MOJOK.CO – Performa Samsung memang sedikit lebih baik. Namun, ada alasan yang membuat saya setia mencintai tiga generasi hape Oppo; F11, Reno 2F, dan A91. Namanya juga sudah cinta.
Setahun terakhir, para produsen smartphone banyak menggunakan chipset yang sama secara berulang untuk ponsel barunya. Bahkan ada yang menurunkan kelasnya dari sang pendahulu di seri yang sama.
Misalnya, Redmi 8 menggunakan Qualcomm Snapdragon 439 alias turun dari Redmi 7 dengan Snapdragon 632. Vivo V19 masih menggunakan prosesor Snapdragon 675, alias sama dengan V15 Pro dan V17 Pro sebagai pendahulunya.
Oppo menurunkan MediaTek Helio P90 untuk Reno 3, di mana ini juga merupakan penurunan dari Snapdragon 730G di Reno 2 meskipun dikatakan bahwa sesungguhnya Reno 3 adalah pembaruan dari Reno 2F, bukan Reno 2. Samsung pun demikian, Exynos 9810 diboyong dari Note 9 ke Note 10 Lite dan Exynos 9611 digunakan berjemaah di ponsel seri A serta M terbarunya.
Ini adalah kasus yang banyak disorot di media Tanah Air. Sekarang, bagaimana dengan Oppo F11, Reno 2F, dan A91? Bermain di kelas harga yang sama dan tidak murah, Oppo pede menggunakan chipset yang sudah beredar sejak Oktober 2018 (menurut Wikichip) itu. Layakkah kita membeli Oppo A91 dengan harganya saat ini? Simak terus kelanjutan artikel ini.
Masih teringat dalam benak ketika Oppo meluncurkan seri F11 di harga Rp4 juta dan kemudian cepat sekali terdiskon di pasar. Peningkatan yang lebih ditujukan ke segmen desain dibandingkan performa membuat pesonanya tak seseksi F9 saat kedatangannya.
Saya pernah mencoba hands-on Oppo F11 milik adik saya dan betapa lambatnya ponsel tersebut dengan RAM 4GBnya padahal cuma digunakan untuk membuka File Manager. Lebih parahnya lagi, saat itu ponsel baru dibeli sekitar dua pekan dan aplikasi baru mulai diunduh. Jadi belum banyak dokumen di ponsel. Lawan Redmi 4X saja masih kalah dia. Hari ini, jadi apa dia? Lebih banyak digunakan oleh adik saya untuk sekadar chatting dan membuat video TikTok.
Kurang lebih setengah tahun kemudian, Oppo nekat meluncurkan Reno 2F yang merupakan sedikit peningkatan dari F11 Pro. Kini layar sudah beralih ke teknologi AMOLED sehingga tampilan terasa lebih terang dan mewah. Perubahan ini menjadi dambaan bagi mereka yang banyak bekerja di luar ruang dan mengalami masalah dengan gelapnya layar IPS LCD. Kamera depan pun pindah dari poni ke mekanisme pop-up sehingga layar bisa digunakan secara penuh tanpa gangguan, tetapi ini tentu mengganggu bagi mereka yang tidak mau ketahuan ketika selfie.
Kamera belakang bertambah dari dua menjadi empat sensor dengan andalan utamanya tetap beresolusi 48MP. Konfigurasinya yaitu 48MP (wide) + 8MP (ultra-wide) + 2MP (macro) + 2MP (depth sensor). Sayang, tidak ada lensa telephoto untuk melakukan optical zoom.
Mahasiswa seperti saya lebih membutuhkan optical zoom untuk mendapatkan foto yang jelas dari papan tulis sekalipun duduk di belakang kelas. Kamera depannya masih sama seperti Oppo F11, terdiri dari satu sensor beresolusi 16MP sebagai pop-up selfie camera. Reno 2F dipromosikan unggul dengan gyro-EIS untuk menghasilkan video yang lebih stabil dari getaran dan goyangan sehingga dianggap layak menjadi andalan para YouTuber.
