2025
Summer Sale Banner
  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.