Eits, tapi resolusinya masih mentok di 1080p. Soal kualitas foto dan videonya, bisa bersaing dengan flagship dan jauh meningkat dari F11.
Dari segi performa, RAM coba ditingkatkan ke 8GB dengan ROM tetap sebesar 128GB. Sejak prosesornya masih setia di P70, performa tetap lambat bagi saya. Jangan boyong hape ini jika kalian adalah kaum “tidak sabaran” apalagi gemar main game. Tak heran jika harganya cepat terjun, dari Rp5,4 juta ketika diluncurkan menjadi Rp4,25 juta. Harga segitu tetap mahal untuk saya. Tentu lebih baik saya boyong Realme 6 atau Xiaomi Redmi Note 8 Pro dan sisanya bisa untuk membeli stok persediaan beras di rumah.
Kini, datang penerusnya lagi yaitu Oppo A91. Yang ini memang belum pernah saya hands-on mengingat dia datang ke Tanah Air saat pandemi sudah terlanjur melanda. Dari spesifikasi resminya di situs Oppo, ponsel ini pas sekali untuk dikatakan sebagai Reno 2F yang kamera depannya pulang ke poni alias muncul kembali notch dan kamera belakangnya digeser dari tengah ke kiri.
Baterai naik tanpa arti dari 4000mAh di Reno 2F ke 4025mAh di A91 dengan daya pengecasan mentok 20W di teknologi VOOC 3.0. Sistem operasi masih Android 9 Pie. Untuk ini semua, kita berhemat hanya Rp249 ribu. Anehnya, meski kini tak bisa memaksimalkan peran promotor yang terkenal itu, ponsel ini bisa laku keras di e-Commerce. Kok bisa, ya?
Rahasia penjualan Oppo, bersama teman-temannya dari Tiongkok seperti Vivo dan Xiaomi, terletak pada ketahanannya yang memuaskan. Harganya murah, tidak seperti Apple iPhone yang memang terkenal tahan lama itu.
Sebagai contoh, empat tahun lalu saya dan paman sama-sama mengganti ponsel. Saya memilih Samsung Galaxy S7 sebagai flagship berharga Rp9 juta dan paman saya memilih Oppo R7s sebagai mid ranger seharga Rp5 juta. Sama-sama mengusung RAM 4GB, ROM 32GB, dan kapasitas baterai kurang lebih 3000mAh, apa yang terjadi?
Sebagai seorang pedagang, paman saya menggunakan Oppo R7s-nya selama dua puluh jam per hari dan terus bekerja keras sekalipun dalam pengecasan. Ponsel ini harus kuat mulai dari menonton CCTV dengan sembilan titik kamera, mengunggah barang di toko online, melakukan perhitungan yang cukup rumit di Excel Mobile, menyunting foto, video, dan musik setiap hari, chatting tiada henti, sampai dipinjamkan ke anak lelakinya untuk bermain game sepak bola.
Saya? Ponsel selalu dimatikan saat pengecasan. Penggunaannya tidak terlalu berat, hanya browsing, blogging, mengetik di Word Mobile, membaca e-book, video editing seminggu sekali, dan game-nya mentok di Twenty atau Ludo King.
Untuk membuka File Manager, jelas ponsel ini lebih lambat dengan eMMC-nya dibandingkan Galaxy S7 saya dengan memori UFS. Akan tetapi, semua dokumen tersimpan dengan aman di R7s sampai melewati usia tiga tahun ketika foto di Samsung Galaxy S7 saya hilang-hilangan sejak tahun kedua.
Soal hilang-hilangan ini bukan pengalaman pertama. Sebelumnya saya pernah mengalaminya juga di Galaxy S4 meskipun sudah mencoba meng-update software berkali-kali. Kini paman saya yang lain juga menghadapi masalah serupa di Galaxy S8.
Yang lucunya, ketika diajak video rendering, Snapdragon 615 yang jelas bukan lawan Exynos 8890 (digadang-gadang setara Snapdragon 820 itu) menang cukup signifikan. Lebih parahnya lagi, ketika si R7s dengan prosesor 28nm yang kini banyak disebut sebagai setrikaan itu masih adem-adem saja sampai usia tiga tahun tanpa penurunan ketahanan baterai dan kecepatan pengecasan yang signifikan. Galaxy S7 dengan prosesor 16nm malah sudah panas bak mau meledak sejak usia satu tahun.
Baterainya sangat tak bisa diandalkan dan kecepatan pengecasannya turun sehingga ke mana-mana saya harus membawa powerbank. Sampai-sampai ponsel ini saya jadikan cadangan ketika mendapatkan unit Redmi 4X di awal 2018.
Belum genap berusia dua tahun, si Redmi lagi-lagi sudah menjadi setrikaan dengan suhu melebihi 51 derajat Celsius sekalipun hanya digunakan untuk mengetik artikel seperti ini. Dulu, saat kali pertama dimiliki, hape ini bisa mengisi baterai dari 0 hingga 100 persen dalam waktu tiga jam. Kini, lima jam pun belum penuh. Padahal, dia dan Oppo R7s sama-sama menggunakan prosesor Snapdragon dengan fabrikasi 28nm. Malah, Redmi tidak punya fitur fast charging yang seharusnya membuat dia lebih adem, ya kan?
Keandalan ini terus ditunjukkan secara konsisten oleh Oppo pada ponsel-ponsel berikutnya. Semisal, Oppo F9 teman saya tidak cacat sedikit pun setelah berkali-kali terjatuh. Samsung Galaxy S series, jatuh sedikit saja sudah cukup untuk memecahkan layar yang mahal itu!
Kecuali soal software update, ya saya akui Oppo cukup pelit bahkan jika harus dibandingkan dengan Xiaomi. Akan tetapi, ini tidak terlalu penting untuk pengguna yang tidak high-tech.
Jika Oppo bisa terus mempertahankan konsistensi ini dan tidak tertular tren memasukkan iklan ke sistem operasi, wajar jika produknya dibanderol lebih tinggi dari saudaranya sesama asal Tiongkok sekalipun teknologi yang diberikan agak out-of-date. Bagaimanapun juga, ini masih lebih terjangkau dari Samsung Galaxy A51 RAM 8GB yang dibanderol lebih mahal Rp700 ribu jika kamu tidak membutuhkan fitur NFC yang dimiliki oleh Samsung tetapi tidak di Oppo.
Oppo menang di daya pengecasan (20W vs 15W), sedangkan Samsung menang di resolusi semua sensor kamera selain sensor utama dengan desain kamera belakang yang lebih modern (mengotak versus berjejer dari atas ke bawah). Chipset keduanya sama-sama masih mengandalkan core (Cortex A73) dan GPU (Mali G72 MP3) yang sama-sama ketinggalan zaman. Hanya saja, Samsung dibekali clock speed dan driver yang lebih baru untuk performa sedikit lebih baik. Soal kejujuran foto, keduanya sama-sama agak memperindah kenyataan. Kurang lebih, imbang, kan? Lebih hemat, bukan? Mari beri apresiasi untuk Oppo.
Satu pesan saja untuk Oppo. Lain kali, tolong berikan daya pengecasan minimal 30W seperti Realme 6 untuk semua produk di atas Rp2 juta. Pengecasan cepat inilah yang jadi andalanmu. Masak hanya menang tipis sama #HapeKeceBatreGede-nya Redmi 8A Pro dan dukungan pengecasan cepat pada sembarang charger aftermarket?
BACA JUGA Oppo-Vivo Kuasai Pasar Hape Saat Ini, Kok Samsung Bisa Kalah? atau kisah kesetiaan kepada hape lainnya di rubrik KONTER.